Sejarah Imperialisme Belanda dan Inggris di Indonesia

Kolonialisme negara-negara barat masuk ke Indonesia sejak abad ke-16, yang dipelopori oleh Portugis dengan cara monopoli perdagangan rempah-rempah dan ditandai dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Kedatangan Portugis yang membawa keberhasilan itu diikuti bangsa-bangsa lain diantaranya Belanda.

Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan utama untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di nusantara, yang pada waktu itu dikuasai oleh pedagang-pedagang Islam. Rempah-rempah pada waktu itu merupakan barang perdagangan yang sangat penting di Eropa dan memberi keuntungan yang sangat besar bagi para pedagang di Eropa.

Kedatangan Belanda ke Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh upaya untuk mendapatkan “gold, gospeld dan glory” yang menjadi ciri khas dari praktek imperialisme kuno, dimana penguasaan wilayah lain sebagai tujuan untuk mendapatkan kekayaan dalam bentuk emas, mendapatkan kejayaan karena menguasai daerah lain, dan penyebaran agama nasrani sebagaimana permintaan gereja.

Pada awal kedatangannya ke wilayah Indonesia, Belanda hanya ingin menguasai secara monopoli jalur perdagangan rempah-rempah di nusantara, mulai dari daerah Maluku menuju ke Malaka, yang selanjutnya mengirimkannya ke Eropa.

Dalam upaya menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di nusantara, pemerintah Belanda mendirikan badan perniagaan “kongsi dagang” yang bernama Vereenigne Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1602. Tujuan didirikannya perkumpulan dagang ini adalah untuk mengintensifkan perdagangan di kawasan nusantara dan menghindari persaingan tidak sehat di antara para pedagang Belanda sendiri.

Intinya tujuan pendirian VOC adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan dengan cara menguasai, memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Pedagang-pedagang di nusantara yang berasal dari Jawa, Bugis, Arab, dan Cina mengalami kerugian yang sangat besar terutama setelah didirikannya Vereenigne Oost Indische Compagnie (VOC).

Secara perlahan pedagang-pedagang nusantara yang selama ini menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di kawasan nusantara mengalami kerugian dan hancur dengan sendirinya, apalagi setelah VOC diberikan hak yang cukup besar dalam bidang politik dan militer oleh pemerintah Belanda dalam menjalankan kongsi dagangnya. Oleh karena itu VOC tidak segan-segan menggunakan kekuatan bersenjata dan militer dalam melaksanakan kongsi dagangnya, yaitu memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara memonopoli perdagangan rempah-rempah dan berbagai macam hasil bumi lainnya di wilayah nusantara.

Perusahaan dagang ini diberikan hak-hak istimewa oleh Pemerintah Belanda. Hak-hak yang diberikan kepada VOC itu disebut hak octrooi, yang isinya memberikan hak kepada VOC sebagai berikut:

1.   memperoleh hak monopoli perdagangan;
2.   memperoleh hak untuk mencetak dan mengeluarkan uang sendiri;
3.   dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia;
4.   berhak mengadakan perjanjian;
5.   berhak memaklumkan perang dengan negara lain;
6.   berhak menjalankan kekuasaan kehakiman;
7.   berhak mengadakan pemungutan pajak;
8.   berhak memiliki angkatan perang sendiri;
9.   berhak mengadakan pemerintahan sendiri.

Akibat hak-hak monopoli yang dimilikinya, VOC bisa memaksakan kehendaknya pada perusahaan-perusahaan perdagangan nusantara untuk mengikuti kehendak VOC, yang sangat merugikan para pedagang nusantara. Tindakan ini tentu saja menimbulkan permusuhan dari para pedagang nusantara, apalagi sistem monopoli bertentangan dengan sistem tradisional yang berlaku saat itu. Jaringan perdagangan rempah-rempah Maluku ke Malaka yang dikuasai pedagang Islam akhirnya jatuh ke tangan VOC.

