Praktek
imperialisme dan kolonialisme di Indonesia mempunyai dampak yang sangat besar
bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya mengakibatkan terjadinya penderitaan dan
kesengsaraan fisik, tetapi juga psikhis, bahkan akibatnya terasa hingga saat
ini. Selain mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan, imperialisme barat juga
meninggalkan kosakata, budaya, marga, sarana jalan dan beberapa pabrik gula,
dan aturan perundangan.
Kehidupan
masyarakat Indonesia pada masa kolonial sangat dipengaruhi oleh sistem kolonial
yang diterapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Setelah sistem tanam paksa
dihapuskan pada tahun 1870 pemerintah kolonial menerapkan sistem ekonomi baru
yang lebih liberal. Sistem tersebut ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Menurut
undang-undang tersebut penduduk pribumi diberi hak untuk memiliki tanah dan
menyewakannya kepada perusahaan swasta. Tanah pribadi yang dikuasai rakyat
secara adat dapat disewakan selama 5 tahun. Sedangkan tanah pribadi dapat
disewakan selama 20 tahun. Para pengusaha dapat menyewa tanah dari guberneman
dalam jangka 75 tahun. Dalam jangka panjang, akibat sistem sewa tersebut tanah
yang disewakan cenderung menjadi milik penyewa.
Apabila pada
masa sistem tanam paksa perekonomian dikelola oleh negara maka sejak
Undang-undang Agraria 1870 kegiatan ekonomi lebih banyak dijalankan oleh
swasta. Nilai-nilai kapitalisme mulai masik ke dalam struktur masyarakat
Indonesia. Komersialisasi telah menggantikan sistem ekonomi tradisional. Nilai
uang telah menggantikan satuan ekonomi tradisional yang selama ini dijalankan
oleh masyarakat pedesaan. Masalah sistem perburuhan dikeluarkan aturan yang
ketat.
Tahun 1872
dikeluarkan Peraturan Hukumam Polisi bagi buruh yang meninggalkan kontrak
kerja. Pada tahun 1880 ditetapkan Koeli Ordonanntie yang mengatur hubungan
kerja antara koeli (buruh) dengan majikan, terutama di daerah perkebunan di
luar Jawa. Walaupun wajib kerja dihapuskan sesuai dengan semangat liberalisme,
pemerintah kolonial menetapkan pajak kepala pada tahun 1882. Pajak dipungut
dari semua warga desa yang kena wajib kerja. Pajak tersebut dirasakan oleh
rakyat lebih berat dibandingkan dengan wajib kerja.
Di bidang
ekonomi, penetrasi kapitalisme sampai pada tingkat individu, baik di pedesaan
maupun di perkotaan. Tanah milik petani menjadi objek dari kapitalisme. Tanah
tersebut menjadi objek komersialisasi, satu hal yang tidak kekenal sebelumnya
dalam masyarakat tradisional di pedesaan. Dengan demikian, terjadi perubahan
dalam masyarakat pedesaan terutama dalam melihat aset tanah yang dimilikinya.
Apabila sebelum
adanya UU Agraria tahun 1870 tanah yang dimiliki tidak memiliki arti ekonomi
yang penting kecuali untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maka setelah
dikeluarkannya undang-undang tersebut terjadi komersialisasi aset petani.
Penetrasi tersebut sering kali mengabaikan hak-hak rakyat menurut hukum adat.
Nilai ekonomi uang telah menggantikan nilai ekonomi menurut cara-cara ekonomi
tradisional seperti sistem barter dan lain-lain.
Sistem ekonomi yang
dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah sistem tanam paksa dan sistem
kapitalisme menurut Undang-Undang Agraria tahun 1870. Melalui kedua sistem
tersebut terjadi mobilitas tenaga kerja dari tempat tinggal mereka ke daerah
perkebunan baik yang berada dalam satu pulau maupun luar pulau. Misalnya, sejak
tahun 1870 terjadi pengirimam buruh besar-besaran dari Jawa ke daerah
perkebunan di Sumatera.
