Sistem
irigasi sudah mulai dikenal sejak jaman peradaban Mesir Kuno yang memanfaatkan
Sungai Nil untuk pengairan pertanian mereka.
Di
Indonesia irigasi tradisional pun telah berlangsung sejak jaman nenek moyang.
Hal tersebut dapat dilihat dari cara pengairan dan bercocok tanam pada masa
kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia yaitu dengan cara membendung sungai
secara bergantian untuk dialirkan ke sawah-sawah.
Cara
lain untuk pengairan adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan
bambu yang disambungkan dan ada juga yang menggunakan cara dengan membawa ember
yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari sungai atau sumber air yang
dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
Di
Bali, sistem irigasi juga sudah ada sebelum tahun 1343 M, hal ini terbukti
dengan adanya sedahan atau disebut juga petugas yang melakukan koordinasi atas
subak-subak dan mengurus pemungutan pajak atas tanah wilayahnya. Sistem irigasi
di Bali dikenal dengan istilah subak. Pengertian subak sendiri adalah suatu
masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara
historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air
di tingkat usaha tani.
Demikian
juga pada jaman penjajahan Belanda sistem irigasi sudah dikembang dalam upaya
mendukung pelaksanaan kegiatan tanam paksa (Cultuurstelsel) yang dilak-sanakan
pada tahun 1830. Dalam kegiatan tanam paksa tersebut, pemerintah kolonial
Belanda mengupayakan agar semua lahan yang dibuat untuk persawahan maupun
perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal. Sejarah irigasi di Indonesia
dapat dibagi menjadi 5 periode yaitu:
1) Masa Sebelum
Penjajahan
Irigasi
sebelum masa penjajahan ditandai dengan wujud kegiatan dengan kuatnya kearifan
lokal yang sangat tinggi. Teknologi dan kelembagaan lokal, sangat menentukan
keberadaan sistem irigasi yang dibangun saat itu. Sistem irigasi yang ada,
umumnya mempunyai skala irigasi untuk melayani sawah dengan luasan yang kecil
dan terbatas.
Sehingga
pada masa ini, pengelolaanya hanya mengandalkan kapital sosial dari masyarakat
sendiri.
2) Masa Penjajahan
Pada
masa penjajahan, pembangunan irigasi sudah mulai diintervensi untuk kepentingan
pemerintah kolonial. Pembangunan dan pengelolaan irigasi yang sebelumnya banyak
dikelola oleh masyarakat, sebagian telah diambil alih pengelolaannya oleh
pemerintah kolonial. Teknologi yang digunakan dan kelembagaan pengelola juga
sudah dikombinasikan antara kemampuan masyarakat lokal dengan teknologi dan
kelembagaan yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Akibatnya manajemen
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi merupakan kombinasi antara potensi
kapital sosial yang ada di masyarakat dengan kemampuan birokrasi pemerintah
kolonial.
3) Masa
Revolusi/Pasca Kolononial
Pada
masa revolusi atau pasca kolonian kegiatan irigasi tidak banyak yang dilakukan,
karena pemerintahan saat itu masih memprioritaskan pembangunan politik yang
diwarnai terjadinya polarisasi kekuatan politik internasional pasca perang
dunia ke-2, serta suasana konfrontasi dengan negara tetangga yang terjadi pada
saat itu. Sehingga kondisi dan peran kapital sosial dalam pembangunan dan
pengelolaan irigasi yang ada pada saat itu tidak banyak berbeda dengan masa
kolonial.
4) Masa Orde Baru
Pada
masa Orde Baru, oleh sebagian pengamat disebut sebagai kebangkitan rezim
pemerintah. Pada masa ini ditandai dengan adanya kebangkitan peran pemerintah
dalam memperkuat sektor pangan nasional. Sehingga aspek pembangunan dan
pembenahan secara besarbesaran di bidang irigasi, banyak dilakukan oleh
pemerintah. Pada masa ini, pemerintah berhasil menggantikan undang-undang
pengairan versi pemerintah Kolonial, menjadi UU No. 11/1974 tentang Pengairan.
Akibat sangat kuatnya upaya pemerintah untuk meraih swa-sembada pangan/beras,
maka kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi banyak dilakukan oleh
pemerintah. Pendekatan tersebut berakibat pada ditinggalkannya peranan
masyarakat lokal dalam kegiatan keirigasian, dan bahkan banyak terjadi
marjinalisasi kapital sosial masyarakat.
Pendekatan
tersebut membawa konsekuensi ketidakjelasan peran masyarakat dalam kegiatan
keirigasian yang akibat selanjutnya menjadikan masyarakat lokal pasif terhadap
kegiatan irigasi.
5) Masa Pasca Orde
Baru/Reformasi
Pada
masa ini dapat juga disebut sebagai respon masyarakat terhadap sistem
pembangunan dan pendekatan pembangunan yang totaliter dan sentralistis yang
terjadi pada Orde baru. Sehingga masyarakat menuntut adanya reformasi
pelaksanaan dan pendekatan pembangunan, termasuk melakukan regulasi ulang dalam
berbagai sektor pembangunan.
Dalam
masa ini lahirlah undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Undang-undang Sumber
Daya Air, dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.
Seharusnya pada masa ini tidak mengulang pendekatan pembangunan sebagaimana
yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana pemerintah sangat mendominasi
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada masa ini perlu dibangun suatu sistem
dan mekanisme pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang memberi peran
yang lebih nyata kepada masyarakat, dan juga perlu dijadikan masa kebangkitan
kapital sosial masyarakat dalam sistem keirigasian Indonesia pada saat sekarang
dan untuk kedepannya.
Sistem
irigasi sejak dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier.
Tetapi sumber air belum memakai sistem waduk. Air dalam sistem irigasi lama
disalurkan dari sumber air seperti sungai yang disusun dalam sistem irigasi
terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, para petani diharuskan membayar
uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya. Baru pada tahun 1955 Waduk
Jatiluhur dibangun di Jawa Barat. Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan
Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari pusat Kota Purwakarta).
Air
yang ditampung pada waduk Jatiluhur digunakan untuk irigasi, pasok air baku
untuk air minum, industri dan perkotaan, perikanan serta pembangkitan listrik.
Manfaat lain bendungan adalah untuk pengendalian banjir dan pariwisata. Waduk
Jatiluhur merupakan waduk terbesar di Indonesia, membendung aliran Sungai
Citarum di dan membentuk waduk dengan genangan seluas ± 83 km2 dan keliling
waduk 150 km pada elevasi muka air normal +107 m di atas permukaan laut (dpl),
dengan Luas daerah tangkapan sebesar 4.500 km2.
Pada
awalnya Waduk Jatiluhur dirancang memiliki kapasitas tampungan 3 milyar m,
namun saat ini tinggal 2,44 milyar m3 (hasil pengukuran batimetri tahun 2000)
akibat sedimentasi. Namun demikian setelah dibangun Bendungan Saguling dan
Cirata di atasnya, laju sedimentasi semakin menurun.
Bendungan
Jatiluhur merupakan bendungan multiguna, dengan fungsi sebagai pembangkit
listrik dengan kapasitas terpasang 187.5 MW, pengendalian banjir di Kabupaten
Karawang dan Bekasi, irigasi untuk 242.000 hektar, pasok air untuk rumah
tangga, industri dan penggelontoran kota, pasokan air untuk kegiatan budidaya
perikanan air payau sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas 20.000 ha, dan
pariwisata.