Kolonialisme
negara-negara barat masuk ke Indonesia sejak abad ke-16, yang dipelopori oleh
Portugis dengan cara monopoli perdagangan rempah-rempah dan ditandai dengan
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Kedatangan Portugis yang membawa
keberhasilan itu diikuti bangsa-bangsa lain diantaranya Belanda.
Belanda datang
ke Indonesia dengan tujuan utama untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di
nusantara, yang pada waktu itu dikuasai oleh pedagang-pedagang Islam.
Rempah-rempah pada waktu itu merupakan barang perdagangan yang sangat penting
di Eropa dan memberi keuntungan yang sangat besar bagi para pedagang di Eropa.
Kedatangan
Belanda ke Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh upaya untuk mendapatkan “gold,
gospeld dan glory” yang menjadi ciri khas dari praktek imperialisme kuno,
dimana penguasaan wilayah lain sebagai tujuan untuk mendapatkan kekayaan dalam
bentuk emas, mendapatkan kejayaan karena menguasai daerah lain, dan penyebaran agama
nasrani sebagaimana permintaan gereja.
Pada awal
kedatangannya ke wilayah Indonesia, Belanda hanya ingin menguasai secara
monopoli jalur perdagangan rempah-rempah di nusantara, mulai dari daerah Maluku
menuju ke Malaka, yang selanjutnya mengirimkannya ke Eropa.
Dalam upaya
menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di nusantara, pemerintah Belanda
mendirikan badan perniagaan “kongsi dagang” yang bernama Vereenigne Oost
Indische Compagnie (VOC) pada 1602. Tujuan didirikannya perkumpulan dagang ini
adalah untuk mengintensifkan perdagangan di kawasan nusantara dan menghindari
persaingan tidak sehat di antara para pedagang Belanda sendiri.
Intinya tujuan
pendirian VOC adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam
perdagangan dengan cara menguasai, memonopoli perdagangan rempah-rempah di
Indonesia. Pedagang-pedagang di nusantara yang berasal dari Jawa, Bugis, Arab,
dan Cina mengalami kerugian yang sangat besar terutama setelah didirikannya
Vereenigne Oost Indische Compagnie (VOC).
Secara perlahan
pedagang-pedagang nusantara yang selama ini menguasai jalur perdagangan
rempah-rempah di kawasan nusantara mengalami kerugian dan hancur dengan
sendirinya, apalagi setelah VOC diberikan hak yang cukup besar dalam bidang
politik dan militer oleh pemerintah Belanda dalam menjalankan kongsi dagangnya.
Oleh karena itu VOC tidak segan-segan menggunakan kekuatan bersenjata dan
militer dalam melaksanakan kongsi dagangnya, yaitu memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan cara memonopoli perdagangan rempah-rempah dan berbagai
macam hasil bumi lainnya di wilayah nusantara.
Perusahaan
dagang ini diberikan hak-hak istimewa oleh Pemerintah Belanda. Hak-hak yang
diberikan kepada VOC itu disebut hak octrooi, yang isinya memberikan hak kepada
VOC sebagai berikut:
1. memperoleh hak
monopoli perdagangan;
2. memperoleh hak
untuk mencetak dan mengeluarkan uang sendiri;
3. dianggap
sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia;
4. berhak
mengadakan perjanjian;
5. berhak
memaklumkan perang dengan negara lain;
6. berhak
menjalankan kekuasaan kehakiman;
7. berhak
mengadakan pemungutan pajak;
8. berhak memiliki
angkatan perang sendiri;
9. berhak
mengadakan pemerintahan sendiri.
Akibat hak-hak
monopoli yang dimilikinya, VOC bisa memaksakan kehendaknya pada
perusahaan-perusahaan perdagangan nusantara untuk mengikuti kehendak VOC, yang
sangat merugikan para pedagang nusantara. Tindakan ini tentu saja menimbulkan
permusuhan dari para pedagang nusantara, apalagi sistem monopoli bertentangan
dengan sistem tradisional yang berlaku saat itu. Jaringan perdagangan rempah-rempah
Maluku ke Malaka yang dikuasai pedagang Islam akhirnya jatuh ke tangan VOC.
Dalam upaya
mempertahankan monopoli perdagangannya, VOC meningkatkan kekuatan militernya
dengan cara membangun benteng-benteng pertahanan. Benteng-benteng pertahanan
tersebut didirikan di Ambon, di Malaka (setelah direbut dari Portugis), di
Makassar, dan di Jayakarta (yang pada 1619 diubah namanya menjadi Batavia).