Dampak lain
dari imperialisme Belanda di Indonesia adalah dibangunnya jaringan jalan raya,
jalan kereta api serta perhubungan laut dengan menggunakan kapal api. Misalnya,
sejak tahun 1808, di Jawa dibangun Jalan Raya Post (Groete Posweg) yang
menghubungkan kota-kota besar di Jawa. Pada akhir abad ke-19 terdapat 20.000 km
jaringan jalan raya di Jawa. Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk menunjang
kegiatan perkebunan, pengangkutan barang dan tenaga kerja.
Namun demikian,
kondisi tersebut tidak hanya mengakibatkan terjadinya mobilitas hasil-hasil
perkebunan dan barang tetapi juga telah mengakibatkan terjadinya mobilitas
penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya melalui jaringan jalan yang ada.
Pembangunan jalan raya juga diikuti dengan pembangunan jaringan kereta api.
Jaringan kereta api di Indonesia termasuk salah satu yang tertua di Asia.
Misalnya sejak
tahun 1863 telah dibangun jaringan rel kereta api antara Semarang dan
Yogyakarta. Bebarapa tahun kemudian disusul dengan rel antara Jakarta-Bogor.
Pada akhir abad ke-19 telah terhubung rel kereta api antara Jakarta-Surabaya.
Jaringan perhubungan jalan kereta api tersebut telah mempercepat mobilitas
penduduk dari satu kota ke kota lainnya. Adanya jaringan jalan raya serta jalan
kereta api dan hubungan laut telah membantu mempercepat pertumbuhan kota.
Terjadilah urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Pada akhir abad
ke-19 lahirlah kota-kota baru di pedalaman serta di pesisir pantai. Demikian
juga dengan kota-kota lama menjadi incaran penduduk untuk bermukim. Lahirnya
kota-kota tersebut terkait dengan perkembangan ekonomi seperti perkebunan serta
perdagangan antar pulau. Pada akhir abad ke-19 lahirlah kota pedalaman seperti
Bandung, Malang dan Sukabumi. Kota-kota tersebut lahir karena di sekitarnya
dikembangkan perkebunan. Sedangkan di pesisir pantai berkembang pula kota-kota
pesirir seperti Tuban, Gresik, Batavia, Surabaya, Semarang, Banten, Makasar,
yang telah lama ada maupun kota baru seperti Kotaraja, Medan, Padang,
Palembang, Pontianak, dan Banjarmasin.
Pembangunan
pendidikan telah mempercepat mobilitas penduduk. Sekolah-sekolah yang didirikan
di perkotaan telah menarik minat yang besar dari penduduk sekitarnya. Banyak
penduduk yang berpindah dari satu kota ke kota lainnya karena alasan sekolah.
Misalnya, para priyayi dari berbagai kabupaten di Jawa Barat banyak yang
berpindah ke Bandung untuk sekolah.
Lulusan dari
sekolah di sana ada yang tetap bermukin di kota tersebut, ada juga yang kembali
ke daerah asalnya atau ke daerah lain tempat mereka bekerja. Pendidikan yang
berkembang di Indonesia pada abad ke-19 menggunakan sistem yang diselenggarakan
oleh organisasi agama Kristen, Katholik dan Islam. Sistem persekolahan Islam
menggunakan sistem pesantren. Di luar itu, pemerintah kolonial menerapkan
sistem pendidikan Barat.
Sistem
pendidikan Islam dilaksanakan melalui pondok pesantren dengan kurikulum yang
terbuka serta staf pengajar yang berasal dari para kiai. Sistem pendidikan ini
lebih menekankan pada pendidikan agama, kemampuan membaca huruf arab serta
dengan menggunakan bahasa setempat. Sistem pendidikan pesantren dianggap lebih
demokratis sebab membuka kesempatan pada semua golongan untuk memperoleh
pendidikan di sana. Materi pelajaran umum dalam sistem ini hanya mendapat porsi
yang lebih kecil.
Namun demikian,
melalui sistem pendidikan ini telah dilahirkan banyak orang yang memiliki
pandangan yang maju serta mampu melihat kondisi buruk masyarakat yang menjadi
korban dari imperialisme Barat. Bersamaan dengan berkembangnya sistem
pendidikan pesantren berkembang pula sistem pendidikan Barat. Hal ini terjadi
setelah pemerintah kolonial Belanda berusaha menjalankan politik etis, politik
balas budi kepada bangsa Indonesia karena telah memberikan kemakmuran bagi
negeri Belanda.