Dalam upaya mempertahankan monopoli perdagangannya, VOC meningkatkan kekuatan militernya dengan cara membangun benteng-benteng pertahanan. Benteng-benteng pertahanan tersebut didirikan di Ambon, di Malaka (setelah direbut dari Portugis), di Makassar, dan di Jayakarta (yang pada 1619 diubah namanya menjadi Batavia). Kota Batavia ini menjadi pelabuhan penting alternatif dari Maluku dan Malaka selain juga menjadi pusat operasional VOC atas seluruh nusantara.

Penguasa Jayakarta, Pangeran Jayakarta, tidak berhasil mengusir penguasa VOC, tetapi sebaliknya Jan Pieterzoon Coen pimpinan VOC, berhasil menguasai seluruh kota ke tangan VOC. Praktek VOC dalam melakukan monopoli perdagangan serta memaksakan kekuasaannya terhadap kerajaan-kerajaan di nusantara sangat tidak manusiawi dan menyakitkan. Cara-cara kekerasan, peperangan, adu domba, penindasan, dan tindakan kasar lainnya telah menyebabkan penderitaan yang tidak terkirkan bagi bangsa Indonesia.

Misalnya pada 1620 VOC telah mengusir dan membunuh seluruh penduduk yang tidak mau menyerahkan rempah-rempahnya pada mereka (Ricklefs, 1991). Pada tahun-tahun berikutnya, satu persatu pusat-pusat perdagangan Islam nusantara dihancurkan dan dikuasainya. Demikian  juga dengan kerajaan-kerajaan di nusantara. Cara-cara tipu muslihat, adu-domba, penetrasi terhadap urusan internal kerajaan, terutama di Jawa ditempuhnya. Selama kurang lebih 200 tahun, beberapa kerajaan Nusantara jatuh ke tangan VOC.

Kerajaan Mataram, Banten, Cirebon, Maluku, Banda, Ambon, Makassar, dan Bone dikuasainya. VOC dalam menjalankan kongsi dagangnya tidak hanya bergerak di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang militer dan politik, yang dilakukan dengan penguasaan wilayah kerajaan-kerajaan di Hindia Belanda serta penghancuran terhadap wilayah yang tidak mau dikuasai. Kepada masyarakat VOC juga menerapkan praktek kerja paksa, penyetoran upeti, feodalisme, penghisapan, dan penyerahan hasil pertanian.

Kondisi ini menyebabkan rakyat Indonesia secara sosial, ekonomi, politik, dan psikologis mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang tidak terkirakan parahnya. Meskipun VOC telah berhasil menaklukan beberapa kerajaan di nusantara, menghancurkan sistem perdagangan tradisional yang selama ini berkembang serta memberi penderitaan pada masyarakat Indonesia, namun organisasi tersebut akhirnya mengalami kemunduran, dan dibubarkan pada tahun 1799.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab hancurnya VOC dalam menjalankan tugasnya di Hindia Belanda adalah sebagai berikut:

1.   merajalelanya korupsi pada para pegawai VOC;
2.   kuatnya persaingan di antara kongsi-kongsi perdagangan lain;
3.   terlalu banyak biaya untuk menumpas berbagai pemberontakan rakyat;
4.   meningkatnya kebutuhan untuk gaji pegawai VOC.
5.   kebijakan pengelolaan keuangan yang ceroboh dilakukan oleh pemerintah Hindai Belanda, diantaranya dalam membayar para pemegang saham rata-rata 18% setahun.

Menurut Ricklefs (1991), kemunduran VOC disebabkan oleh ketidakberdayagunaan, ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme yang tersebar luas di kalangan anggota VOC. Walaupun VOC merupakan organisasi milik Belanda, namun sebagian besar anggotanya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang yang bernasib jelek dari seluruh Eropalah yang mengucapkan sumpah setia pada VOC, dan menjadi anggota VOC.

Ketidak berdayagunaan, ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme tersebar luas di kalangan anggota VOC. Hal itu pula yang melatarbelakangi sikap operasional VOC terhadap bangsa Indonesia yang cenderung kejam, sewenang-wenang, dan tanpa kompromi. Pada 1799, organisasi yang sudah banyak memberikan keuntungan besar bagi Negeri Belanda serta menimbulkan banyak korban di pihak bangsa Indonesia ini akhirnya dibubarkan.  