Kota Batavia ini menjadi pelabuhan penting alternatif dari Maluku dan Malaka
selain juga menjadi pusat operasional VOC atas seluruh nusantara.
Penguasa
Jayakarta, Pangeran Jayakarta, tidak berhasil mengusir penguasa VOC, tetapi
sebaliknya Jan Pieterzoon Coen pimpinan VOC, berhasil menguasai seluruh kota ke
tangan VOC. Praktek VOC dalam melakukan monopoli perdagangan serta memaksakan
kekuasaannya terhadap kerajaan-kerajaan di nusantara sangat tidak manusiawi dan
menyakitkan. Cara-cara kekerasan, peperangan, adu domba, penindasan, dan
tindakan kasar lainnya telah menyebabkan penderitaan yang tidak terkirkan bagi
bangsa Indonesia.
Misalnya pada
1620 VOC telah mengusir dan membunuh seluruh penduduk yang tidak mau
menyerahkan rempah-rempahnya pada mereka (Ricklefs, 1991). Pada tahun-tahun
berikutnya, satu persatu pusat-pusat perdagangan Islam nusantara dihancurkan
dan dikuasainya. Demikian juga dengan kerajaan-kerajaan di nusantara.
Cara-cara tipu muslihat, adu-domba, penetrasi terhadap urusan internal
kerajaan, terutama di Jawa ditempuhnya. Selama kurang lebih 200 tahun, beberapa
kerajaan Nusantara jatuh ke tangan VOC.
Kerajaan
Mataram, Banten, Cirebon, Maluku, Banda, Ambon, Makassar, dan Bone dikuasainya.
VOC dalam menjalankan kongsi dagangnya tidak hanya bergerak di bidang ekonomi,
tetapi juga di bidang militer dan politik, yang dilakukan dengan penguasaan
wilayah kerajaan-kerajaan di Hindia Belanda serta penghancuran terhadap wilayah
yang tidak mau dikuasai. Kepada masyarakat VOC juga menerapkan praktek kerja
paksa, penyetoran upeti, feodalisme, penghisapan, dan penyerahan hasil
pertanian.
Kondisi ini
menyebabkan rakyat Indonesia secara sosial, ekonomi, politik, dan psikologis
mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang tidak terkirakan parahnya. Meskipun
VOC telah berhasil menaklukan beberapa kerajaan di nusantara, menghancurkan
sistem perdagangan tradisional yang selama ini berkembang serta memberi
penderitaan pada masyarakat Indonesia, namun organisasi tersebut akhirnya
mengalami kemunduran, dan dibubarkan pada tahun 1799.
Beberapa faktor
yang menjadi penyebab hancurnya VOC dalam menjalankan tugasnya di Hindia
Belanda adalah sebagai berikut:
1. merajalelanya
korupsi pada para pegawai VOC;
2. kuatnya
persaingan di antara kongsi-kongsi perdagangan lain;
3. terlalu banyak
biaya untuk menumpas berbagai pemberontakan rakyat;
4. meningkatnya
kebutuhan untuk gaji pegawai VOC.
5. kebijakan
pengelolaan keuangan yang ceroboh dilakukan oleh pemerintah Hindai Belanda,
diantaranya dalam membayar para pemegang saham rata-rata 18% setahun.
Menurut
Ricklefs (1991), kemunduran VOC disebabkan oleh ketidakberdayagunaan,
ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme yang tersebar luas di kalangan
anggota VOC. Walaupun VOC merupakan organisasi milik Belanda, namun sebagian
besar anggotanya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat,
dan orang-orang yang bernasib jelek dari seluruh Eropalah yang mengucapkan
sumpah setia pada VOC, dan menjadi anggota VOC.
Ketidak berdayagunaan,
ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme tersebar luas di kalangan anggota
VOC. Hal itu pula yang melatarbelakangi sikap operasional VOC terhadap bangsa
Indonesia yang cenderung kejam, sewenang-wenang, dan tanpa kompromi. Pada 1799,
organisasi yang sudah banyak memberikan keuntungan besar bagi Negeri Belanda
serta menimbulkan banyak korban di pihak bangsa Indonesia ini akhirnya
dibubarkan.