Sistem tanam
paksa telah menguras kekayaan negeri Indonesia dan dinikmati oleh warga negeri
Belanda. Sementara sebagian penduduk Indonesia terutama yang terlibat dalam
sitem tanam paksa berada dalam kondisi menderita. Menyadari akan kondisi itu,
pemerintah kolonial berusaha menjalankan politik etis melalui pendidikan dan
pengajaran (edukasi), peningkatan pertanian (irigasi) dan pemindahan penduduk
(transmigrasi).
Namun, kalau
ditinjau secara kritis, pelaksanaan politik etis sebenarnya bukan untuk balas
budi, untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia, tetapi lebih diutamakan
untuk kepentingan praktek imperialisme Belanda di Indonesia, dengan tamengnya
politik etis. Sistem penididikan yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda
menggunakan sistem Barat dengan menyediakan tempat berupa sekolah, kurikulum
serta guru dengan jadwal teratur. Pada awalnya, sekolah yang didirikan adalah
sekolah gubernemen di setiap kabupaten atau kota besar.
Sekolah-sekolah
tersebut baru didirikan pada tahun 1840-an dan diperuntukkan bagi warga pribumi
dari golongan menengah atau anak pegawai pemerintah. Untuk menyiapkan tenaga
pengajar maka didirikan sekolah guru (kweekschool) di Sala (1852) dan
Bandung serta Probolinggo (1866). Lulusan sekolah tersebut ditempatkan di
sekolah-sekolah gubernemen.
Bahasa yang
digunakan dalam persekolahan tersebut adalah bahasa Sunda, Jawa, Madura atau
Melayu, tergantung dari lokasi sekolah tersebut. Demikian juga dengan buku
pelajaran. Pada tahun 1851 telah diterbitkan beberapa buku pelajaran mengenai
pertanian, peternakan, kesehatan dan bangunan. Buku-buku yang dikarang oleh
Holle, Goedkoop, Winter, Wilken dan lain-lain tersebut bersifat praktis dan
dapat langsung diterapkan oleh pembaca.
Keberadaan
sekolah tersebut mengakibatkan terjadinya kemajuan yang cukup pesat dalam
bidang pendidikan di Hindia Belanda yang ditandai dengan meningkatnya jumlah siswa
dan guru antara tahun 1873-1883. Misalnya, pada tahun 1873 terdapat 5512 jumlah
siswa di Jawa dan Madura dan meningkat menjadi 16214 tahun 1883. Sedangkan
untuk daerah lainnya terdapat 11276 jumlah siswa pada tahun 1873, meningkat
menjadi 18694 sepuluh tahun kemudian. Sedangkan untuk guru seluruh Indonesia
meningkat dari 411 tahun 1873 menjadi 1241 sepuluh tahun kemudian.
Menurut Sartono
Kartodirjo (1988), perkembangan pendidikan abad ke-19 dipengaruhi oleh
kecenderungan politik dan budaya sebagai berikut:
1. pengajaran
bersifat netral dan tidak didasarkan atas agama tertentu. Hal ini dipengaruhi
oleh faham humanisme dan liberalisme di Negeri Belanda.
2. bahasa
pengantar diserahkan kepada sekolah masing-masing sesuai kebutuhan. Misalnya
jika murid pribumi menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar maka
sekolah harus memenuhinya.
3. sekolah-sekolah
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis pekerjaan kejuruan.
4. sekoleh pribumi
diarahkan agar lebih berakar pada kebudayan setempat.
Faktor-faktor
tersebutlah yang menjadi penyebab bahasa daerah dijadikan sebagai bahasa
pengantar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pangreh praja (birokrasi
pemerintahan) maka didirikanlah hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo
dan Tondano pada tahun 1878. Di sekolah tersebut digunakan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar.
Pada tahun 1899
hoofdenschool berubah nama menjadi OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche
Ambtenaren). Di sekolah tersebut diajarkan mengenai hukum, administrasi, hukum
negara untuk menyiapkan calon pangreh praja. Di luar sekolah di atas,
pemerintah kolonial juga mendirikan sekolah kelas satu atau eerste klasse
untuk anak-anak priyayi dengan menggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Sedangkan untuk rakyat kebanyakan didirikan tweede klasse
atau sekolah kelas dua dengan mengguankan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar.
