Belanda akhirnya menyerahkan Jawa kepada Inggris
melalui perjanjian yang biasa dikenal dengan istilah Rekapitulasi Tuntang, yang
isinya:
1. Seluruh Jawa
diserahkan kepada Inggris
2. Semua serdadu menjadi
tawanan dan semua pegawai yang mau kerjasama dengan Inggris, dapat terus
memegang jabatannya
3. Semua hutang-piutang
pemerintah Belanda yang dulu, tidak akan ditanggung Inggris.
Pasukan Inggris mendapat dukungan dari beberapa raja
di Jawa, antara lain Mangkunegara, yang merasa kecewa dengan pemerintahan
Daendels. Dengan demikian, sejak 1811 wilayah Hindia Belanda menjadi daerah
jajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris wilayah Hindia Belanda secara
ekonomis dan politis bersatu dengan wilayah India.
Perusahaan dagang Inggris, East Indian Company
(EIC) yang berpusat di Kalkuta, India, dan dipimpin oleh Gubernur Jenderal Lord
Minto merupakan lembaga yang menguasai wilayah perdagangan di Hindia Belanda.
Pada waktu itu, wilayah Hindia Belanda berada di bawah pemerintahan Gubernur
Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816).
Berbeda dengan Daendels, Raffles lebih bersifat
liberal dalam menjalankan pemerintahannya. Beberapa tindakan yang dilakukannya
antara lain:
1. menghapuskan sistem
kerja paksa (rodi) kecuali untuk daerah Priangan dan Jawa Tengah;
2. menghapuskan
pelayaran hongi dan segala jenis tindak pemaksaan di Maluku;
3. melarang adanya
perbudakan;
4. menghapus segala
bentuk penyerahan wajib dan penyerahan hasil bumi;
5. melaksanakan sistem
landrete stelsel (sistem pajak bumi), dengan ketentuan sebagai berikut:
·
Petani harus menyewa tanah (landrent) yang
digarapnya kepada pemerintah.
·
Besarnya sewa tanah bergantung baik buruknya keadaan
tanah.
·
Pajak bumi ini harus dibayar dengan uang atau beras.
·
Orang-orang bukan petani dikenakan pajak kepala.
6. membagi Pulau Jawa
menjadi 16 Keresidenan;
7. mengurangi kekuasaan
para bupati;
8. menerapkan sistem
pengadilan dengan sistem juri.
Dalam buku Sejarah Jawa yang ditulisnya, Raffles
menggambarkan dirinya sebagai seorang pembaru yang hebat. Namun, ternyata
prinsip-prinsip pemerintahannya tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Keinginan
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk tidak dapat dibuktikan. Pada zaman
kekuasaannya, nasib bangsa Indonesia tidak lebih baik dibandingkan dengan zaman
Daendels.
Pada tahun 1816, Inggris harus meninggalkan
kekuasaannya di Indonesia, sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Konvensi
London (1814). Indonesia kembali diserahkan kepada Belanda. Mulai saat itu
Indonesia dijajah kembali oleh Belanda untuk yang kesekian kalinya.
Pola penjajahan Belanda pada tahap ini hingga
berakhirnya kekuasaannya di Indonesia tahun 1942, pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan apa yang dilakukan pada masa VOC, yaitu: monopoli, penyerapan,
penyiksaan, perampasan, adu domba, cenderung kejam, sewenang-wenang, dan tanpa
kompromi tetap mewarnai perjalanan pemerintahan pemerintahan penjajah Belanda
di Indonesia, siapapun yang menjadi gubernur jenderal.
Hal ini dikarenakan tujuan dari penjajahan Belanda
di Indonesia adalah untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat Belanda dimanapun dia berada. Pada tahun 1830, pemerintah
kolonial Belanda di bawah Gubernur Jenderal van den Bosch memberlakukan Sistem
Tanam Paksa (cultuur stelsel). Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas
negara akibat banyaknya perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia di berbagai
daerah.
Dengan sistem tanam paksa (STP) ini penduduk desa di
Jawa diwajibkan menanam tanaman tertentu yang laku di pasaran internasional.
Selanjutnya, penduduk desa wajib menyerahkan hasil tanamannya kepada pemeritnah
kolonial melalui perantara, yaitu penguasa setempat. Dilihat dari segi ekonomi,
sistem ini sangat menguntungkan pemerintah kolonial. Tetapi kebalikannya
dialami oleh rakyat di negeri jajahan.
Rakyat di pedesaan mengalami penderitaan karena
mereka telah kehilangan kebebasan serta hak pribadinya serta tidak adanya kepastian
hukum. STP merupakan sarana pemerintah kolonial untuk mengeksploitasi negeri
jajahan demi keuntungan Negeri Belanda. Setelah mendapat kritikan dari kaum
humanis serta demokrat di Negeri Belanda dan di Hindia Belanda, akhirnya STP
dihapuskan pada tahun 1870.
Penggantinya adalah sistem ekonomi terbuka dengan
menjadikan Hindia Belanda sebagai tempat penanaman modal asing bagi para
pengusaha dari berbagai negara. Hindia Belanda dijadikan sebagai tempat mencari
bahan mentah melalui perkebunan-perkebunan, pemasaran hasil industri di Eropa
serta tempat penanaman modal asing. Akibat dari dilaksanakannya sistem ekonomi
terbuka tersebut bangsa-bangsa di luar Belanda, seperti Inggris, Belgia,
Prancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang berdatangan ke Indonesia.