Bubarnya VOC tidak berarti bebasnya Hindia Belanda dari kekuasan negara-negara Eropa dan menjadi daerah merdeka. Hal ini karena wilayah-wilayah Hindia Belanda yang semula dibawa kekuasaan VOC, diserahkan kepada pemerintah Belanda secara langsung. Jadi sejak saat itu Hindia Belanda (Indonesia) menjadi daerah jajahan pemerintah Belanda secara langsung, tidak lagi secara tidak langsung melalui lembaga ekonomi yang bernama VOC.

Dalam menjalankan kekuasaannya di daerah jajahan pemerintah Belanda menempatkan seorang Gubernur Jenderal sebagai pemegang kekuasaan penuh atas suatu wilayah jajahan, termasuk Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Johannes Siberg adalah penguasa wilayah Hindia Belanda pertama setelah bubarnya VOC, yang menjabat mulai tahun 1801-1804. Siberg kemudian digantikan oleh Wiesel (1804-1808).

Kedua gubernur jenderal ini tidak bisa melaksanakan pemerintahannya sebagaimana mestinya karena pada saat itu di negeri Belanda terjadi pergolakan akibat dari revolusi Perancis dan perluasaan daerah kekuasaan dibawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte. Pada saat itu negeri Belanda dikuasai oleh Perancis.

Gubernur Jenderal yang menjabat di Hindia Belanda antara 1801-1808, dalam menjalankan kekuasaannya tidak jauh berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh VOC sebelum dibubarkan, tetap menggunakan cara-cara yang sewenang-wenang, penghisapan, adu-domba, feodalisme, kerjapaksa, dan sebagainya sehingga tetap saja menyengsarakan dan memberi penderitaan rakyat hindia belanda.

Jatuhnya Kerajaan Belanda ke tangan Perancis yang disusul dengan diangkatnya Raja Louis Napoleon Bonaparte (adik kaisar Napoleon) pada 1806 sebagai raja Belanda maka dengan sendirinya Hindia Belanda secara tidak langsung juga berada di bawah Imperium Perancis. Pemerintah Kerajaan Belanda yang sudah menjadi bagian dari imperium Perancis harus berhadapan dengan Inggris, musuh Napoleon Bonaparte yang belum dapat ditaklukkan.

Persaingan antara Perancis dengan Inggris bukan hanya terjadi di daratan Eropa melainkan juga di daerah koloni di Asia, Afrika dan Amerika, termasuk di Hindia Belanda. Pada tahun 1808 Belanda mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk mempertahankan Pulau Jawa dari musuh Perancis di Eropa yaitu Inggris.

Selain itu juga, Daendels mendapatkan misi untuk tetap menjadikan Hindia Belanda sebagai sumber pendapatan negeri Belanda, yang pada saat itu sedang mengalami krisis keuangan karena perang melawan Perancis. Herman Willem Daendels (1808-1811) diangkat menjadi gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk mempertahankan Pulau Jawa dari musuh Perancis yaitu Inggris.

Dalam menghadapi Inggris, Daendels membangun jaringan jalan raya di Pulau Jawa bagian utara, mulai dari Anyer sampai Panarukan. Dibawah tindakan keras Daendels, Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan berhasil dibangun dengan cara memaksa penguasa-penguasa di Jawa untuk mengerahkan rakyat bekerja pada proyek raksasa tersebut.

Bangsa Indonesia harus menghadapi penderitaaan yang sangat parah dibawah pemerintahan Daendels. Kerja paksa yang sudah dijalankan oleh VOC diteruskan oleh Daendels. Untuk membiayai proyek tersebut, rakyat dibebani dengan pajak-pajak tertentu yang cukup besar. Dengan demikian, sistem wajib penyerahan model VOC diteruskan oleh Daendels. Tanah-tanah rakyat yang produktif dijual kepada orang-orang Belanda, Cina, dan Arab.

Dari cara itu Daendels memperoleh uang untuk mempertahankan politiknya di Jawa serta membangun pasukan yang jumlahnya mencapai 18.000 orang (sebagian besar pribumi), membangun benteng pertahanan serta jaringan logistik lainnya. Kehidupan keraton di Jawa juga terancam akibat ulah Daendels. Tindakannya yang keras terhadap kehidupan keraton serta membatasi kekuasaan para sultan dan bupati di Jawa telah menimbulkan keresahan di kalangan mereka.

