Pecahnya
perlawanan Mangkubumi disebabkan:
1)
Paku
Buwono III, raja Mataram menyerahkan pantai utara Pulau Jawa kepada VOC.
Akibatnya Kerajaan Mataram
1)
tidak
mempunyai pelabuhan.
2)
Pangeran
Mangkubumi merasa tersinggung dan malu, karena Gubernur Jenderal Van Imhoff
ikut campur tangan dalam permasalahan antara Pangeran Mangkubumi dan Paku Buwono
II, serta memarahi Pangeran Mangkubumi di depan orang banyak saat sidang
menghadap raja.
Pada
tahun 1794, terjadi kerja sama antara Pangeran Mangkubumi dengan Mas Said untuk
melawan Paku Buwono II dan VOC. Dengan teknik bergerilya perlawanan di tepi
sungai Bogowonto itu berhasil mengalahkan pasukan Belanda.
Bahkan
mampu menguasai daerah kekuasaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sampai Yogya,
Bagelen, dan Pekalongan. Justru pada saat demikian, antara Pangeran Mangkubumi
dan Mas Said berselisih dan berpisah. Akibatnya perjuangan menjadi lemah dan
pasukan VOC segar kembali.
Pada
tanggal 13 Januari 1755, Belanda berhasil membujuk Pangeran Mangkubumi untuk
berdamai. Hasilnya berupa perjanjian Giyanti (1755). Giyanti adalah nama desa
di sebelah timur Sala. Perjanjian Giyanti berisi pembagian Kerajaan Mataram
menjadi dua ialah:
Mataram
bagian timur dengan ibu kota Surakarta Hadiningrat dikuasai Susuhunan Paku
Buwono III, dan Mataram Barat
dengan
ibu kota Yogyakarta dikuasai Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku
Buwono I.
Tanggal
17 Maret 1757, VOC berhasil menghentikan perlawanan Mas Said. Ditandatanganilah
Perjanjian Salatiga.
Isi
perjanjian Salatiga ialah:
Mas
Said diberi sebagian daerah Surakarta dan diangkat menjadi Adipati dengan gelar
Adipati Mangkunegara I dan kedudukannya sama dengan Putra Mahkota Surakarta, daerah
kekuasaannya dinamakan Mangkunegaran, separohnya tetap dikuasai Pakubuwono.
Diperbolehkannya membentuk tentara, yang kemudian hari terkenal dengan sebutan
Legiun Mangkunegaran.