Bubarnya VOC
tidak berarti bebasnya Hindia Belanda dari kekuasan negara-negara Eropa dan
menjadi daerah merdeka. Hal ini karena wilayah-wilayah Hindia Belanda yang semula
dibawa kekuasaan VOC, diserahkan kepada pemerintah Belanda secara langsung.
Jadi sejak saat itu Hindia Belanda (Indonesia) menjadi daerah jajahan
pemerintah Belanda secara langsung, tidak lagi secara tidak langsung melalui
lembaga ekonomi yang bernama VOC.
Dalam
menjalankan kekuasaannya di daerah jajahan pemerintah Belanda menempatkan
seorang Gubernur Jenderal sebagai pemegang kekuasaan penuh atas suatu wilayah
jajahan, termasuk Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Johannes Siberg adalah
penguasa wilayah Hindia Belanda pertama setelah bubarnya VOC, yang menjabat
mulai tahun 1801-1804. Siberg kemudian digantikan oleh Wiesel (1804-1808).
Kedua gubernur
jenderal ini tidak bisa melaksanakan pemerintahannya sebagaimana mestinya
karena pada saat itu di negeri Belanda terjadi pergolakan akibat dari revolusi
Perancis dan perluasaan daerah kekuasaan dibawah kepemimpinan Napoleon
Bonaparte. Pada saat itu negeri Belanda dikuasai oleh Perancis.
Gubernur
Jenderal yang menjabat di Hindia Belanda antara 1801-1808, dalam menjalankan
kekuasaannya tidak jauh berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh VOC sebelum
dibubarkan, tetap menggunakan cara-cara yang sewenang-wenang, penghisapan,
adu-domba, feodalisme, kerjapaksa, dan sebagainya sehingga tetap saja
menyengsarakan dan memberi penderitaan rakyat hindia belanda.
Jatuhnya
Kerajaan Belanda ke tangan Perancis yang disusul dengan diangkatnya Raja Louis
Napoleon Bonaparte (adik kaisar Napoleon) pada 1806 sebagai raja Belanda maka
dengan sendirinya Hindia Belanda secara tidak langsung juga berada di bawah
Imperium Perancis. Pemerintah Kerajaan Belanda yang sudah menjadi bagian dari
imperium Perancis harus berhadapan dengan Inggris, musuh Napoleon Bonaparte
yang belum dapat ditaklukkan.
Persaingan
antara Perancis dengan Inggris bukan hanya terjadi di daratan Eropa melainkan
juga di daerah koloni di Asia, Afrika dan Amerika, termasuk di Hindia Belanda.
Pada tahun 1808 Belanda mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur
Jenderal di Hindia Belanda untuk mempertahankan Pulau Jawa dari musuh Perancis
di Eropa yaitu Inggris.
Selain itu
juga, Daendels mendapatkan misi untuk tetap menjadikan Hindia Belanda sebagai
sumber pendapatan negeri Belanda, yang pada saat itu sedang mengalami krisis
keuangan karena perang melawan Perancis. Herman Willem Daendels (1808-1811)
diangkat menjadi gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk mempertahankan Pulau
Jawa dari musuh Perancis yaitu Inggris.
Dalam
menghadapi Inggris, Daendels membangun jaringan jalan raya di Pulau Jawa bagian
utara, mulai dari Anyer sampai Panarukan. Dibawah tindakan keras Daendels,
Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan berhasil dibangun
dengan cara memaksa penguasa-penguasa di Jawa untuk mengerahkan rakyat bekerja
pada proyek raksasa tersebut.
Bangsa
Indonesia harus menghadapi penderitaaan yang sangat parah dibawah pemerintahan
Daendels. Kerja paksa yang sudah dijalankan oleh VOC diteruskan oleh Daendels.
Untuk membiayai proyek tersebut, rakyat dibebani dengan pajak-pajak tertentu
yang cukup besar. Dengan demikian, sistem wajib penyerahan model VOC diteruskan
oleh Daendels. Tanah-tanah rakyat yang produktif dijual kepada orang-orang
Belanda, Cina, dan Arab.
Dari cara itu
Daendels memperoleh uang untuk mempertahankan politiknya di Jawa serta membangun
pasukan yang jumlahnya mencapai 18.000 orang (sebagian besar pribumi),
membangun benteng pertahanan serta jaringan logistik lainnya. Kehidupan keraton
di Jawa juga terancam akibat ulah Daendels. Tindakannya yang keras terhadap
kehidupan keraton serta membatasi kekuasaan para sultan dan bupati di Jawa
telah menimbulkan keresahan di kalangan mereka.