Sultan Banten yang mengadakan perlawanan karena tidak sanggup menyelesaikan pembangunan pelabuhan, akhirnya dibuang ke Ambon. Sementara Kesultanan Banten sendiri akhirnya dihapuskan oleh Daendels. Demikian halnya dengan intervensinya terhadap kehidupan di Yogyakarta yang menimbulkan keresahan di kalangan keraton. Aturan tata krama keraton dilanggar.

Perlawanan Sultan Yogyakarta dilawan Daendels dengan cara merampas harta keraton dan menghancurkannya. Kekuasaan Sultan dipersempit, adapun Sultan Hamengkubuwono I yang dengan gigih menentang Daendels dipecat dari kedudukannya.

Dengan melakukan intervensi yang dalam, beberapa perubahan yang mendasar juga dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan penjaja han, ditambah lagi dengan kekejamannya, Daendels mengharapkan semua kekuatan sosial politik di Jawa tunduk pada kebijaksanaannya dan Jawa tetap dapat dipertahankan dari kemungkinan serangan Inggris, serta tetap memberi sumbangan pendapatan kepada negeri Belanda.

Walaupun demikian, ternyata pasukan Inggris yang sudah memiliki pangkalan dagang dan militer di wilayah Hindia Belanda dan India dengan mudah mampu mengalahkan pasukan Perancis dan Belanda di wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 8 Agustus 1811, 60 buah kapal Inggris melakukan serangan ke Batavia. Pada tanggal 26 Agustus 1811, akhirnya Batavia  dan daerah-daerah sekitarnya jatuh ke tangan Inggris, dan dalam waktu singkat seluruh Jawa dapat direbut.

Belanda akhirnya menyerahkan Jawa kepada Inggris melalui perjanjian yang biasa dikenal dengan istilah Rekapitulasi Tuntang, yang isinya:

1.   Seluruh Jawa diserahkan kepada Inggris
2.   Semua serdadu menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerjasama dengan Inggris, dapat terus memegang jabatannya
3.   Semua hutang-piutang pemerintah Belanda yang dulu, tidak akan ditanggung Inggris.

Pasukan Inggris mendapat dukungan dari beberapa raja di Jawa, antara lain Mangkunegara, yang merasa kecewa dengan pemerintahan Daendels. Dengan demikian, sejak 1811 wilayah Hindia Belanda menjadi daerah jajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris wilayah Hindia Belanda secara ekonomis dan politis bersatu dengan wilayah India.

Perusahaan dagang Inggris, East Indian Company (EIC) yang berpusat di Kalkuta, India, dan dipimpin oleh Gubernur Jenderal Lord Minto merupakan lembaga yang menguasai wilayah perdagangan di Hindia Belanda. Pada waktu itu, wilayah Hindia Belanda berada di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816).

Berbeda dengan Daendels, Raffles lebih bersifat liberal dalam menjalankan pemerintahannya. Beberapa tindakan yang dilakukannya antara lain:

1.   menghapuskan sistem kerja paksa (rodi) kecuali untuk daerah Priangan dan Jawa Tengah;
2.   menghapuskan pelayaran hongi dan segala jenis tindak pemaksaan di Maluku;
3.   melarang adanya perbudakan;
4.   menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan penyerahan hasil bumi;
5.   melaksanakan sistem landrete stelsel (sistem pajak bumi), dengan ketentuan sebagai berikut:
·       Petani harus menyewa tanah (landrent) yang digarapnya kepada pemerintah.
·       Besarnya sewa tanah bergantung baik buruknya keadaan tanah.
·       Pajak bumi ini harus dibayar dengan uang atau beras.
·       Orang-orang bukan petani dikenakan pajak kepala.
6.   membagi Pulau Jawa menjadi 16 Keresidenan;
7.   mengurangi kekuasaan para bupati;
8.   menerapkan sistem pengadilan dengan sistem juri.  

