Konsepsi Kelembagaan Pengelolaan Irigasi

Perkembangan kelembagaan irigasi telah banyak mewamai pergeseran sistem kelembagaan dan dinamika sosial ekonomi masyarakat pedesaan, dan fenomena ini akan terus berlangsung.

Interaksi teknologi irigasi dan kelembagaan irigasi akan mewujudkan suatu proses pembentukan kelembagaan baru. Atas dasar ini, kelembagaan diwujudkan sebagai aturan main untuk mengatur pelaku ekonomi dalam suatu komunitas.

Kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut oleh masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan transaksi. Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi.

Lembaga-Iembaga tradisional pengelola irigasi yang sampai saat ini masih bertahan membuktikan betapa pentingnya organisasi dalam suatu pengelolaan air. Organisasi pengelola air bukan sekedar untuk kegiatan teknis semata, namun juga merupakan suatu lembaga sosial, bahkan di pedesaan Indonesia kandungan kaidah-kaidah yang telah disepakati lebih sarat daripada sarana fisiknya.

Pasandaran dan Taryoto (1993) mengungkapkan bahwa berbagai pengaturan irigasi yang berorientasi pada upaya generalisasi kebijaksanaan, tanpa memperhatikan norma-norma setempat, seringkali menghadapi hambatan. Karena itu, dalam sistem kemasyarakatan yang majemuk seperti yang ada di Indonesia, pertimbangan kekhasan masing-masing masyarakat atau wilayah seyogianya harus mendapat pertimbangan.

Dalam sistem kelembagaan pengelolaan irigasi terkandung makna elemen-elemen partisipan, teknologi, tujuan, dan struktur dimama terdapat interdependensi satu sama lain. Sistem kelembagaan yang dianut bertujuan ke arah efisiensi dengan mengurangi ongkos transaksi (transaction cost). Hubungan sistem kelembagaan dan biaya transaksi tercirikan pada tiga kaitan sifat yang secara nyata menyebabkan adanya perbedaan insentif dan pembatas bagi partisipan yaitu: 1) sifat fisik irigasi, 2) sifat masyarakat partisipan, dan 3) system kelembagaan.

Dalam konteks kembagaan irigasi, tiga aspek penting yang sangat berperan yaitu; 1) batas kewenangan hukum (jurisdiction boundary) yaitu batas kewenangan suatu lembaga dalam mengatur sumber daya air yang umumnya berdasarkan batas hidrologi seperti saluran sekunder dan saluran primer, 2) hak kepemilikan (property rights) yaitu hak setiap individu petani untuk mendapatkan pelayanan air sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, dan 3) aturan representasi (rule of representation) yaitu aturan yang telah disepakati dengan tujuan untuk menjamin terjadinya keseimbangan antara hak atas pelayanan air yang diperoleh dengan besarnya kewajiban yang dibebankan.

Agar aturan ini bisa ditegakkan, maka perlu adanya penerapan sanksi secara konsisten.

Sementara itu, aspek teknis pada dasarnya menyangkut alokasi air (water allocation) serta operasi dan pemeliharaan (maintenance). Keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan dalam pengelolaan irigasi akan berpengaruh terhadap hasil produksi , efisiensi, dan optimasi pengalokasian sumber daya air.

Lemahnya keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan seringkali menimbulkan konflik manajemen sumber daya air. Oleh karena itu, kejelasan water rights akan merefleksikan hak dan tanggungjawab dalam pengelolaan sistem irigasi dan kemudahan untuk akses dan kontrol terhadap sumber daya air.

Adanya konversi lahan pertanian ke non-pertanian menyebabkan permintaan air antar sektor semakin kompetitif, dan kondisi ini seringkali memicu timbulnya konflik dalam alokasi dan pendistribusian air. Konflik juga bisa timbul karena tidak adanya aturan yang baku, tidak adanya kejelasan batas kewenangan dan ketidakseimbangan antara pelayanan air yang diterima dengan kewajiban yang harus dibayar. Agar ketersediaan air terjamin secara berkelanjutan diperlukan pemeliharaan, baik pada saluran irigasi maupun sumber air.

Tidak adanya kejelasan siapa yang telah mendapatkan pelayanan air dan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap pemeliharaan saluran dan sumber air merupakan potensi konflik yang bisa pecah sewaktu-waktu.