Di tingkat
perguruan tinggi didirkan sekolah pertanian di Bogor, sekolah dokter hewan di
Surabaya, sekolah bidan di Weltevreden dan sekolah mantri cacar di Jakarta yang
kemudian berubah menjadi Sekolah Dokter Jawa. Sekolah-sekolah tersebut diikuti
oleh siswa dari kalangan priyayi atau para pamong praja dari lingkungan keraton
atau pendopo kabupaten.
Memasuki abad
ke 20, sejarah imperialisme di Indonesia ditandai dengan semakin banyaknya
orang terpelajar yang memperoleh pendidikan Belanda. Mereka bekerja di sektor
pemerintahan sebagai pangreh praja serta pegawai swasta. Kelompok terpelajar
tersebut telah mampu meningkatkan status sosialnya dari yang berkedudukan rendah
menjadi lebih baik.
Dengan
demikian, pendidikan mengakibatkan mereka mengalami mobilitas sosial secara
vertikal yang ditandai dengan status baru serta kedudukan baru dalam berbagai
profesi. Kelompok tersebut dinamakan sebagai homines novi atau orang-orang baru
yang lahir karena pendidikan. Mereka merupakan kelompok pertama dalam
masyarakat Indonesia yang pada awal abad ke-20 memiliki kesadaran nasional dan
kemudian menjadi pelopor pergerakan nasional.
Kedudukan kaum
perempuan pada abad ke-19 masih rendah dibandingkan dengan kedudukan pria.
Kondisi ini diperkuat oleh struktur sosial masyarakat feodal di Jawa yang
menempatkan perempuan berada di bawah posisi laki-laki. Hukum adat yang
menempatkan perempuan dalam posisi itu dibiarkan oleh pemeriantah kolonial
karena kondisi itu
tidak merugikan
pemerintah kolonial. Salah satu adat yang berkembang pada saat itu adalah
poligami. Tradisi tersebut tidak hanya berkembang pada masyarakat kelas bawah
tetapi juga di kalangan golongan bangsawan.
Fenomena ini
dijelaskan Siti Soemandari (1986:16): Banyak dari kalangan bangsawan Jawa yang
awalnya menikah dengan perempuan kebanyakan, pada saat akan mendapatkan
kenaikan pangkat akan menikah dengan perempuan dari derajat yang sama untuk
mendapatkan anak dari golongan itu. Hal ini berarti bahwa prestise mendapatkan
tempat yang tinggi pada masa itu.
Gelar-gelar
kebangsawanan yang didapatkan menunjukkan beruratakarnya feodalisme dalam
komunitas rakyat Jawa. Ini membuktikan bahwa banyaknya permaduan dalam
masyarakat bangsawan sudah menjadi “tradisi feodal”, maka tidak dapat
diharapkan dalam jangka waktu yang pendek memperbaiki struktur itu.
Pada abad ke-19
tradisi pembelengguan perempuan masih cukup kuat. Tradisi ini tidak beranjak
dari tradisi lama dalam masyarakat feodal. Karena tradisi tersebut, perempuan
tidak memiliki kebebasan ke luar rumah. Pingitan ini tentu saja akan memutuskan
komunikasi antara kaum perempuan dengan dunia di sekelilingnya. Gerak langkah
perempuan untuk mengembangkan dirinya menjadi sangat terbatas.
Mengenai
pingitan, Kartini menjelaskan bahwa penjaraku adalah rumah besar, dengan
dikelilingi halaman yang luas tetapi sekitar halaman itu terdapat pagar tembok
yang tinggi. Menyangkut hubungan dengan orang tua, menutur adat, gadis-gadis
yang menjelang dewasa, tidak diperbolehkan bergaul rapat dengan ayah ibunya.
Mereka juga harus menghormati, tunduk dan patuh kepada ayah-ibunya dan saudara-saudaranya
yang lebih tua (Tashadi, 1985).
Tradisi
pingitan tersebut lebih menonjol pada anak gadis dari golongan bangsawan atau
priyayi. Sedangkan bagi anak-anak gadis kebanyakan, mereka sedikit masih
memiliki kebebasan. Namun demikian, keadaan buruk tetap menimpa perempuan dari
semua golongan seperti kawin paksa, kawin anak-anak, poligami dan sebagainya. Perkawinan
anak-anak, poligami sistem perseliran dan perceraian merupakan kesengsaraan
bagi kaum perempuan, karena dampaknya adalah mengkondisikan mereka terjerumus
ke arah prostitusi (Wiriaatmadja, 1985).