Dalam buku Sejarah Jawa yang ditulisnya, Raffles menggambarkan dirinya sebagai seorang pembaru yang hebat. Namun, ternyata prinsip-prinsip pemerintahannya tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk tidak dapat dibuktikan. Pada zaman kekuasaannya, nasib bangsa Indonesia tidak lebih baik dibandingkan dengan zaman Daendels.

Pada tahun 1816, Inggris harus meninggalkan kekuasaannya di Indonesia, sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Konvensi London (1814). Indonesia kembali diserahkan kepada Belanda. Mulai saat itu Indonesia dijajah kembali oleh Belanda untuk yang kesekian kalinya.

Pola penjajahan Belanda pada tahap ini hingga berakhirnya kekuasaannya di Indonesia tahun 1942, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pada masa VOC, yaitu: monopoli, penyerapan, penyiksaan, perampasan, adu domba, cenderung kejam, sewenang-wenang, dan tanpa kompromi tetap mewarnai perjalanan pemerintahan pemerintahan penjajah Belanda di Indonesia, siapapun yang menjadi gubernur jenderal.

Hal ini dikarenakan tujuan dari penjajahan Belanda di Indonesia adalah untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Belanda dimanapun dia berada. Pada tahun 1830, pemerintah kolonial Belanda di bawah Gubernur Jenderal van den Bosch memberlakukan Sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel). Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas negara akibat banyaknya perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia di berbagai daerah.

Dengan sistem tanam paksa (STP) ini penduduk desa di Jawa diwajibkan menanam tanaman tertentu yang laku di pasaran internasional. Selanjutnya, penduduk desa wajib menyerahkan hasil tanamannya kepada pemeritnah kolonial melalui perantara, yaitu penguasa setempat. Dilihat dari segi ekonomi, sistem ini sangat menguntungkan pemerintah kolonial. Tetapi kebalikannya dialami oleh rakyat di negeri jajahan.

Rakyat di pedesaan mengalami penderitaan karena mereka telah kehilangan kebebasan serta hak pribadinya serta tidak adanya kepastian hukum. STP merupakan sarana pemerintah kolonial untuk mengeksploitasi negeri jajahan demi keuntungan Negeri Belanda. Setelah mendapat kritikan dari kaum humanis serta demokrat di Negeri Belanda dan di Hindia Belanda, akhirnya STP dihapuskan pada tahun 1870.

Penggantinya adalah sistem ekonomi terbuka dengan menjadikan Hindia Belanda sebagai tempat penanaman modal asing bagi para pengusaha dari berbagai negara. Hindia Belanda dijadikan sebagai tempat mencari bahan mentah melalui perkebunan-perkebunan, pemasaran hasil industri di Eropa serta tempat penanaman modal asing.  Akibat dari dilaksanakannya sistem ekonomi terbuka tersebut bangsa-bangsa di luar Belanda, seperti Inggris, Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang berdatangan ke Indonesia.

Mereka menanamkan modalnya untuk mencari keuntungan. Pengusaha pribumi yang modalnya kurang, kalah bersaing dengan orang Barat sehingga banyak yang gulung tikar. Suasana seperti ini membuka pengisapan dengan cara baru dari negeri Indonesia. Apabila pada masa STP, Indonesia dieksploitasi oleh Negara Belanda maka dalam sistem ekonomi terbuka Indonesia diekspoitasi oleh kaum swasta dan kapitalisme asing.

Berkembangnya kebijakan ekonomi politik yang bersifat pintu terbuka, mengakibatkan perkebunan di Jawa dan Sumatera berkembang dengan pesat. Perkebunan di Sumatra lebih banyak menggunakan tenaga kerja yang didatangkanlah dari Jawa melalui program transmigarasi. Kehidupan buruh (kuli) pekebuhan di Sumatera dalam sistem ekonomi tersebut menghasilkan kisah derita.

Upah buruh tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang sudah dilakukannya. Untuk memperoleh penghasilan yang layak, banyak di antara buruh perempuan yang terjerat dalam prostitusi. Banyak juga di antara mereka yang meninggal dan meninggalkan daerah perkebunan sebelum kontrak berakhir. Dengan demikian, eksploitasi terhadap penduduk pribumi tetap berjalan walaupun dengan menggunakan sistem ekonomi modern, sistem ekonomi terbuka.

