Kedatangan
bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang
diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode
tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut
bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan
perlawanan.
Kerjasama
kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun
kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila
bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu
berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa.
Selain itu
perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang
disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara
ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap
kekuasaan Barat ditandai dengan perang atau perlawanan langsung terhadap
kekuasaan bangsa Barat.
Perlawanan
tersebut juga ditandai dengan persaingan di antara kerajaan-kerajaan di
Nusantara dalam rangka memperebutkan hegemoni kekuasaan di wilayah tersebut.
Dalam persaingan tersebut sering kali kerajaan-kerajaan Nusantara melibatkan
kekuatan bangsa Barat atau meminta bantuan VOC/Belanda untuk membantu
mengalahkan pesaing-pesaingnya dalam memperebutkan kekuasaan.
Konsekuensinya
VOC/Belanda mendapatkan daerah kekuasaan karena upayanya membantu mengalahkan
pesaingnya. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya kegagalan bangsa
Indonesia dalam mengusir bangsa-bangsa Barat dari Nusantara.
a. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di
Maluku
Maluku
merupakan daerah yang kaya akan rempah-rempah. Rempah-rempah ini dikirim ke
eropa melalui Malaka oleh pedagang-pedagang dari Bugis dan Jawa. Setelah
berhasil menguasai Malaka, Portugis mengirim armadanya ke Maluku dengan tujuan
untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku (monopoli). Kedatangan
Portugis pada awalnya disambut baik oleh rakyat Maluku, karena mereka membawa
bahan pangan juga membeli rempah-rempah.
Maluku pada
waktu itu telah berdiri dua kerajaan besar yang saling bersaing, yaitu Ternate
dan Tidore. Kedatangan Portugis dimanfaatkan oleh kedua kerajaan tersebut untuk
menjalin kerjasama untuk memperkuat kerajaan masing-masing. Pada awalnya
Portugis menjalin persekutuan dengan Ternate dan membangun benteng atau
kekuatan disana.
Benteng
tersebut ternyata dipergunakan untuk membangun kekuatan untuk menekan dan
menurunkan kekuasaan raja Ternate serta menyebarkan agama katolik di Ternate.
Tindakan Portugis ini mendapat perlawanan dari rakyat Ternate yang dipimpin
oleh Sultan Hairun dan Sultan Baabullah (1575), serta Sultan Said. Portugis
lari dari Ternate menuju Tidore, dan membangun benteng dan kekuatan disana,
serta menyebarkan agama kristen katolik.
Keberhasilan
Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku menarik perhatian
Belanda untuk merebutnya, terjadilah persaingan dan peperangan untuk
memperebutkan daerah Maluku. Belanda yang dibantu oleh sekutunya (raja lokal)
berhasil mengusir Portugis dari Maluku, dan sejak saat itulah dimulai babak
baru penjajahan Belanda di Maluku (1606).
Sultan Nuku
merupakan raja dari Kesultanan Tidore yang memimpin perlawanan rakyatnya
terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Sultan Nuku berhasil meningkatkan
kekuatan perangnya hingga 200 kapal perang dan 6000 orang pasukan untuk
menghadapi Belanda. Sultan Nuku juga menjalankan perjuangan melalui jalur
diplomasi. Untuk menghadapi Belanda, dia mengadakan hubungan dengan Inggris
dengan tujuan meminta bantuan dan dukungan.
Siasat untuk
mengadu domba antara Inggris dengan Belanda berhasil dilakukan sehingga pada 20
Juni 1801 Sultan Nuku berhasil membebaskan kota Sua-Sio dari kekuasaan Belanda.
Maluku Utara akhirnya dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Sultan Nuku.
Tokoh lain yang
memimpin perlawanan terhadap kaum imperialis di Maluku adalah Patimura.
Perlawanan Patimura latarbelakangi oleh faktor dihentikannya dukungan terhadap
gereja. Perlawanan yang dipimpin oleh Pattimura dimulai dengan penyerangan
terhadap Benteng Duurstede di Saparua dan berhasil merebut benteng tersebut
dari tangan Belanda.
