Pada bulan Maret 1945 Jepang mengumumkan pembentukan
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Keanggotaannya mewakili
sebagian besar pemimpin di Jawa yang masih hidup yang berasal dari semua aliran
pemikiran yang penting. Radjiman Wediodiningrat menduduki jabatan ketua,
sedangkan Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim,
Mohammad Yamin, dan yang lain duduk sebagai anggotanya.
Pihak Jepang memutuskan bahwa bilamana kemerdekaan
terwujud hendaknya kemerdekaan itu berada di tangan para pemimpin dari generasi
tua yang mereka pandang lebih mudah untuk bekerja sama daripada generasi muda
yang tidak dapat diramalkan. Pada bulan Juli 1945 Jepang di Jawa berusaha
mempersatukan gerakan-gerakan pemuda, Masyumi dan Jawa Hokokai ke dalam satu
Gerakan Rakyat Baru. Akan tetapi, upaya tersebut gagal ketika para pemimpin
pemuda menuntut langkah-langkah nasionalistis yang dramatis.
Pihak Jepang menangkap Yamin yang menurut keyakinan
mereka telah mengobarkan semangat kaum aktivis muda, tetapi kini
kejadian-kejadian bergerak terlalu cepat bagi pihak Jepang untuk melakukan
usaha mempersatukan pemimpin-pemimpin dari golongan tua dan golongan muda. Di
dalam Badan Penyelidik di Jakarta Sukarno mendesak agar versinya tentang
nasionalisme yang bebas dari agama disetujui. Karena konsep ini memang
merupakan satu-satunya dasar yang dapat disepakati pemimpin lainnya, maka
menanglah Sukarno.
Pada pidatonya pada tanggal 1 Juni dia mengemukakan
Pancasilanya, “lima dasar” yang akan menjadi falsafah resmi dari Indonesia
merdeka: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kesejahteraan, dan Demokrasi.
Walaupun Pancasila itu pada umumnya diterima oleh anggota-anggota Badan
Penyelidik, akan tetapi para pemimpin Islam merasa tidak senang karena Islam
tampaknya tidak akan memainkan peranan yang istimewa. Akhirnya, mereka
menyetujui suatu kompromi yang disebut Piagam Jakarta yang menyebutkan bahwa
negara akan didasarkan atas “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Kata syariat islam dalam Piagam Jakarta ditengarai
akan menjadi sumber pertentangan-pertentangan sengit di masa mendatang antara
pemeluk agama Islam dan negara, demikian halnya dengan pemeluk agama non-islam.
Badan tersebut mengakhiri tugasnya dengan merancang konstitusi pertama
Indonesia yang menghendaki sebuah republik kesatuan dengan jabatan kepresidenan
yang sangat kuat, dan dengan menetapkan bahwa negara baru tersebut tidak hanya
akan meliputi Indonesia saja tetapi juga Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di
Kalimantan (Borneo).
Pada bulan Juli 1945 semua unsur di kalangan
orang-orang Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada Indonesia
dalam waktu beberapa bulan. Pada akhir bulan Juli para pemimpin Sekutu di
Potsdam mengeluarkan tuntutan agar Jepang menyerah tanpa syarat. Jepang tidak
dapat lagi memikirkan tentang kemenangan ataupun tindakan mempertahankan
wilayah-wilayah pendudukannya.
Tujuannya di Indonesia kini adalah membentuk sebuah
negara yang merdeka dalam rangka mencegah berkuasanya kembali lawan, yaitu
Belanda. Pada akhir bulan Juli angkatan darat dan angkatan laut Jepang
mengadakan suatu pertemuan di Singapura guna merencanakan pengalihan
perekonomian ke tangan bangsa Indonesia. Jepang memutuskan bahwa Jawa akan diberi
kemerdekaan pada awal bulan September, sedangkan daerah-daerah lainnya segera
menyusul.
Pada tanggal 6 Agustus bom atom pertama dijatuhkan
di Hiroshima yang menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Hari berikutnya
keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta.
Lembaga tersebut beranggotakan wakil-wakil dari Jawa maupun dari daerah luar
Jawa, didominasi oleh generasi tua, dan dijadwalkan mengadakan pertemuan pada
tanggal 19 Agustus.
Pada tanggal 9 Agustus bom atom kedua dijatuhkan di
Nagasaki dan pihak Soviet menyerbu Manchuria. Pada hari itu, karena tampak
pihak Jepang akan menyerah, Sukarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon
untuk menemui Panglima Wilayah Selatan, Panglima Tertinggi Terauchi Hisaichi,
yang mereka temui di Dalat pada tanggal 11 Agustus. Kepada mereka Terauchi
menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Belanda, tetapi memveto
penggabungan Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan. Sukarno ditunjuk
sebagai Ketua Panitia Persiapan tersebut dan Hatta sebagai wakil ketua.
Pada tanggal 14 Agustus Sukarno dan rekan-rekannya
tiba kembali di Jakarta. Pada tanggal 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat,
dan dengan demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah
yang berat. Karena sekutu tidak menaklukkan Indonesia, maka kini terjadi suatu
kekosongan politik, pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah, dan
tidak tampak kehadiran pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka.
Rencana bagi kemerdekaan yang disponsori pihak
Jepang kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya gunseikan telah
mendapat perintah khusus supaya mempertahankan keadaan politik yang ada sampai
kedatangan pasukan Sekutu. Sukarno, Hatta, dan generasi tua ragu-ragu untuk
berbuat sesuatu dan takut memancing konflik dengan pihak Jepang. Namun tidak
demikian dengan golongan pemuda, mereka melihat kondisi ini adalah kesempatan
emas untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Para pemimpin pemuda menginginkan suatu pernyataan
kemerdekaan secara dramatis di luar kerangka yang disusun oleh pihak Jepang,
dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir. Akan tetapi, tak seorang pun
berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta. Maeda ingin melihat pengalihan
kekuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir terhadap
kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupun pasukan Jepang yang
kehilangan semangat.
Pada tanggal 16 Agustus pagi, Hatta dan Sukarno
tidak ditemukan di Jakarta. Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para
pemimpin pemuda ke garnisun Peta di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang
terletak utara jalan raya ke Cirebon, dengan dalih melindungi mereka bilamana
meletus suatu pemberontakan Peta dan Heiho. Ternyata tidak terjadi satu
pemberontakan, sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini
merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar
rencana pihak Jepang, tujuan ini mereka tolak.
Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan
dengan selamat, maka ia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan
bilamana kemerdekaan dicanangkan. Pada malam itu Soekarno dan Hatta sudah
berada di rumah Maeda di Jakarta. Mendengar jaminan Maeda, Soekarno dan Hatta,
malam itu juga merancang pernyataan kemerdekaan Indonesia. Kaum muda menginginkan
agar pernyataan bahasa yang digunakan dramatis dan berapi-api, tetapi golongan
tua menginginkan menggunakan bahasa yang lebih bersahaja.
Akhirnya dengan alasan untuk menghormati Maeda
(Jepang), supaya tidak menyakiti perasaan Jepang serta agar tidak mendorong
terjadinya kekerasan maka disetujuilah pernyataan proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang tenang dan bersahaja.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jum’at jam 10.00
pagi Soekarno, didampingi Moh. Hatta dan beberapa orang dari generasi muda membacakan
pernyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta. Setelah pembacaan pernyataan kemerdekaan, dilanjutkan dengan
pengibaran bendera merah putih, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lahirlah
negara Republik Indonesia.