Sultan Banten
yang mengadakan perlawanan karena tidak sanggup menyelesaikan pembangunan
pelabuhan, akhirnya dibuang ke Ambon. Sementara Kesultanan Banten sendiri
akhirnya dihapuskan oleh Daendels. Demikian halnya dengan intervensinya
terhadap kehidupan di Yogyakarta yang menimbulkan keresahan di kalangan
keraton. Aturan tata krama keraton dilanggar.
Perlawanan
Sultan Yogyakarta dilawan Daendels dengan cara merampas harta keraton dan
menghancurkannya. Kekuasaan Sultan dipersempit, adapun Sultan Hamengkubuwono I
yang dengan gigih menentang Daendels dipecat dari kedudukannya.
Dengan
melakukan intervensi yang dalam, beberapa perubahan yang mendasar juga dilakukan
dalam penyelenggaraan pemerintahan penjaja han, ditambah lagi dengan
kekejamannya, Daendels mengharapkan semua kekuatan sosial politik di Jawa
tunduk pada kebijaksanaannya dan Jawa tetap dapat dipertahankan dari
kemungkinan serangan Inggris, serta tetap memberi sumbangan pendapatan kepada
negeri Belanda.
Walaupun
demikian, ternyata pasukan Inggris yang sudah memiliki pangkalan dagang dan
militer di wilayah Hindia Belanda dan India dengan mudah mampu mengalahkan
pasukan Perancis dan Belanda di wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 8 Agustus
1811, 60 buah kapal Inggris melakukan serangan ke Batavia. Pada tanggal 26
Agustus 1811, akhirnya Batavia dan daerah-daerah sekitarnya jatuh ke tangan
Inggris, dan dalam waktu singkat seluruh Jawa dapat direbut.
Belanda
akhirnya menyerahkan Jawa kepada Inggris melalui perjanjian yang biasa dikenal
dengan istilah Rekapitulasi Tuntang, yang isinya:
1. Seluruh Jawa
diserahkan kepada Inggris
2. Semua serdadu
menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerjasama dengan Inggris, dapat
terus memegang jabatannya
3. Semua
hutang-piutang pemerintah Belanda yang dulu, tidak akan ditanggung Inggris.
Pasukan Inggris
mendapat dukungan dari beberapa raja di Jawa, antara lain Mangkunegara, yang
merasa kecewa dengan pemerintahan Daendels. Dengan demikian, sejak 1811 wilayah
Hindia Belanda menjadi daerah jajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris
wilayah Hindia Belanda secara ekonomis dan politis bersatu dengan wilayah
India.
Perusahaan
dagang Inggris, East Indian Company (EIC) yang berpusat di Kalkuta,
India, dan dipimpin oleh Gubernur Jenderal Lord Minto merupakan lembaga yang
menguasai wilayah perdagangan di Hindia Belanda. Pada waktu itu, wilayah Hindia
Belanda berada di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles
(1811-1816).
Berbeda dengan
Daendels, Raffles lebih bersifat liberal dalam menjalankan pemerintahannya.
Beberapa tindakan yang dilakukannya antara lain:
1. menghapuskan
sistem kerja paksa (rodi) kecuali untuk daerah Priangan dan Jawa Tengah;
2. menghapuskan
pelayaran hongi dan segala jenis tindak pemaksaan di Maluku;
3. melarang adanya
perbudakan;
4. menghapus
segala bentuk penyerahan wajib dan penyerahan hasil bumi;
5. melaksanakan
sistem landrete stelsel (sistem pajak bumi), dengan ketentuan sebagai berikut:
·
Petani harus menyewa tanah (landrent)
yang digarapnya kepada pemerintah.
·
Besarnya sewa tanah bergantung baik
buruknya keadaan tanah.
·
Pajak bumi ini harus dibayar dengan uang
atau beras.
·
Orang-orang bukan petani dikenakan pajak
kepala.
6. membagi Pulau
Jawa menjadi 16 Keresidenan;
7. mengurangi
kekuasaan para bupati;
8. menerapkan sistem
pengadilan dengan sistem juri.