Perlawanan ini
meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya. Dalam menghadapi serangan
tersebut, Belanda harus mengerahkan seluruh kekuatannya yang berada di Maluku.
Akhirnya, Pattimura berhasil ditangkap dalam suatu pertempuran dan pada tanggal
16 Desember 1817 Pattimura dan kawan-kawanya dihukum mati di tiang gantungan.
Perlawanan lainnya dilakukan oleh pahlawan wanita, yaitu Martha Christina
Tiahahu.
b. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di
Sumatera
Di Sumatera
terjadi Perang Paderi. Perang ini dilatar belakangi konflik antara kaum agama
dan tokoh-tokoh adat Sumatra Barat. Kaum agama sebagai pembaharu yang disebut
kaum Paderi berusaha untuk mengajarkan agama Islam kepada warga sambil
menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian,
gerakan paderi bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam di wilayah Sumatra
Barat serta menentang aspek-aspek budaya yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Tujuan ini
tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena kaum adat tidak ingin kehilangan
kedudukannya serta adat-istiadatnya, dan menentang ajaran kaum Paderi.
Perbedaan pandangan inilah yang kemudian menyebabkan perang saudara dan
mengundang kehadiran kekuatan Inggris dan Belanda. Pertentangan ini kemudian
berkembang menjadi perang saudara, yaitu antara kaum paderi dengan kaum adat.
Kaum Adat yang
terdesak kemudian meminta bantuan kepada Inggris yang sejak 1795 telah
menguasai Padang dan beberapa daerah di daerah pesisir barat sumatera setelah
direbut dari Belanda. Adapun golongan agama pada saat itu telah menguasai
daerah pedalaman Sumatera Barat dan menjalankan pemerintahan berdasarkan agama
Islam.
Pada 1819,
Belanda menerima Padang dan daerah sekitarnya dari Inggris. Sementara itu,
golongan Adat meminta bantuan kepada Belanda dalam menghadapai golongan Paderi.
Pada bulan Februari 1821, kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Seusai
perjanjian itu, mulailah Belanda mengerahkan pasukannya untuk melakukan
penyerangan kepada kaum Paderi.
Pertempuran
pertama antara kaum Paderi dan Belanda terjadi pada bulan April 1821 di daerah
Sulit Air, dekat Danau Singkarak, Solok. Belanda kemudian berhasil menguasai
daerah Pagarruyung, bekas kedudukan raja-raja Minangkabau. Namun, Belanda gagal
merebut pertahanan Paderi yang ada di Lintau, Sawah Lunto dan Kapau, Bukittinggi.
Untuk
menyiasati hal ini Belanda mengajak pemimpin kaum Paderi, Tuanku Imam Bonjol
berunding pada tahun 1824. Namun, perjanjian ini kemudian dilanggar oleh
Belanda. Ketika terjadi Perang Diponegoro, pihak Belanda menarik sebagian besar
pasukannya dari Sumatra Barat dan untuk sementara waktu menunda penyerangannya
pada kaum Paderi. Mereka hanya berjaga-jaga daerah-daerah yang telah mereka
kuasai.
Setelah perang
Diponegoro berakhir, Belanda kembali memusatkan perhatiannya ke daerah Sumatra
Barat dengan target menangkap Tuanku Imam Bonjol. Melalui serangan
besar-besaran dan gencar dari Belanda, akhirnya kota Bonjol jatuh ke tangan
Belanda pada bulan September 1832. Namun, pada tanggal 11 Januari 1833, kota
tersebut dapat direbut kembali oleh kaum Paderi.
Pertempuran
berkobar di mana-mana dan pada saat inilah sebagian dari golongan Adat berbalik
melawan Belanda. Hal ini mencemaskan pihak Belanda sehingga memaksa mereka
memerintahkan Sentot Alibasha Prawirodirjo, bekas panglima perang Diponegoro,
untuk memerangai Paderi. Sentot Alibasha Prawirodirdjo yang tidak mau memerangi
bangsanya sendiri akhirnya berbalik bekerja sama dengan Kaum Paderi menyerang
Belanda.