Mereka menanamkan modalnya untuk mencari keuntungan.
Pengusaha pribumi yang modalnya kurang, kalah bersaing dengan orang Barat
sehingga banyak yang gulung tikar. Suasana seperti ini membuka pengisapan
dengan cara baru dari negeri Indonesia. Apabila pada masa STP, Indonesia
dieksploitasi oleh Negara Belanda maka dalam sistem ekonomi terbuka Indonesia
diekspoitasi oleh kaum swasta dan kapitalisme asing.
Berkembangnya kebijakan ekonomi politik yang
bersifat pintu terbuka, mengakibatkan perkebunan di Jawa dan Sumatera
berkembang dengan pesat. Perkebunan di Sumatra lebih banyak menggunakan tenaga
kerja yang didatangkanlah dari Jawa melalui program transmigarasi. Kehidupan
buruh (kuli) pekebuhan di Sumatera dalam sistem ekonomi tersebut menghasilkan
kisah derita.
Upah buruh tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang
sudah dilakukannya. Untuk memperoleh penghasilan yang layak, banyak di antara
buruh perempuan yang terjerat dalam prostitusi. Banyak juga di antara mereka
yang meninggal dan meninggalkan daerah perkebunan sebelum kontrak berakhir. Dengan
demikian, eksploitasi terhadap penduduk pribumi tetap berjalan walaupun dengan
menggunakan sistem ekonomi modern, sistem ekonomi terbuka.
Pada 1881, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
Undang-Undang tentang kuli (Koelie Ordonantie) yang mengatur para kuli.
Dengan aturan ini, kuli yang akan dipekerjakan di Sumatra harus melalui kontrak
kerja. Tidak boleh meninggalkan pekerjaannya sebelum kontraknya habis. Bagi
yang melarikan diri dikenakan hukuman berupa poenale sanctie.
Para pengusaha mempunyai wewenang menjatuhkan
hukuman kepada kuli-kuli yang bekerja di perkebunan miliknya. Undang-Undang
tentang kuli (Koeli Ordonantie) mendapat kecaman dari Amerika Serikat.
Akhirnya, atas perjuangan Otto Iskandardinata dalam Volksraad, undang-undang
tersebut dihapuskan oleh Belanda pada abad ke-20. Sementara itu, untuk
mendukung program penanaman modal Barat di Hindia Belanda, pemerintah kolonial
Belanda membangun irigasi, waduk-waduk, jalan raya, jalan kereta, dan
pelabuhan-pelabuhan.
Dalam membangun sarana-sarana tersebut, pemerintah
kolonial Belanda menggunakan tenaga bangsa Hindia Belanda yang dipekerjakan
tanpa upah, serta dikerahkan secara paksa. Sistem ini disebut sistem rodi
(kerja paksa). Masuknya bangsa Eropa dalam perdagangan di perairan Hindia Belanda
juga menyebabkan daerah Hindia Belanda terisolasi di laut sehingga kehidupan
berkembang ke daerah pedalaman.
Kemunduran perdagangan di laut ini secara tidak
langsung telah memperkuat budaya feodalisme di pedalaman (Priyanto, 2002).
Dengan feodalisme, rakyat pribumi, terutama di wilayah-wilayah pedesaan,
dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap para tuan tanah yang berkebangsaan
Belanda dan Timur Asing yang dijaga oleh para centeng, penguasa lokal/pribumi.
Penderitaan yang dialami oleh penduduk Indonesia akibat dari praktek penjajahan
Belanda dikritisi oleh kaum humanis Belanda.
Mereka mengkritik pemerintah kolonial yang hanya
mementingkan kekayaan Negeri Belanda dengan cara mengeksploitasi penduduk
negeri jajahan. Salah seorang Belanda yang mengusulkan perbaikan nasib kaum
pribumi adalah Mr.C.Th. van Deventer. Pada 1899, van Deventer memaparkan
gagasannya dalam majalah de Gids. van Deventer mengemukakan een erschuld atau
utang budi, yaitu utang yang harus dilunasi untuk menjaga kehormatan.
Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa negeri
Belanda berutang budi kepada Indonesia yang telah memberikan keuntungan yang
sangat besar. Sebagai pembalasannya, bangsa Belanda harus membantu Hindia
Belanda menyehatkan rakyatnya, mencerdaskan dan memakmurkan rakyatnya. Menurut
van Deventer ada tiga cara untuk itu, yakni:
1) memajukan pengajaran
(edukasi),
2) memperbaiki pengairan
(irigasi), dan
3) melakukan perpindahan
penduduk (transmigrasi).
Gagasan van Deventer ini selanjutnya terkenal dengan
Politik Etis. Pada awalnya, pemerintah Belanda tidak langsung menerima gagasan
van Deventer, tetapi secara lambat laun dijalankan juga. Hanya saja pada
pelaksanaannya tidak seperti kehendak van Deventer melainkan menurut tafsiran
dan kemauan pemerintah Belanda sendiri. Pendidikan dilaksanakan semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan.
Perbaikan di bidang perairan tidak ditujukan untuk
pengairan sawah dan ladang rakyat, tetapi untuk pengairan perkebunan tebu, dan
pabrik-pabrik kepunyaan Belanda atau swasta asing. Transmigrasi dilakukan bukan
untuk memberikan penghidupan yang layak, melainkan hanya untuk membuka
hutan-hutan baru bagi kebutuhan perkebunan dan perusahaan-perusahaan asing.