Dalam buku
Sejarah Jawa yang ditulisnya, Raffles menggambarkan dirinya sebagai seorang
pembaru yang hebat. Namun, ternyata prinsip-prinsip pemerintahannya tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya. Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
tidak dapat dibuktikan. Pada zaman kekuasaannya, nasib bangsa Indonesia tidak
lebih baik dibandingkan dengan zaman Daendels.
Pada tahun
1816, Inggris harus meninggalkan kekuasaannya di Indonesia, sebagai tindak
lanjut dari pelaksanaan Konvensi London (1814). Indonesia kembali diserahkan
kepada Belanda. Mulai saat itu Indonesia dijajah kembali oleh Belanda untuk
yang kesekian kalinya.
Pola penjajahan
Belanda pada tahap ini hingga berakhirnya kekuasaannya di Indonesia tahun 1942,
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pada masa VOC,
yaitu: monopoli, penyerapan, penyiksaan, perampasan, adu domba, cenderung
kejam, sewenang-wenang, dan tanpa kompromi tetap mewarnai perjalanan
pemerintahan pemerintahan penjajah Belanda di Indonesia, siapapun yang menjadi
gubernur jenderal.
Hal ini
dikarenakan tujuan dari penjajahan Belanda di Indonesia adalah untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Belanda dimanapun dia
berada. Pada tahun 1830, pemerintah kolonial Belanda di bawah Gubernur Jenderal
van den Bosch memberlakukan Sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel).
Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas negara akibat banyaknya perlawanan yang
dilakukan bangsa Indonesia di berbagai daerah.
Dengan sistem
tanam paksa (STP) ini penduduk desa di Jawa diwajibkan menanam tanaman tertentu
yang laku di pasaran internasional. Selanjutnya, penduduk desa wajib
menyerahkan hasil tanamannya kepada pemeritnah kolonial melalui perantara,
yaitu penguasa setempat. Dilihat dari segi ekonomi, sistem ini sangat
menguntungkan pemerintah kolonial. Tetapi kebalikannya dialami oleh rakyat di
negeri jajahan.
Rakyat di
pedesaan mengalami penderitaan karena mereka telah kehilangan kebebasan serta
hak pribadinya serta tidak adanya kepastian hukum. STP merupakan sarana
pemerintah kolonial untuk mengeksploitasi negeri jajahan demi keuntungan Negeri
Belanda. Setelah mendapat kritikan dari kaum humanis serta demokrat di Negeri
Belanda dan di Hindia Belanda, akhirnya STP dihapuskan pada tahun 1870.
Penggantinya
adalah sistem ekonomi terbuka dengan menjadikan Hindia Belanda sebagai tempat
penanaman modal asing bagi para pengusaha dari berbagai negara. Hindia Belanda
dijadikan sebagai tempat mencari bahan mentah melalui perkebunan-perkebunan,
pemasaran hasil industri di Eropa serta tempat penanaman modal asing. Akibat
dari dilaksanakannya sistem ekonomi terbuka tersebut bangsa-bangsa di luar
Belanda, seperti Inggris, Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang
berdatangan ke Indonesia.
Mereka
menanamkan modalnya untuk mencari keuntungan. Pengusaha pribumi yang modalnya
kurang, kalah bersaing dengan orang Barat sehingga banyak yang gulung tikar.
Suasana seperti ini membuka pengisapan dengan cara baru dari negeri Indonesia.
Apabila pada masa STP, Indonesia dieksploitasi oleh Negara Belanda maka dalam
sistem ekonomi terbuka Indonesia diekspoitasi oleh kaum swasta dan kapitalisme
asing.
Berkembangnya
kebijakan ekonomi politik yang bersifat pintu terbuka, mengakibatkan perkebunan
di Jawa dan Sumatera berkembang dengan pesat. Perkebunan di Sumatra lebih
banyak menggunakan tenaga kerja yang didatangkanlah dari Jawa melalui program
transmigarasi. Kehidupan buruh (kuli) pekebuhan di Sumatera dalam sistem
ekonomi tersebut menghasilkan kisah derita.
Upah buruh
tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang sudah dilakukannya. Untuk memperoleh
penghasilan yang layak, banyak di antara buruh perempuan yang terjerat dalam
prostitusi. Banyak juga di antara mereka yang meninggal dan meninggalkan daerah
perkebunan sebelum kontrak berakhir. Dengan demikian, eksploitasi terhadap
penduduk pribumi tetap berjalan walaupun dengan menggunakan sistem ekonomi
modern, sistem ekonomi terbuka.