Pada tanggal 25
Oktober 1833, Belanda mengeluarkan maklumat yang disebut Plakat Panjang. Isinya
mengajak penduduk Sumatra Barat untuk berdamai dan menghentikan perang. Namun,
pada bulan Juni 1834 Belanda kembali melancarkan serangan kepada kaum Paderi
yang berlangsung selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Pada tanggal 16
Agustus 1837, pertahanan Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Tuanku Imam
Bonjol dan para pengikutnya berhasil lolos. Pada tanggal 25 Oktober 1837,
Tuanku Imam Bonjol tiba di Palupuh untuk berunding. Namun, Belanda berkhianat
dengan menangkap Tuanku Imam Bonjol dan membuangnya ke Cianjur, Ambon, dan
terakhir ke Lota dekat Manado. Ia wafat dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di
Tomohon, Sulawesi Utara.
Di Aceh, rakyat
Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda sehingga menimbulkan Perang Aceh.
Seperti halnya zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Kerajaan Aceh mengalami
kejayaan kembali pada abad ke 18 sampai abad ke-19. Dalam hubungannya dengan
kekuatan Barat dan negara tetangga, Aceh mampu memainkan posisi strategis dan
kemampuan diplomatiknya yang baik sehingga dihormati oleh kerajaan-kerajaan
lainnya, termasuk bangsa Barat.
Karena
kemampuan tersebut, kedudukan Aceh dihormati oleh dua kekuasaan kolonial yang
berada di sekitar wilayah Aceh, yaitu Inggris dan Belanda melalui Traktat
London pada 1824. Namun, sejak Terusan Suez dibuka, Aceh yang memiliki
kedudukan strategis di Selat Malaka menjadi incaran kekuatan Barat. Untuk
mengantisipasi hal tersebut pada 1871 Inggris dan Belanda menandatangani
Traktat Sumatra.
Melihat gelagat
ini Aceh mulai mencari bantuan dan dukungan ke luar negeri. Kegiatan diplomatik
ini mulai mencemaskan Belanda. Belanda yang merasa takut disaingi mulai
menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di nusantara. Kerajaan Aceh
menolak tuntutan Belanda tersebut. Penolakan ini mendorong Belanda untuk
mengirimkan pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873.
Pasukan
tersebut dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R. Kohler. Namun, usaha untuk
menguasai Aceh mengalami kegagalan, bahkan Mayor Jenderal Kohler tewas di depan
Masjid Raya Aceh. Serangan kedua dilakukan Belanda pada bulan Desember 1873 dan
berhasil merebut istana kerajaan Aceh. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh
Letnan Jenderal van Swieten memproklamirkan bahwa Kerajaan Aceh berhasil
dikuasai.
Pernyataan ini
tidak terbukti karena kenyataannya Aceh tidak jatuh dan daerah-daerah di luar
Kutaraja masih dikuasai oleh para pejuang Aceh. Walaupun telah dilakukan
serangan secara militer, Aceh secara keseluruhan belum dapat ditaklukan. Oleh
karena itu, Belanda mengirimkan Snouck Hurgronye seorang ahli kajian Islam yang
ditugasi untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891,
Teuku Cik Ditiro meninggal. Selanjutnya, pada 1893, Teuku Umar menyatakan
menyerah kepada Belanda. Namun, pada Maret 1896, ia kabur dan bergabung kembali
bersama para pejuang dengan membawa sejumlah uang dan senjata. Pada 11 Februari
1899, Teuku Umar akhirnya tewas di Meulaboh. Perjuangan Teuku Umar dilanjutkan
oleh istrinya yang bernama Cut Nyak Dhien.
Bersama para
pengikutnya ia melakukan perlawanan terhadap Belanda secara gerilya di
hutan-hutan. Pada November 1902, Belanda menangkap dua orang isteri Sultan Aceh
dan anak-anaknya. Belanda kemudian memerintahkan Sultan untuk memilih menyerah
atau keluarganya akan dibuang. Oleh karena itu, pada 10 Januari 1903, Sultan
Daudsyah menyerah.
Demikian pula
Panglima Polim dan beberapa hulubalang yang menyerah pada September 1903.