Hal ini
diperburuk lagi dengan terpuruknya ekonomi pada saat itu yang memaksa kaum
perempuan mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya khususnya
mereka yang tinggal di dekat perkebunan-perkebunan. Setelah dibukanya daerah
perkebunan berdasar sistem ekonomi kapitalis, kegiatan prostitusi di tempat itu
makin marak. Prostitusi sengaja diciptakan oleh pemilik perkebunan untuk
menanggulangi keresahan sosial di kalangan pekerja perkebunan.
Seperti kasus
di Sumatera, pekerja-pekerja perempuan yang didatangkan dari Jawa yang
seharusnya bekerja di kebun, ternyata dipekerjakan sebagai pemenuh nafsu
biologis para rekan prianya, kuli perkebunan (Slamet Suseno, 1991). Penderitaan
yang berat yang dialami kaum perempuan di perkebunan semakin diperkuat oleh
diberlakukannya peraturan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Peraturan
tersebut adalah Poenale Sanctie, yaitu suatu peraturan yang
memberlakukan sanksi yang ketat terhadap kuli-kuli pekerja perkebunan baik itu
kaum pria maupun perempuan yang dianggap melanggar jam kerja. Kedatangan para pria
Eropa sebagai pemilik modal di daerah perkebunan yang tidak diikuti istri-istri
mereka berpengaruh terhadap kehidupan perempuan pribumi di lingkungan
perkebunan.
Di daerah
tersebut muncul istilah nyai atau pekerja perempuan yang menjadi gundik pria Eropa.
Istilah nyai, atau muncik sesungguhnya muncul beriringan dengan kedatangan
Belanda. Pedagang Asia dan Portugis sudah terbiasa memelihara nyai (Linda
Crystanty, 1994). Perempuan yang dijadikan Nyai ini terjadi pada keluarga
petani miskin dan priyayi yang ingin mempertahankan kedudukan mereka. Tak
jarang dari priyayi tersebut menggundikkan anaknya demi kedudukan mereka.
Melalui nyai,
orang Eropa dapat lebih mudah mempelajari kebudayaan pribumi. Mereka pun tidak
jarang ikut serta dalam kebiasaaan orang pribumi seperti cara makan, tidur,
bergaul dan lain-lain. Perkawinan campuran ini menghasilkan pula perpaduan
antara budaya pribumi dan Eropa. Istri mengikuti gaya hidup suami juga
sebaliknya. Istri-istri mereka dibiasakan dalam “budaya modern”, budaya modern
Eropa seperti cara berdansa, melayani rekan kerja, dan lain-lain.
Mereka dididik
dengan keras oleh suaminya dan merekapun menjadi perempuan modern pada
zamannya. Namun demikian posisi mereka tetap rawan, mereka harus siap
dicampakkan apabila sudah tidak terpakai lagi ketika suaminya harus kembali ke
Eropa. Hal ini memicu mereka untuk berpikir menanggulangi hidupnya, maka
mulailah mereka ikut serta dalam perniagan yang diselenggarakan oleh tuan
tanahnya.
Dari sudut
pandang rakyat, kehidupan nyai yang lebih dominan di lingkungan tuannnya,
menyebabkan mereka disejajarkan dengan bangsa tuannya, kebencian rakyat
terhadap bangsa kulit putih menyebabkan perempuan pribumi yang menjadi nyai
turut pula menanggung kebencian itu, karena dianggap pengkhianat (Linda
Cristianty, 1994). Sepeninggal tuannya, para nyai dihadapkan pada pilihan
sulit, apakah harus tinggal di lingkungan bekas suaminya atau kembali kepada
kampungnya yang sudah mencap jelek.
Ketika agama
Nasrani berkembang, posisi para nyai pun mulai mengikuti zaman. Hal ini
disebabkan karena lembaga-lembaga agama kolonial mengeluarkan aturan mengenai
hak-hak nyai serta anak-anak yang mereka lahirkan. Pada awal abad ke-20
hubungan nyai dan tuan hanya sebagai suka sama suka dan menjadi bisnis
tersendiri. Maka para nyai memberontak karena kedudukan mereka menjadi tidak
sejajar lagi.
