Pada bulan April 1942 usaha pertama pada suatu
gerakan rakyat, "Gerakan Tiga A", dimulai di Jawa. Nama ini berasal
dari slogan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, pelindung Asia, dan cahaya Asia.
Pada bulan Juli didirikan suatu subseksi Islam yang dinamakan Persiapan
Persatuan Umat Islam di bawah pimpinan Abikoesno Tjokrosoejoso (lahir tahun
1897). Abikoesno untuk sementara dianggap oleh pihak Jepang sebagai pemimpin
Islam Indonesia. Akan tetapi, tidak lama, pihak Jepang mulai meragukan
pemimpin-pemimpin Islam Modern.
Pada umumnya Gerakan Tiga A tidak berhasil mencapai
tujuan. Para pejabat Indonesia hanya sedikit memberi dukungan, tidak ada
seorang nasionalis Indonesia yang terkemuka terlibat di dalamnya, bahkan pada
masa-masa awal pendudukanpun hanya sedikit orang Indonesia yang menanggapinya secara
serius. Pihak Jepang mulai menyadari bahwa apabila mereka akan memobilisasi
rakyat Jawa maka mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka gerakan
nasionalis sebelum perang.
Sjahrir dan Hatta telah dipulangkan ke Jawa oleh
pihak Belanda tidak lama sebelum penyerangan Jepang. Kedua tokoh ini menentang
fasisme dan telah menawarkan dukungan mereka kepada pihak Belanda. Hatta dan
Sjahrir bersahabat akrab dan memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang
bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang. Hatta akan
bekerja sama dengan pihak Jepang, berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan
mereka, dan memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa
Indonesia.
Sjahrir akan tetap menjauhkan diri dan membentuk
suatu jaringan ”bawah tanah” yang didukung oleh mantan anggota PNI-Baru, dan
akan berusaha menjalin hubungan dengan pihak Sekutu. Pada tanggal 9 Juli 1942
Sukarno, oleh pihak Jepang di Sumatera atas permintaan Angkatan Darat ke-16,
bergabung dengan Hatta dan Sjahrir. Sukarno tidak begitu tertarik terhadap
perbedaan-perbedaan teoretis antara fasisme dan demokrasi dan menganggap perang
tersebut sebagai pertarungan antara kedua macam imperialisme.
Soekarno bergabung dengan Hatta bekerja sama dengan
pihak Jepang demi tujuan yang lebih luhur, yaitu kemerdekaan Indonesia. Sukarno
dan Hatta mulai segera mendesak pihak Jepang supaya membentuk suatu organisasi
politik massa di bawah pimpinan mereka. Di luar Jawa ada beberapa perlawanan
dari kelompok-kelompok yang tidak ada kaitannya dengan kaum politisi perkotaan
dari masa sebelum perang. Pemberontakan petani terhadap pihak Jepang di Aceh
dipimpin oleh seorang ulama muda bulan November 1942, tetapi dapat ditumpas.
Di Kalimantan Barat dan Selatan pihak Jepang
mencurigai adanya komplotan-komplotan yang melawan mereka dari kalangan
orang-orang Cina, para pejabat, dan bahkan para sultan. Semua gerakan semacam
itu dihancurkan melalui penangkapan dan pemenjaraan, termasuk dua belas orang
sultan, di Kalimantan Barat. Suatu usaha untuk mendirikan sebuah negara Islam
di daerah Amuntai, Kalimantan Selatan, ditumpas pada bulan September 1943.
Pada akhir tahun 1944 orang-orang Dayak di
Kalimantan Barat mulai membunuhi orang-orang Jepang. Akan tetapi, tak satu pun
dari bentuk-bentuk perlawanan rakyat tersebut yang benar-benar mengancam
kekuasaan Jepang, dan semuanya mengalami akibat yang sangat buruk.
Di Jawa tidak ada satu pun perlawanan rakyat yang
serius sampai tahun 1944. Sementara itu, pihak Jepang mencari pemimpin-pemimpin
Indonesia untuk membantu mereka memobilisasikan rakyat demi kepentingan perang.