Belanda menganggap dengan menyerahnya Sultan Aceh, perlawanan rakyat telah
selesai. Namun, perkiraan ini salah. Ternyata perlawanan rakyat masih terus
berlangsung secara gerilya. Pada 1905, Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap di
hutan. Adapun pejuang wanita lainnya, yaitu Cut Nyak Meutia gugur pada 1910.
Baru pada 1912 Perang Aceh benar-benar berakhir.
c. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di
Sulawesi
Di Pulau
Sulawesi, perlawanan untuk mengusir kekuatan VOC juga dilakukan oleh rakyat
Sulawesi, walaupun tidak berhasil. Penyebabnya hampir sama dengan daerah
lainnya di nusantara, yaitu karena adanya konflik dan persaingan di antara
kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Misalnya konflik antara Sultan Hasanuddin dari
Makasar dan Aru Pallaka dari kerajaan Bone yang memberi jalan bagi Belanda
untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi tersebut.
Sultan
Hasanuddin (Raja Gowa) menguasai Sumbawa untuk memperkuat kedudukannya di
Sulawesi, sehingga jalur perdagangan di nusantara bagian timur dapat
dikuasainya. Penguasaan ini dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam
melakukan aktifitas monopoli perdagangan. Pertempuran antara Sultan Hasanuddin
dan Belanda selalu terjadi, pasukan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman
selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanuddin.
Untuk
menghadapi Sultan Hasanuddin, Belanda meminta bantuan dari Aru Pallaka yang
bersengketa dengan Sultan Hasanuddin. Dengan kerja sama tersebut akhirnya
Makasar jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Hasanuddin harus menandatangani
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang isinya:
1. Sultan
Hasanuddin harus memberikan kebebasan kepada VOC berdagang di kawasan Makasar
dan Maluku.
2. VOC memegang
monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur dengan pusatnya Makasar.
3. Wilayah
kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada zaman Sultan Hasanuddin
dikembalikan kepada Aru Palakka dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
Setelah
perjanjian Bongaya ditandatangani, perlawanan rakyat Sulawesi kepada Belanda
tidaklah berhenti, walau dalam skala yang kecil sebagai upaya untuk mengusir
Belanda dari Sulawesi.
d. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di
Jawa
Perlawanan
terhadap kaum imperialis oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Jawa diawali
dengan perlawanan rakyat Demak yang dipimpin oleh Dipati Unus terhadap kekuatan
Portugis di Malaka. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penguasaan Malaka oleh
Portugis, padahal Malaka adalah tempat bertemunya para pedagang Jawa yang
kebanyak pada waktu itu berasal dari Demak.
Perlawanan
Dipati Unus kepada Portugis di Malaka diwujudkan dalam bentuk serangan pasukan
Dipati Unus terhadap kota pelabuhan Malaka yang dilakukan dua kali (1512 dan
1513), dan mengalami kegagalan. Kegagalan ini disebabkan oleh lemahnya
persenjataan yang dimiliki oleh pasukan Dipati Unus, serta dan tidak mendapat
dukungan dari kerajaan-kerajaan di kawasan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
Sebaliknya,
pada saat yang sama, penguasa kerajaan Pajajaran melakukan kerja sama dengan
bangsa Portugis setelah mereka mendapat ancaman dari kekuatan Islam di pesisir
utara Pulau Jawa, yaitu Cirebon dan Banten. Hal inilah yang juga memperkuat
kekuasaan Portugis di nusantara, dan melemahkan upaya perlawanan kerajaan-kerajaan
nusantara terhadap kekuatan Barat.
Kerajaan
Mataram di Jawa juga melakukan perlawanan terhadap VOC. Ambisi untuk menggusur
VOC dari Jawa mengalami kegagalan, karena hanya dilakukan sendiri dan tidak
mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Jawa. Sultan Agung
yang mempunyai cita-cita untuk mempersatukan wilayah Pulau Jawa dalam
kekuasaannya berusaha mengalahkan VOC di Batavia (Jakarta).
Namun,
penyerangan ke Batavia yang dilakukan pada 1628 dan 1629 tersebut mengalami
kegagalan karena selain pasukan dan persiapan pasukannya yang belum matang,
juga tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan-kerajaan lainnya,
misalnya dengan kesultanan Banten di Jawa Barat. Konflik dalam urusan kerajaan
serta persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan perlawanan terhadap
kekuasaan Barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan
Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC.