Pada 1881,
pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang tentang kuli (Koelie
Ordonantie) yang mengatur para kuli. Dengan aturan ini, kuli yang akan
dipekerjakan di Sumatra harus melalui kontrak kerja. Tidak boleh meninggalkan
pekerjaannya sebelum kontraknya habis. Bagi yang melarikan diri dikenakan
hukuman berupa poenale sanctie.
Para pengusaha
mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada kuli-kuli yang bekerja di
perkebunan miliknya. Undang-Undang tentang kuli (Koeli Ordonantie)
mendapat kecaman dari Amerika Serikat. Akhirnya, atas perjuangan Otto
Iskandardinata dalam Volksraad, undang-undang tersebut dihapuskan oleh Belanda
pada abad ke-20. Sementara itu, untuk mendukung program penanaman modal Barat
di Hindia Belanda, pemerintah kolonial Belanda membangun irigasi, waduk-waduk,
jalan raya, jalan kereta, dan pelabuhan-pelabuhan.
Dalam membangun
sarana-sarana tersebut, pemerintah kolonial Belanda menggunakan tenaga bangsa
Hindia Belanda yang dipekerjakan tanpa upah, serta dikerahkan secara paksa.
Sistem ini disebut sistem rodi (kerja paksa). Masuknya bangsa Eropa dalam
perdagangan di perairan Hindia Belanda juga menyebabkan daerah Hindia Belanda
terisolasi di laut sehingga kehidupan berkembang ke daerah pedalaman.
Kemunduran perdagangan
di laut ini secara tidak langsung telah memperkuat budaya feodalisme di pedalaman
(Priyanto, 2002). Dengan feodalisme, rakyat pribumi, terutama di
wilayah-wilayah pedesaan, dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap para tuan
tanah yang berkebangsaan Belanda dan Timur Asing yang dijaga oleh para centeng,
penguasa lokal/pribumi. Penderitaan yang dialami oleh penduduk Indonesia akibat
dari praktek penjajahan Belanda dikritisi oleh kaum humanis Belanda.
Mereka
mengkritik pemerintah kolonial yang hanya mementingkan kekayaan Negeri Belanda
dengan cara mengeksploitasi penduduk negeri jajahan. Salah seorang Belanda yang
mengusulkan perbaikan nasib kaum pribumi adalah Mr.C.Th. van Deventer. Pada
1899, van Deventer memaparkan gagasannya dalam majalah de Gids. van Deventer
mengemukakan een erschuld atau utang budi, yaitu utang yang harus dilunasi
untuk menjaga kehormatan.
Dalam artikel
tersebut dijelaskan bahwa negeri Belanda berutang budi kepada Indonesia yang
telah memberikan keuntungan yang sangat besar. Sebagai pembalasannya, bangsa
Belanda harus membantu Hindia Belanda menyehatkan rakyatnya, mencerdaskan dan
memakmurkan rakyatnya. Menurut van Deventer ada tiga cara untuk itu, yakni:
1) memajukan
pengajaran (edukasi),
2) memperbaiki
pengairan (irigasi), dan
3) melakukan
perpindahan penduduk (transmigrasi).
Gagasan van
Deventer ini selanjutnya terkenal dengan Politik Etis. Pada awalnya, pemerintah
Belanda tidak langsung menerima gagasan van Deventer, tetapi secara lambat laun
dijalankan juga. Hanya saja pada pelaksanaannya tidak seperti kehendak van
Deventer melainkan menurut tafsiran dan kemauan pemerintah Belanda sendiri.
Pendidikan dilaksanakan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan.
Perbaikan di
bidang perairan tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang rakyat, tetapi
untuk pengairan perkebunan tebu, dan pabrik-pabrik kepunyaan Belanda atau
swasta asing. Transmigrasi dilakukan bukan untuk memberikan penghidupan yang
layak, melainkan hanya untuk membuka hutan-hutan baru bagi kebutuhan perkebunan
dan perusahaan-perusahaan asing.
Meskipun hasil
Politik Etis lebih diarahkan untuk kepentingan kolonial Belanda, sebagian
rakyat Indonesia memperoleh manfaaat. Dengan politik tersebut, sebagian pemuda
Indonesia mempunyai kesempatan terbatas untuk mengenyam pendidikan, sehingga
pada 1908 mereka mampu mempelopori munculnya pergerakan nasional.