Pada bulan September 1942 di Jakarta diselenggarakan konferensi para pemimpin
Islam yang yang mengecewakan pihak Jepang dan memaksa mengalihkan pandangan
mereka kepada kelompok-kelompok pimpinan lainnya.
Pihak Jepang mengharap penggantian MIAI dari masa
sebelum perang dengan suatu organisasi baru yang berada di bawah bimbingan
mereka. Akan tetapi, para pemimpin Islam tidak hanya memutuskan untuk tetap
mempertahankan MIAI melainkan juga memilih pimpinan baru yang lebih didominasi
oleh tokoh-tokoh PSII daripada pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan NU yang pada
dasarnya bersifat nonpolitik. Pihak Jepang memang sudah meragukan para politisi
Islam perkotaan.
Jepang mulai menyadari bahwa jalan menuju rakyat
melalui Islam hanya dapat diberikan oleh Muhammadiyah dan NU yang memiliki
sekolah-sekolah, kegiatan-kegiatan kesejahteraan, dan hubungan informal yang
membentang dari wilayah perkotaan sampai ke kota-kota kecil serta desa-desa,
dan tidak mempunyai tuntutan politik yang jelas.
Pada bulan Oktober 1942 suatu pertemuan para
pimpinan daerah pendudukan di Tokyo diberitahu bahwa, dengan terhentinya
kemajuan militer, mobilisasi rakyat di wilayah-wilayah pendudukan harus diberi
prioritas. Kolonel Horie Choso, Kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta,
melakukan perjalanan keliling Jawa pada akhir tahun itu, mengadakan pertemuan
dengan para guru agama (kyai) pedesaan yang sekolah pesantrennya tampaknya
menjadi alat yang ideal untuk memobilisasi dan mengindoktrinasi para pemuda.
Pada bulan Desember 1942 Horie mengatur agar tiga
puluh dua orang kyai diterima di Jakarta oleh Gunseikan, suatu kehormatan yang
tidak mungkin terjadi pada zaman Belanda. Pihak Jepang kini menemukan suatu
saluran untuk mobilisasi. Pada bulan Desember mereka membuka yang lain di depan
suatu pertemuan rakyat Jakarta dengan menjanjikan bahwa sebuah partai politik
baru akan segera didirikan.
Pada awal tahun 1943 pihak Jepang mulai usaha
mobilisasi. Gerakan-gerakan pemuda yang baru diberi prioritas tinggi dan di
bawah pengawasan ketat pihak Jepang. Pada bulan Agustus 1942 sekolah-sekolah
latihan bagi para pejabat dan guru baru sudah dibuka di Jakarta dan Singapura,
sehingga organisasi-organisasi pemuda berkembang secara jauh lebih luas.
Korps Pemuda yang bersifat semi militer (Seinendan)
dibentuk pada bulan April 1943 untuk pemuda yang berusia antara 14 tahun dan 25
tahun (kemudian 22 tahun). Korps tersebut mempunyai cabangnya sampai ke
desa-desa yang besar, tetapi terutama aktif di daerah-daerah perkotaan. Untuk
para pemuda yang berusia 25 tahun sampai 35 tahun dibentuklah Korps Kewaspadaan
(Keibodan) sebagai organisasi polisi, kebakaran, dan serangan udara pembantu.
Pada pertengahan tahun 1943 dibentuklah Heiho
(pasukan pembantu) sebagai bagian dari angkatan darat dan angkatan laut Jepang.
Berbagai organisasi lainnya juga dibentuk. Pada semua organisasi itu terdapat
indoktrinasi yang intensif dan disiplin yang keras. Konon lebih dari dua juta
pemuda Indonesia berada dalam organisasi-organisasi semacam itu, kira-kira 60
persen di antaranya dalam Keibodan.
Pada bulan Maret 1943 organisasi politik yang
dijanjikan juga muncul di Jawa dan Gerakan Tiga A dihapuskan. Badan baru itu
dinamakan Putera, singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat. Badan ini berada di bawah
pengawasan ketat pihak Jepang, empat orang Indonesia yang terkemuka diangkat
sebagai ketuanya: Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kyai Haji Mas
Mansur, ketua Muhammadiyah dari masa sebelum perang.