Setelah Sultan
Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai sultan
Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati
Sultan Haji. Sultan Ageng yang sangat anti VOC segera menarik kembali tahta
untuk anaknya. Tentu saja tindakan tersebut tidak disukai oleh sang putra
mahkota sehingga dia minta bantuan ke VOC di Batavia untuk membantu
mengembalikan tahtanya.
Akhirnya,
melalui kerja sama dengan VOC, Sultan Haji memperoleh tahta kembali dengan
imbalan diserahkannya sebagian wilayah Banten kepada VOC. Dengan demikian,
konflik internal dalam memperebutkan kekuasaan serta perbedaan sikap dan
pandangan di antara sultan-sultan di kerajaan Banten menyebabkan sulitnya
mengusir kekuasaan Barat dari kawasan tersebut, bahkan sebaliknya kesultanan
tersebut menjadi mudah dikuasai oleh kekuatan asing.
Tokoh lain yang
melakukan perlawanan terhadap VOC adalah Untung Surapati. Untung Surapati
melawan VOC dikarenakan sering memimpin perampokan terhadap pasukan VOC. Versi
lain menyebutkan perlawanan Untung Surapati terhadap VOV dilatarbelakangi oleh
wanita, yaitu ada anak perempuan perwira VOC yang jatuh cinta kepada Untung,
perwira tersebut tidak berkenan dan berusaha membunuh Untung Surapati.
Pemberontakan
Untung Surapati terhadap VOC berlangsung pada 1686 sampai dengan 1706. Adapun
dalam menjalankan aksinya, Untung Surapati bersekutu dengan Sunan Amangkurat II
yang merasa berat atas perjanjiannya dengan VOC. Untuk memadamkan pemberontakan
Untung Surapati, VOC mengutus Kapten Tack ke kerajaan Mataram. Namun, Kapten
Tack beserta seluruh anak buahnya terbunuh.
Tentu saja
Sunan Amangkurat II sangat berterima kasih kepada Untung Surapati. Untuk
membalas jasa-jasa Untung Surapati, Sunan Amangkurat II memberikan daerah
Pasuruan kepada Untung Surapati dan menetapkannya menjadi bupati di sana dengan
gelar Adipati Wiranegara.
Pada 1703,
Sunan Amangkurat II meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar
Sunan Amangkurat III. Seperti ayahnya, Sunan Amangkurat III pun memusuhi VOC
dan bersekutu dengan Untung Surapati. Paman Sunan Amangkurat III yang bernama
Pangeran Puger menginginkan tahta untuk menjadi raja di Mataram. Ia kemudian
bersekutu dengan VOC untuk menjatuhkan Sunan Amangkurat III.
Melihat gelagat
yang demikian, tentu saja VOC sangat bergembira dan berusaha membantu Pangeran
Puger. Untuk mencapai maksudnya, Pangeran Puger bersedia membuat perjanjian
dengan VOC dengan ketentuan menyerahkan sebagian wilayah kekuasaan Mataram.
Adapun isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
·
Seluruh daerah Priangan, Cirebon, dan
Madura bagian Timur diserahkan kepada VOC;
·
Sunan (Pangeran Puger) dibebaskan dari
segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8.000
koyan beras kepada VOC;
·
Di daerah Kartasura VOC bersedia
menempatkan pasukannya untuk melindungi Sunan.
Berdasarkan perjanjian
tersebut, VOC membantu Pangeran Puger untuk menjadi Sunan di Mataram. Pada
1705, Pangeran Puger kemudian dinobatkan oleh VOC menjadi Sunan di Mataram
dengan gelar Sunan Pakubuwono I. Setelah itu, dimulailah peperangan antara
Sunan Pakubuwono I dan Untung Surapati yang dibantu oleh Sunan Amangkurat III.
Pada 1706, VOC akhirnya berhasil melumpuhkan kekuasaan Untung Surapati di
Kartasura. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan Untung Surapati.
Di Jawa Tengah
perlawanan dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya. Perang ini
dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830). Penyebab terjadinya perang ini
adalah rasa tidak puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap
berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan
Yogyakarta.
