Kolonialisme negara-negara barat masuk ke Indonesia
sejak abad ke-16, yang dipelopori oleh Portugis dengan cara monopoli
perdagangan rempah-rempah dan ditandai dengan jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511. Kedatangan Portugis yang membawa keberhasilan itu diikuti
bangsa-bangsa lain diantaranya Belanda.
Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan utama
untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di nusantara, yang pada waktu itu
dikuasai oleh pedagang-pedagang Islam. Rempah-rempah pada waktu itu merupakan
barang perdagangan yang sangat penting di Eropa dan memberi keuntungan yang
sangat besar bagi para pedagang di Eropa.
Kedatangan Belanda ke Indonesia, tidak terlepas dari
pengaruh upaya untuk mendapatkan “gold, gospeld dan glory” yang menjadi
ciri khas dari praktek imperialisme kuno, dimana penguasaan wilayah lain
sebagai tujuan untuk mendapatkan kekayaan dalam bentuk emas, mendapatkan
kejayaan karena menguasai daerah lain, dan penyebaran agama nasrani sebagaimana
permintaan gereja.
Pada awal kedatangannya ke wilayah Indonesia,
Belanda hanya ingin menguasai secara monopoli jalur perdagangan rempah-rempah
di nusantara, mulai dari daerah Maluku menuju ke Malaka, yang selanjutnya
mengirimkannya ke Eropa.
Dalam upaya menguasai jalur perdagangan
rempah-rempah di nusantara, pemerintah Belanda mendirikan badan perniagaan
“kongsi dagang” yang bernama Vereenigne Oost Indische Compagnie (VOC) pada
1602. Tujuan didirikannya perkumpulan dagang ini adalah untuk mengintensifkan
perdagangan di kawasan nusantara dan menghindari persaingan tidak sehat di
antara para pedagang Belanda sendiri.
Intinya tujuan pendirian VOC adalah untuk memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan dengan cara menguasai,
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Pedagang-pedagang di
nusantara yang berasal dari Jawa, Bugis, Arab, dan Cina mengalami kerugian yang
sangat besar terutama setelah didirikannya Vereenigne Oost Indische Compagnie
(VOC).
Secara perlahan pedagang-pedagang nusantara yang
selama ini menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di kawasan nusantara
mengalami kerugian dan hancur dengan sendirinya, apalagi setelah VOC diberikan
hak yang cukup besar dalam bidang politik dan militer oleh pemerintah Belanda
dalam menjalankan kongsi dagangnya. Oleh karena itu VOC tidak segan-segan
menggunakan kekuatan bersenjata dan militer dalam melaksanakan kongsi
dagangnya, yaitu memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara
memonopoli perdagangan rempah-rempah dan berbagai macam hasil bumi lainnya di
wilayah nusantara.
Perusahaan dagang ini diberikan hak-hak istimewa
oleh Pemerintah Belanda. Hak-hak yang diberikan kepada VOC itu disebut hak
octrooi, yang isinya memberikan hak kepada VOC sebagai berikut:
1. memperoleh hak
monopoli perdagangan;
2. memperoleh hak untuk
mencetak dan mengeluarkan uang sendiri;
3. dianggap sebagai
wakil pemerintah Belanda di Asia;
4. berhak mengadakan
perjanjian;
5. berhak memaklumkan
perang dengan negara lain;
6. berhak menjalankan
kekuasaan kehakiman;
7. berhak mengadakan
pemungutan pajak;
8. berhak memiliki
angkatan perang sendiri;
9. berhak mengadakan
pemerintahan sendiri.
Akibat hak-hak monopoli yang dimilikinya, VOC bisa
memaksakan kehendaknya pada perusahaan-perusahaan perdagangan nusantara untuk
mengikuti kehendak VOC, yang sangat merugikan para pedagang nusantara. Tindakan
ini tentu saja menimbulkan permusuhan dari para pedagang nusantara, apalagi
sistem monopoli bertentangan dengan sistem tradisional yang berlaku saat itu.
Jaringan perdagangan rempah-rempah Maluku ke Malaka yang dikuasai pedagang
Islam akhirnya jatuh ke tangan VOC.
Dalam upaya mempertahankan monopoli perdagangannya,
VOC meningkatkan kekuatan militernya dengan cara membangun benteng-benteng
pertahanan. Benteng-benteng pertahanan tersebut didirikan di Ambon, di Malaka
(setelah direbut dari Portugis), di Makassar, dan di Jayakarta (yang pada 1619
diubah namanya menjadi Batavia). Kota Batavia ini menjadi pelabuhan penting
alternatif dari Maluku dan Malaka selain juga menjadi pusat operasional VOC
atas seluruh nusantara.
Penguasa Jayakarta, Pangeran Jayakarta, tidak
berhasil mengusir penguasa VOC, tetapi sebaliknya Jan Pieterzoon Coen pimpinan
VOC, berhasil menguasai seluruh kota ke tangan VOC. Praktek VOC dalam melakukan
monopoli perdagangan serta memaksakan kekuasaannya terhadap kerajaan-kerajaan
di nusantara sangat tidak manusiawi dan menyakitkan. Cara-cara kekerasan,
peperangan, adu domba, penindasan, dan tindakan kasar lainnya telah menyebabkan
penderitaan yang tidak terkirkan bagi bangsa Indonesia.
Misalnya pada 1620 VOC telah mengusir dan membunuh
seluruh penduduk yang tidak mau menyerahkan rempah-rempahnya pada mereka
(Ricklefs, 1991). Pada tahun-tahun berikutnya, satu persatu pusat-pusat
perdagangan Islam nusantara dihancurkan dan dikuasainya. Demikian juga dengan
kerajaan-kerajaan di nusantara. Cara-cara tipu muslihat, adu-domba, penetrasi
terhadap urusan internal kerajaan, terutama di Jawa ditempuhnya. Selama kurang
lebih 200 tahun, beberapa kerajaan Nusantara jatuh ke tangan VOC.
Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Maluku, Banda,
Ambon, Makassar, dan Bone dikuasainya. VOC dalam menjalankan kongsi dagangnya
tidak hanya bergerak di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang militer dan
politik, yang dilakukan dengan penguasaan wilayah kerajaan-kerajaan di Hindia
Belanda serta penghancuran terhadap wilayah yang tidak mau dikuasai. Kepada
masyarakat VOC juga menerapkan praktek kerja paksa, penyetoran upeti,
feodalisme, penghisapan, dan penyerahan hasil pertanian.