Dalam
perkembangan selanjutnya para nyai menjadi semakin berani, harta dan kemewahan
merupakan dambaan mereka yang utama dan bahkan banyak dari mereka yang berani
berhubungan dengan lelaki lain. Setelah dibukanya sekolah oleh pemerintah
Belanda dan adanya kesempatan bagi warga pribumi untuk sekolah, timbulnya
aspirasi-aspirasi untuk mengadakan inovasi dan modernisasi menurut model
Barat.
Akibatnya,
terjadi perubahan cara pandang golongan terpelajar ini terhadap tradisi mereka.
Mereka melihat bahwa banyak tradisi setempat yang menghambat kemajuan, sehingga
timbullah kesadaran bahwa untuk mencapai kemajuan itu diperlukan suatu
liberalisasi dari belenggu adat istiadat. Kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk
berbagai gerakan sosial dan budaya. Salah satu gerakan tersebut adalah gerakan
emansipasi oleh R.A Kartini.
Kartini yakni
dengan pendidikan seorang perempuan dapat meningkatkan kedudukannya dan dapat
memberikan jalan keluar dari semua penderitaan. Dalam bukunya A.K Pringgodigdo
(1994) Kartini memiliki pandangan bahwa keburukan-keburukan yang menimpa
perempuan adalah akibat dari kekurangan pengajaran. Pengajaran untuk perempuan
sangat sedikit sekali, karena orang tua tidak mengizinkan anak-anak gadis pergi
ke sekolah berhubung dengan adat istiadat.
Pandangan
inilah yang memberikan inspirasi pada kaum perempuan terpelajar untuk
memperjuangkan hak-hak mereka serta meningkatkan posisinya dalam kehidupan.
Menurut Cahyo Budi Utomo (1995), secara biologis ada dua jenis gerakan
perempuan pada masa-masa awal abad XX, yakni organisasi lokal kedaerahan dan
organisasi keagamaan. Putri Mardiko merupakan organisasi keputrian tertua yang
merupakan bagian dari Budi Utomo.
Organisasi ini
di bentuk pada tahun 1912. Tujuannya adalah memberikan bantuan, bimbingan dan
penerangan pada gadis pribumi dalam menuntut pelajaran dan dalam menyatakan
pendapat di muka umum. Untuk memperbaiki hidup perempuan, Putri Merdiko
memberikan beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan. Tokoh-tokohnya adalah R.A
Sabarudin, R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini dan Sadikin Tondokusumo.
Setelah putri
Merdiko lahirlah organisasi-organisasi perempuan baik yang dibentuk sendiri
oleh kaum perempuan maupun organisasi yang beranggotakan kaum pria. Beberapa di
antaranya adalah Pawiyatan Perempuan di Magelang (1915), Pencintaan Ibu Kepada
Anak Temurun (PIKAT), Purborini di Tegal (1917), Aisyiyah di Yogyakarta (1918),
dan Perempuan Susilo di Pemalang (1918). Salah satu organisasi keagamaan yang
memperhatikan masalah kedudukan perempuan adalah organisasi Aisiyah.
Organisasi ini
dibentuk atas prakarsa dari KH.Ahmad Dahlan dan berdiri pada tahun 1917 setelah
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Tokoh perempuan dari pendiri Aisiyah ini
adalah Ny. Ahmad Dahlan. Pada awalnya Ny. Ahmad Dahlan memberikan pendidikan
kepada buruh-buruh batik. Hal ini dimaksudkan agar para buruh-buruh perempuan
memperoleh wawasan dalam rangka memperbaiki kehidupannya. Walaupun pendidikan
yang diberikan adalah menyangkut materi keagamaan serta kemampuan baca dan
tulis.
Menurut Sukanti
Suryocondro (1995), organisasi-organisasi tersebut bergerak dalam bidang sosial
dan kultural, yaitu memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat. Tujuan lainnya adalah keinginan untuk mempertahankan ekspresi
kebudayan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat. Tujuan terakhir ini
menunjukan adanya sifat nasionalisme dalam organisasi-organisasi tersebut.