Praktek imperialisme dan kolonialisme di Indonesia
mempunyai dampak yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya
mengakibatkan terjadinya penderitaan dan kesengsaraan fisik, tetapi juga
psikhis, bahkan akibatnya terasa hingga saat ini. Selain mengakibatkan
penderitaan dan kesengsaraan, imperialisme barat juga meninggalkan kosakata,
budaya, marga, sarana jalan dan beberapa pabrik gula, dan aturan perundangan.
Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kolonial
sangat dipengaruhi oleh sistem kolonial yang diterapkan oleh pemerintahan
Hindia Belanda. Setelah sistem tanam paksa dihapuskan pada tahun 1870
pemerintah kolonial menerapkan sistem ekonomi baru yang lebih liberal. Sistem
tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Menurut undang-undang tersebut penduduk pribumi
diberi hak untuk memiliki tanah dan menyewakannya kepada perusahaan swasta.
Tanah pribadi yang dikuasai rakyat secara adat dapat disewakan selama 5 tahun.
Sedangkan tanah pribadi dapat disewakan selama 20 tahun. Para pengusaha dapat
menyewa tanah dari guberneman dalam jangka 75 tahun. Dalam jangka panjang,
akibat sistem sewa tersebut tanah yang disewakan cenderung menjadi milik
penyewa.
Apabila pada masa sistem tanam paksa perekonomian
dikelola oleh negara maka sejak Undang-undang Agraria 1870 kegiatan ekonomi
lebih banyak dijalankan oleh swasta. Nilai-nilai kapitalisme mulai masik ke
dalam struktur masyarakat Indonesia. Komersialisasi telah menggantikan sistem
ekonomi tradisional. Nilai uang telah menggantikan satuan ekonomi tradisional
yang selama ini dijalankan oleh masyarakat pedesaan. Masalah sistem perburuhan
dikeluarkan aturan yang ketat.
Tahun 1872 dikeluarkan Peraturan Hukumam Polisi bagi
buruh yang meninggalkan kontrak kerja. Pada tahun 1880 ditetapkan Koeli
Ordonanntie yang mengatur hubungan kerja antara koeli (buruh) dengan majikan,
terutama di daerah perkebunan di luar Jawa. Walaupun wajib kerja dihapuskan
sesuai dengan semangat liberalisme, pemerintah kolonial menetapkan pajak kepala
pada tahun 1882. Pajak dipungut dari semua warga desa yang kena wajib kerja.
Pajak tersebut dirasakan oleh rakyat lebih berat dibandingkan dengan wajib
kerja.
Di bidang ekonomi, penetrasi kapitalisme sampai pada
tingkat individu, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Tanah milik petani
menjadi objek dari kapitalisme. Tanah tersebut menjadi objek komersialisasi,
satu hal yang tidak kekenal sebelumnya dalam masyarakat tradisional di
pedesaan. Dengan demikian, terjadi perubahan dalam masyarakat pedesaan terutama
dalam melihat aset tanah yang dimilikinya.
Apabila sebelum adanya UU Agraria tahun 1870 tanah
yang dimiliki tidak memiliki arti ekonomi yang penting kecuali untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari maka setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut
terjadi komersialisasi aset petani. Penetrasi tersebut sering kali mengabaikan
hak-hak rakyat menurut hukum adat. Nilai ekonomi uang telah menggantikan nilai
ekonomi menurut cara-cara ekonomi tradisional seperti sistem barter dan
lain-lain.
Sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah
kolonial Belanda adalah sistem tanam paksa dan sistem kapitalisme menurut
Undang-Undang Agraria tahun 1870. Melalui kedua sistem tersebut terjadi
mobilitas tenaga kerja dari tempat tinggal mereka ke daerah perkebunan baik
yang berada dalam satu pulau maupun luar pulau. Misalnya, sejak tahun 1870
terjadi pengirimam buruh besar-besaran dari Jawa ke daerah perkebunan di
Sumatera.
Dampak lain dari imperialisme Belanda di Indonesia
adalah dibangunnya jaringan jalan raya, jalan kereta api serta perhubungan laut
dengan menggunakan kapal api. Misalnya, sejak tahun 1808, di Jawa dibangun
Jalan Raya Post (Groete Posweg) yang menghubungkan kota-kota besar di Jawa.
Pada akhir abad ke-19 terdapat 20.000 km jaringan jalan raya di Jawa.
Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk menunjang kegiatan perkebunan,
pengangkutan barang dan tenaga kerja.