Pada 1881, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang tentang kuli (Koelie Ordonantie) yang mengatur para kuli. Dengan aturan ini, kuli yang akan dipekerjakan di Sumatra harus melalui kontrak kerja. Tidak boleh meninggalkan pekerjaannya sebelum kontraknya habis. Bagi yang melarikan diri dikenakan hukuman berupa poenale sanctie.

Para pengusaha mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada kuli-kuli yang bekerja di perkebunan miliknya. Undang-Undang tentang kuli (Koeli Ordonantie) mendapat kecaman dari Amerika Serikat. Akhirnya, atas perjuangan Otto Iskandardinata dalam Volksraad, undang-undang tersebut dihapuskan oleh Belanda pada abad ke-20. Sementara itu, untuk mendukung program penanaman modal Barat di Hindia Belanda, pemerintah kolonial Belanda membangun irigasi, waduk-waduk, jalan raya, jalan kereta, dan pelabuhan-pelabuhan.

Dalam membangun sarana-sarana tersebut, pemerintah kolonial Belanda menggunakan tenaga bangsa Hindia Belanda yang dipekerjakan tanpa upah, serta dikerahkan secara paksa. Sistem ini disebut sistem rodi (kerja paksa). Masuknya bangsa Eropa dalam perdagangan di perairan Hindia Belanda juga menyebabkan daerah Hindia Belanda terisolasi di laut sehingga kehidupan berkembang ke daerah pedalaman.

Kemunduran perdagangan di laut ini secara tidak langsung telah memperkuat budaya feodalisme di pedalaman (Priyanto, 2002). Dengan feodalisme, rakyat pribumi, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap para tuan tanah yang berkebangsaan Belanda dan Timur Asing yang dijaga oleh para centeng, penguasa lokal/pribumi. Penderitaan yang dialami oleh penduduk Indonesia akibat dari praktek penjajahan Belanda dikritisi oleh kaum humanis Belanda.

Mereka mengkritik pemerintah kolonial yang hanya mementingkan kekayaan Negeri Belanda dengan cara mengeksploitasi penduduk negeri jajahan. Salah seorang Belanda yang mengusulkan perbaikan nasib kaum pribumi adalah Mr.C.Th. van Deventer. Pada 1899, van Deventer memaparkan gagasannya dalam majalah de Gids. van Deventer mengemukakan een erschuld atau utang budi, yaitu utang yang harus dilunasi untuk menjaga kehormatan.

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa negeri Belanda berutang budi kepada Indonesia yang telah memberikan keuntungan yang sangat besar. Sebagai pembalasannya, bangsa Belanda harus membantu Hindia Belanda menyehatkan rakyatnya, mencerdaskan dan memakmurkan rakyatnya. Menurut van Deventer ada tiga cara untuk itu, yakni:

1)   memajukan pengajaran (edukasi),
2)   memperbaiki pengairan (irigasi), dan
3)   melakukan perpindahan penduduk (transmigrasi).

Gagasan van Deventer ini selanjutnya terkenal dengan Politik Etis. Pada awalnya, pemerintah Belanda tidak langsung menerima gagasan van Deventer, tetapi secara lambat laun dijalankan juga. Hanya saja pada pelaksanaannya tidak seperti kehendak van Deventer melainkan menurut tafsiran dan kemauan pemerintah Belanda sendiri. Pendidikan dilaksanakan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan.

Perbaikan di bidang perairan tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang rakyat, tetapi untuk pengairan perkebunan tebu, dan pabrik-pabrik kepunyaan Belanda atau swasta asing. Transmigrasi dilakukan bukan untuk memberikan penghidupan yang layak, melainkan hanya untuk membuka hutan-hutan baru bagi kebutuhan perkebunan dan perusahaan-perusahaan asing.

Meskipun hasil Politik Etis lebih diarahkan untuk kepentingan kolonial Belanda, sebagian rakyat Indonesia memperoleh manfaaat. Dengan politik tersebut, sebagian pemuda Indonesia mempunyai kesempatan terbatas untuk mengenyam pendidikan, sehingga pada 1908 mereka mampu mempelopori munculnya pergerakan nasional.