Organisasi baru ternyata hanya mendapat sedikit
dukungan, dikarenakan pihak Jepang tetap tidak bersedia memberi kebebasan
kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang begitu potensial; misalnya, pihak Jepang
tidak memberi Putera kekuasaan atas gerakan-gerakan pemuda. Jepang mencoba
mengembangkan para guru Islam tradisional pedesaan sebagai mata rantai utama
mereka dengan rakyat Jawa.
Jepang banyak mengalami kesulitan dengan para
pemimpin Islam pada umumnya, khususnya antara mereka dengan kaum Islam modern
di kota-kota. Haji
Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap membungkuk ke arah timur sebagai
penghormatan kepada kaisar di Tokyo yang bertentangan dengan kewajiban seorang
muslim untuk sholat menghadap kiblat.
Akhirnya, pihak Jepang sepakat tentang tidak
perlunya membungkukkan badan kepada kaisar pada upacara-upacara keagamaan.
Jepang juga menginginkan agar Perang Dunia II dinyatakan sebagai Perang Sabil,
yang dengan tegas ditolak oleh kaum muslim karena orang-orang Jepang, seperti
halnya Sekutu adalah kaum kafir. Jepang juga harus melupakan keinginan mereka
melarang pemakaian bahasa Arab, tetapi dengan syarat bahwa bahasa Jepang juga
diajarkan di sekolah-sekolah Islam dan kurikulum pihak Jepang bagi mata
pelajaran non-agama diterima.
Pihak Jepang tetap mempertahankan Peraturan Guru
(goeroe ordonnantie) tahun 1925 dan para pejabat Indonesia bahkan
melaksanakannya secara lebih keras, baik dikarenakan perlawanan mereka terhadap
kaum elite Islam maupun rasa takut akan tindakan-tindakan disipliner pihak
Jepang apabila mereka tampak terlalu lunak. Pada 1943 pihak Jepang membawa
sekitar 60 kyai yang tinggal di pedesaan ke Jakarta untuk mengikuti kursus
latihan selama kurang lebih sebulan.
Sampai bulan Mei 1945 lebih dari 1.000 orang kyai
telah menyelesaikan kursus tersebut, di mana mereka mendengarkan beberapa
ceramah tentang masalah-masalah agama tetapi terutama diindoktrinasi dengan
propaganda Jepang. Untuk merangsang dukungan terhadap usaha perang yang
memburuk, maka Jepang mulai menjanjikan keterlibatan beberapa orang Indonesia
dalam urusan-urusan pemerintahan di Jawa.
Jumlah orang Indonesia yang menjadi penasihat
(sanyo) pemerintahan Jepang bertambah banyak, di Jakarta dibentuk Dewan
Penasihat Pusat (Chuo Sangi-in) yang diketuai oleh Sukarno, dan dibentuk
dewan-dewan daerah (Shu Sangi-kai). Akan tetapi, kesemuanya itu bersifat
penasihat belaka.
Sukarno, Hatta, dan ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo
terbang ke Tokyo pada bulan November 1943 untuk diberi tanda jasa oleh kaisar.
Inilah saat pertama kali Sukarno berada di luar negeri atau melihat sebuah
negara industri. Perdana Menteri, Jenderal Tojo Hideki, menolak permintaan
penggunaan lagu kebangsaan Indonesia 'Indonesia Raya' atau bendera Indonesia
Sang Merah-Putih. Pihak Jepang masih tetap membutuhkan sumber alam Indonesia
untuk keperluan perang dan inilah yang tetap diutamakan mereka. Tenaga kerja
Indonesia mulai dieksploitasi lebih kejam daripada saat-saat sebelumnya.
Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang memerintahkan
penghimpunan “serdadu-serdadu ekonomi” (romusha), terutama para petani yang
diambil dari desa mereka di Jawa dan dipekerjakan sebagai buruh di mana pun
pihak Jepang memerlukan mereka, sampai ke Birma dan Siam. Tidak diketahui
berapa banyak orang yang terlibat, tetapi kemungkinan besar paling sedikit
200.000 orang dan mungkin sampai sebanyak setengah juta orang, yang di antara
mereka tidak lebih dari 70.000 orang yang ditemukan dalam keadaan hidup.