Di bidang
politik, penguasa Belanda dengan seenaknya mencampuri urusan intern kesultanan.
Akibatnya, di lingkungan keraton Mataram terbentuk dua kelompok yang pro dan
anti Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V, Pangeran
Diponegoro diangkat sebagai anggota Dewan Perwalian. Namun, ia jarang sekali
diajak berbicara mengenai urusan pemerintahan karena sikap kritisnya terhadap
kehidupan keraton yang dianggapnya sudah dipengaruhi oleh budaya Barat dan
penuh intervensi Belanda.
Oleh karena
itu, ia meninggalkan keraton dan menetap di Tegalrejo. Belanda yang ingin
menguasai Mataram sepenuhnya berusaha mencari-cari alasan untuk memulai perang
dan menangkap Diponegoro. Di mata Belanda, Diponegoro merupakan pemimpin lokal
yang sangat membahayakan kedudukan Belanda. Sikapnya yang anti Belanda,
kharismatik, dan mampu membangkitkan simbol-simbol Islam dianggap sebagai
sebuah ancaman bagi kepentingan Belanda di Mataram.
Suatu ketika
pemerintah kolonial Belanda bermaksud membuat jalan raya yang menghubungkan
Yogyakarta dan Magelang. Jalan tersebut ternyata menembus makam leluhur
Diponegoro di Tegalrejo. Hal ini tentu saja membuat Diponegoro marah dan
menganggapnya sebagai suatu penghinaan. Patok-patok yang menandai pembangunan
jalan tersebut kemudian diganti oleh para pengikut Diponegoro dengan
tombak-tombak. Tindakan para pengikut Diponegoro tersebut dijawab oleh Belanda
dengan mengirimkan pasukannya ke Tegalrejo pada 25 Juni 1825.
Pangeran
Diponegoro dan pasukannya membangun pusat pertahanan di Selarong. Dukungan pada
Diponegoro datang dari mana-mana sehingga kekuatan pasukan Diponegoro semakin
bertambah. Tokoh-tokoh yang bergabung antara lain Pangeran Mangkubumi, Sentot
Alibasha Prawirodirjo, dan Kiai Maja. Oleh karena itu untuk menghadapi
perlawanan ini Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi
Selatan yang dipimpin Jenderal Marcus de Kock.
Pasukan
Pangeran Diponegoro selalu berhasil memperoleh kemenangan. Untuk mematahkan
perlawanan Diponegoro, Belanda melakukan taktik Benteng Stelsel. Dengan taktik
tersebut, di daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Belanda didirikan
benteng-benteng pertahanan yang antara satu dengan lainnya dihubungkan oleh
jalan sehingga pasukan mudah bergerak. Akibatnya, pasukan Diponegoro sulit
untuk bergerak.
Sejak 1829,
kekuatan Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikut Diponegoro yang ditangkap
ataupun gugur dalam pertempuran. Pada akhir November 1828, Kiai Maja ditangkap
oleh Belanda. Sementara Sentot Alibasha Prawirodirdjo menyerah pada Oktober
1829. Jenderal de Kock memerintahkan Kolonel Cleerens untuk mencari kontak
dengan Pangeran Diponegoro.
Pada 28 Maret
1830, dilangsungkan perundingan antara Jenderal de Kock dan Diponegoro di
kantor keresidenan di Magelang. Namun, Belanda berkhianat. Pangeran Diponegoro
dan para pengikutnya ditangkap. Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado
dan Makassar. Dengan demikian, Perang Diponegoro berakhir. e. Perlawanan
terhadap Praktek Imperialisme di Bali Pulau Bali sebelum abad ke-9 dikuasai
oleh beberapa kerajaan kecil yang seluruhnya berada di bawah kekuasaan kerajaan
Klungkung.
Kerajaan ini
mengadakan perjanjian dengan Belanda pada tahun 1841. Berdasarkan perjanjian
tersebut, kerajaan Klungkung yang saat itu berada di bawah pemerintahan Raja
Dewa Agung Putera, merupakan kupernement atau suatu negara yang bebas dari
pengaruh kekuasaan Belanda. Hal ini berarti Belanda tidak bisa menguasai
kerajaan Klungkung. Meskipun begitu, Belanda tidak berhenti mencari strategi
untuk menguasai Bali.