Namun demikian, kondisi tersebut tidak hanya
mengakibatkan terjadinya mobilitas hasil-hasil perkebunan dan barang tetapi
juga telah mengakibatkan terjadinya mobilitas penduduk dari satu tempat ke
tempat lainnya melalui jaringan jalan yang ada. Pembangunan jalan raya juga
diikuti dengan pembangunan jaringan kereta api. Jaringan kereta api di
Indonesia termasuk salah satu yang tertua di Asia.
Misalnya sejak tahun 1863 telah dibangun jaringan
rel kereta api antara Semarang dan Yogyakarta. Bebarapa tahun kemudian disusul
dengan rel antara Jakarta-Bogor. Pada akhir abad ke-19 telah terhubung rel
kereta api antara Jakarta-Surabaya. Jaringan perhubungan jalan kereta api
tersebut telah mempercepat mobilitas penduduk dari satu kota ke kota lainnya.
Adanya jaringan jalan raya serta jalan kereta api dan hubungan laut telah
membantu mempercepat pertumbuhan kota. Terjadilah urbanisasi atau perpindahan
penduduk dari desa ke kota.
Pada akhir abad ke-19 lahirlah kota-kota baru di
pedalaman serta di pesisir pantai. Demikian juga dengan kota-kota lama menjadi
incaran penduduk untuk bermukim. Lahirnya kota-kota tersebut terkait dengan
perkembangan ekonomi seperti perkebunan serta perdagangan antar pulau. Pada
akhir abad ke-19 lahirlah kota pedalaman seperti Bandung, Malang dan Sukabumi.
Kota-kota tersebut lahir karena di sekitarnya dikembangkan perkebunan.
Sedangkan di pesisir pantai berkembang pula kota-kota pesirir seperti Tuban, Gresik,
Batavia, Surabaya, Semarang, Banten, Makasar, yang telah lama ada maupun kota
baru seperti Kotaraja, Medan, Padang, Palembang, Pontianak, dan Banjarmasin.
Pembangunan pendidikan telah mempercepat mobilitas
penduduk. Sekolah-sekolah yang didirikan di perkotaan telah menarik minat yang
besar dari penduduk sekitarnya. Banyak penduduk yang berpindah dari satu kota
ke kota lainnya karena alasan sekolah. Misalnya, para priyayi dari berbagai
kabupaten di Jawa Barat banyak yang berpindah ke Bandung untuk sekolah.
Lulusan dari sekolah di sana ada yang tetap bermukin
di kota tersebut, ada juga yang kembali ke daerah asalnya atau ke daerah lain
tempat mereka bekerja. Pendidikan yang berkembang di Indonesia pada abad ke-19
menggunakan sistem yang diselenggarakan oleh organisasi agama Kristen, Katholik
dan Islam. Sistem persekolahan Islam menggunakan sistem pesantren. Di luar itu,
pemerintah kolonial menerapkan sistem pendidikan Barat.
Sistem pendidikan Islam dilaksanakan melalui pondok
pesantren dengan kurikulum yang terbuka serta staf pengajar yang berasal dari
para kiai. Sistem pendidikan ini lebih menekankan pada pendidikan agama,
kemampuan membaca huruf arab serta dengan menggunakan bahasa setempat. Sistem
pendidikan pesantren dianggap lebih demokratis sebab membuka kesempatan pada
semua golongan untuk memperoleh pendidikan di sana. Materi pelajaran umum dalam
sistem ini hanya mendapat porsi yang lebih kecil.
Namun demikian, melalui sistem pendidikan ini telah
dilahirkan banyak orang yang memiliki pandangan yang maju serta mampu melihat
kondisi buruk masyarakat yang menjadi korban dari imperialisme Barat. Bersamaan
dengan berkembangnya sistem pendidikan pesantren berkembang pula sistem
pendidikan Barat. Hal ini terjadi setelah pemerintah kolonial Belanda berusaha
menjalankan politik etis, politik balas budi kepada bangsa Indonesia karena
telah memberikan kemakmuran bagi negeri Belanda.
Sistem tanam paksa telah menguras kekayaan negeri
Indonesia dan dinikmati oleh warga negeri Belanda. Sementara sebagian penduduk
Indonesia terutama yang terlibat dalam sitem tanam paksa berada dalam kondisi
menderita. Menyadari akan kondisi itu, pemerintah kolonial berusaha menjalankan
politik etis melalui pendidikan dan pengajaran (edukasi), peningkatan pertanian
(irigasi) dan pemindahan penduduk (transmigrasi).