Pada saat yang sama pihak Jepang memberlakukan
peraturan-peraturan baru bagi penjualan beras secara wajib kepada pemerintah
dengan harga rendah, guna memenuhi kebutuhan balatentara Jepang. Para pejabat
Indonesia harus melaksanakan pengerahan romusha dan penyerahan beras secara
wajib sangat dibenci para penduduk desa. Pada Oktober 1943 Jepang membentuk
organisasi pemuda Indonesia, yaitu Peta (Pembela Tanah Air).
Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela
Indonesia yang pada akhir perang beranggotakan 37.000 orang di Jawa dan sekitar
20.000 orang di Sumatera. Tidak seperti Heiho, Peta tidak secara resmi menjadi
bagian dari balatentara Jepang melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya
pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu.
Korps perwiranya meliputi para pejabat, para guru,
para kyai, dan orang-orang Indonesia yang sebelumnya menjadi serdadu kolonial
Belanda. Di antara mereka adalah seorang bekas guru sekolah Muhammadiyah yang
bernama Soedirman (1915-1950), yang kemudian menjadi salah seorang tokoh
militer terkemuka pada masa revolusi. Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide
nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam indoktrinasi.
Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang juga membentuk
organisasi baru untuk mengendalikan Islam. MIAI dibubarkan dan digantikan oleh
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang mempunyai cabang di setiap
keresidenan di Jawa. Kepemimpinan Masyumi diserahkan kepada tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan NU. Pendiri NU, Hasjim Asjari, dijadikan sebagai ketuanya namun
dia tetap tinggal di pesantrennya di Jombang dan yang menjadi ketua efektif
adalah putranya, Kyai Haji Wachid Hasjim (1913-1953).
Pada bulan Januari 1944 Putera digantikan oleh suatu
gerakan rakyat yang baru dalam rangka mencari suatu organisasi atap yang lebih
memuaskan guna memobilisasi penduduk Jawa. Jawa Hokokai (Persatuan Kebaktian
Jawa) didirikan bagi setiap orang yang berusia lebih dari empat belas tahun.
Gunseikanlah yang menjadi ketua persatuan tersebut, sedangkan Sukarno dan
Hasyim Asyari dijadikan penasihat utamanya dan pengelolaannya diserahkan kepada
Hatta dan Mansur.
Jepang bermaksud memanfaatkan para pemimpin
Indonesia untuk memajukan tujuan mereka sendiri, tetapi para pemimpin Indonesia
tersebut kini mengambil keuntungan dari orang-orang Jepang. Sukarno berhasil
memanfaatkan tamasya propaganda bagi Hokokai untuk memperkokoh posisinya
sendiri sebagai pemimpin utama kekuatan rakyat. Para penguasa priyayi terikat
secara langsung pada organisasi baru itu dengan menjadikan mereka sebagai ketuanya
pada setiap tingkat pemerintahan.
Hokokai juga memiliki suatu alat organisasi untuk
menembus desa-desa. Rukun Tetangga (dalam bahasa Jepang: Tonari Gumi) dibentuk
untuk mengorganisasikan seluruh penduduk menjadi sel-sel yang terdiri atas
sepuluh sampai dua puluh keluarga untuk mobilisasi, indoktrinasi, dan
pelaporan. Para penguasa tingkat bawah dan kepala-kepala desa bertanggung jawab
atas sel-sel tersebut. Pada bulan Februari 1944 para kepala desa juga mulai
menjalani kursus-kursus indoktrinasi. Akan tetapi, pihak Jepang mulai menyadari
bahwa mereka akan kalah dalam perang dan kehilangan kendali atas kekuatan
rakyat yang sudah digairahkan mereka.
Pada bulan Februari 1944 perlawanan serius pertama
kaum tani di Jawa terhadap kewajiban menyerahkan beras meletus di sebuah desa
di Priangan dan berhasil ditumpas secara kejam. Kepemimpinannya dipangku oleh
seorang kyai NU setempat dan murid-muridnya, yaitu orang-orang dari kelompok
yang justru paling diharapkan pihak Jepang dapat dimanfaatkan. Sejak saat itu
protes-protes kaum tani yang terisolasi menjadi semakin meluas.