Pada tahun
1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak wilayah kerajaan
Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang yang memberi hak kepada penguasa
kerajaan untuk menguasai kapal beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan alasan
oleh Belanda untuk melakukan serangan ke kerajaan Buleleng pada tahun 1848.
Namun, serangan ini mengalami kegagalan.
Pada serangan
yang kedua (1849), pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V.
Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir kerajaan
Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini dikenal dengan nama Puputan Jagaraga.
Setelah Buleleng ditaklukan, Belanda mulai menaklukan kerajaan-kerajaan di Bali
lainnya.
Oleh karena
itu, perlawanan rakyat Bali dalam menghadapi penjajahan Belanda diwarnai dengan
berbagai perang puputan atau perang habis-habisan untuk mempertahankan harga
diri dan kehormatan. Selain Puputan Jagaraga, puputan lain yang pernah terjadi
di Bali, di antaranya Puputan Badung pada tahun 1906, Puputan Kusamba pada
tahun 1908, dan Puputan Klungkung pada tahun1908.
f. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di
Kalimantan
Kerajaan
Banjarmasin di Pulau Kalimantan pada tahun 1826 melakukan kerjasama secara
resmi dengan Belanda. Sultan Adam menyatakan secara resmi hubungan antara
Kerajaan Banjarmasin dan Belanda pada 1826. Namun, pada 1850, Belanda
mencampuri urusan intern kerajaan sehingga menimbulkan perselisihan di antara
keluarga kerajaan. Hal ini terus berlangsung hingga saat Sultan Adam meninggal
pada 1857.
Sepeninggal Sultan
Adam, di kerajaan Banjarmasin terjadi perebutan kekuasaan yang menyebabkan
terpecahnya keluarga kerajaan ke dalam tiga kelompok. Ketiga kelompok tersebut
adalah sebagai berikut:
·
Kelompok Pangeran Tamjid Illah, cucu
Sultan Adam. Kelompok ini merupakan kelompok yang dibenci oleh rakyat karena
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Belanda.
·
Kelompok Pangeran Anom, putera Sultan
Adam. Kelompok ini merupakan kelompok yang tidak disukai oleh rakyat karena
tindakannya yang sewenang-wenang.
·
Kelompok Pangeran Hidayatullah, cucu
Sultan Adam. Kelompok ini merupakan kelompok yang disenangi dan didukung oleh
rakyat serta dicalonkan menjadi sultan untuk menggantikan Sultan Adam.
Di
tengah-tengah kekacauan tersebut, terjadilah Perang Banjarmasin pada 1889 yang
dipimpin oleh Pangeran Antasari. Ia adalah putera dari Sultan Muhammad yang
sangat anti Belanda. Ketika perang berlangsung Belanda mengusulkan untuk
mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai sultan baru. Namun, Pangeran
Hidayatullah menolak usul tersebut. Bahkan Pangeran Hidayatullah secara
terang-terangan memihak kepada Pangeran Antasari.
Pada 1862,
Pangeran Hidayatullah dapat ditangkap dan kemudian dibuang ke Cianjur. Hal ini
tidak membuat perlawanan terhadap Belanda menjadi berhenti. Perlawanan terus
berlangsung di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Oleh rakyat Banjarmasin,
Pangeran Antasari diangkat menjadi Sultan. Namun, hal ini tidak dapat bertahan
lama karena Pangeran Antasari akhirnya tewas dalam pertempuran melawan Belanda
pada 1862.
Walaupun
satu-persatu kekuatan di daerah berhasil ditaklukkan Belanda, perlawanan
kerajaan di Nusantara berlangsung hingga akhir abad ke-19. Perlawanan terjadi
di Sumatra Utara dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII, perlawanan kongsi
Cina di Kalimantan Barat pada 1848-1864, perlawanan Raden Intan di Lampung pada
1856-1859, dan perlawanan Sultan Siak di Sumatra Utara pada 1857. Semuanya
dilakukan secara kedaerahan, oleh karena itu mudah sekali dipatahkan oleh
Belanda.