Di kota-kota besar, terutama Jakarta dan Bandung,
para pemuda yang berpendidikan mulai menggalang jaringan-jaringan bawah tanah,
yang dalam banyak hal ada di bawah pengaruh Sjahrir. Mereka tahu bahwa posisi
Jepang di dalam perang memburuk, dan mereka mulai menyusun rencana-rencana
untuk merebut kemerdekaan nasional. Pada bulan Februari 1944 Tojo meletakkan
jabatan dan Jenderal Koiso Kuniaki menggantikannya sebagai perdana menteri (1944-1945)
dengan membawa kecenderungan yang lebih besar untuk memikirkan kemerdekaan semu
bagi Indonesia.
Pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso
menjanjikan kemerdekaan bagi “Hindia Timur” (To-Indo, istilah dalam bahasa
Jepang yang terus dipakai secara resmi sampai bulan April 1954). Akan tetapi,
Koiso tidak menentukan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa
bangsa Indonesia akan membalas janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai
ungkapan rasa terima kasih. Sementara pihak angkatan laut masih tetap menentang
setiap usaha untuk memajukan nasionalisme di wilayah kekuasaannya, seorang
perwira angkatan laut yang luar biasa ditempatkan di Jawa melakukan peranan
aktif.
Laksamana Madya Maeda Tadashi bertugas menangani
kantor penghubung angkatan darat-angkatan laut di Jakarta. Dia mempunyai
pandangan-pandangan maju mengenai nasionalisme Indonesia. Dia menggunakan dana
angkatan laut untuk membiayai perjalanan pidato keliling Sukarno dan Hatta,
bahkan mengirim mereka ke Makasar pada bulan April 1945 serta ke Bali dan
Banjarmasin pada bulan Juni.
Pada bulan Oktober 1944 dia juga mendirikan asrama
Indonesia Merdeka di Jakarta, atau untuk melatih para pemimpin pemuda yang baru
bagi sebuah negara yang merdeka, atau untuk menemukan cara menembus
jaringan-jaringan bawah tanah pemuda yang telah ada. Maeda menjadi orang
kepercayaan banyak orang Indonesia terkemuka dari berbagai tingkat usia, dan
memberikan sumbangan pada proses yang menjadikan para pemimpin dari generasi
muda dan tua saling mengenal dan memahami (jika tidak selalu saling
menghormati) satu sama lain di Jakarta.
Pada bulan Desember 1944 Masyumi diperbolehkan
memiliki sayap militer yang bernama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan), dan
mempunyai 50.000 orang anggota. Kepemimpinannya didominasi oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII yang dipimpin oleh Agus Salim.
Pada bulan November 1944 orang-orang Indonesia mulai
diangkat menjadi wakil presiden. Para penasihat (sanyo) dihimpun ke dalam
semacam majelis tinggi (Dewan Sanyo, Dewan Penasihat) dari Dewan Penasihat
Pusat yang mempunyai wewenang memberikan nasihat yang agak lebih luas. Para
pejabat tinggi tersebut diikutkan dalam kursus-kursus indoktrinasi pada bulan
Januari 1945, suatu pengalaman baik yang mendorong pemikiran nasionalis di
antara mereka maupun meningkatkan ketidaksenangan mereka terhadap Jepang yang
mengharuskan mereka menjalani sesuatu yang merendahkan martabatnya. Jepang
akhirnya harus memberikan janji kemerdekaan mereka karena runtuhnya posisi
militer mereka yang berlangsung secara cepat itu.
Pada bulan Pebruari 1945 detasemen Peta di Blitar
(Jawa Timur) menyerang gudang persenjataan Jepang dan membunuh beberapa serdadu
Jepang. Enam puluh delapan orang prajurit Peta diajukan ke depan mahkamah
militer (8 orang di antaranya dihukum mati) dan 4 orang pejabat senior Indonesia
dipaksa untuk meletakkan jabatan. Kini pihak Jepang mulai merasa takut bahwa
mungkin mereka tidak dapat mengendalikan kekuatan militer Indonesia yang telah
mereka ciptakan.