1. Budi Utomo (BU)
Budi utomo
adalah suatu organisasi yang didirikan oleh kalangan terpelajar di sekolah
kedokteran yang berasal dari priyayi Jawa yang "baru" atau priyayi
rendahan. Mereka memiliki pandangan bahwa pendidikan adalah kunci untuk
kemajuan. Kelompok inilah yang merupakan kelompok pertama pembentuk suatu
organisasi yang benar-benar modern. Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah tokoh yang
membidani lahirnya Budi Utomo melalui kegiatannnya menghimpun dana beasiswa
untuk memberikan pendidikan Barat kepada golongan priyayi Jawa.
Kegiatan yang
dilakukan oleh Dr. Wahidin tersebut disambut oleh Soetomo, seorang mahasiswa
School Tot Opleiding van Indische Arsten (STOVIA) atau Sekolah Dokter Jawa.
Bersama rekan-rekannya dia mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta pada 20 Mei
1908. Budi utomo sejak awal berdiri sudah menetapkan bahwa bidang perhatian
organisasi ini pada upaya peningkatan pendidikan dan memajukan pendidikan
masyarakat dengan memberi kesempatan dan beasiswa bagi rakyat Indonesia untuk
menempuh pendidikan. Hanya saja ruang lingkup yang menjadi obyek pengembangan
pendidikan ini pada awalnya hanya meliputi penduduk Jawa dan Madura.
Bilamana
diperhatikan dari segi keanggotaannya, organisasi budi utomo mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
1) bersifat lokal,
sebab anggotanya hanya terbatas pada orang jawa dan madura, kemudian berkembang
ke Bali, tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia;
2) bersifat
moderat dan aristokratis, tidak bertindak radikal dalam memperjuangkan
tujuannya. Hal ini dimaklumi karena sebagian besar anggotanya adalah pegawai
negeri dan juga dari lapisan ningrat.
Pada kongres
Budi Utomo yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, Tirto Kusumo diangkat
menjadi Ketua Pengurus Besar. Dalam kongres ini, etnonasionalisasi semakin
bertambah besar. Selain itu, dalam kongres tersebut juga timbul dua kelompok,
yaitu kelompok pertama diwakili oleh golongan pemuda yang merupakan minoritas
yang cenderung menempuh jalan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial.
Adapun kelompok
kedua merupakan golongan mayoritas diwakili oleh golongan tua yang menempuh
perjuangan dengan cara lama, yaitu sosiokultural (pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan). Golongan minoritas yang berpandangan maju dalam organisasi ini
dipelopori oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dr. Tjipto Mangunkusumo ingin
menjadikan Budi Utomo bukan hanya sebagai partai politik yang mementingkan
rakyat, melainkan juga sebuah organisasi yang kegiatannya tersebar di
Indonesia, bukan hanya di Jawa dan Madura.
Sementara
golongan tua menginginkan pembentukan dewan pimpinan yang didominasi oleh para
pejabat generasi tua. Golongan ini juga mendukung pendidikan yang luas bagi
kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih sebagai
seorang anggota dewan. Namun, pada 1909 dia mengundurkan diri dan akhirnya
bergabung dengan Indische Partiij yang perjuangannya bersifat radikal.
Karakteristik
Budi Utomo yang seperti demikian menyulitkan untuk bertindak revolusioner,
walaupun lambat laun juga mempunyai program politik dan memperluas keanggotanya
hingga sampai ke Bali. Hal ini terjadi karena banyak dari anggota Budi Utomo
adalah pegawai pemerintahan Belanda dan banyak yang berasal dari kalangan
ningrat. Kondisi inilah yang mengakibatkan keluarnya beberapa orang tokoh utama
dari Budi Utomo, seperti Cipto Mangunkusumo, Soetomo, dan Soepomo.
Tokoh-tokoh ini
beralih ke Indische Party yang gerakannya lebih radikal. Dalam perkembangan
selanjutnya Budi Utomo tetap meneruskan cita-cita mulia menuju kemajuan yang
selaras buat tanah air dan bangsa. Ketika pecah Perang Dunia I (1914) Budi
Utomo turut memikirkan cara mempertahankan Indonesia dari serangan luar, yang
mengusulkan dibentuknya ”Komite Indie Weeber" (komisi untuk
pertahanan negara) Budi Utomo juga terlibat dalam rapat-rapat untuk membentuk
Dewan Rakyat (Volksraad), yang baru dapat terealisasi tahun 1918.
Belanda memang
memberi peluang pada Budi Utomo untuk terlibat, karena sikapnya yang moderat
sehingga pemerintah kolonial tidak terlalu mengkhawatirkan organisasi tersebut.
Pada dekade ketiga abad ke-20, April 1930, Budi Utomo dibuka keanggotannya bagi
semua golongan bangsa Indonesia. Pada kongres April 1931, anggaran dasar Budi
Utomo diubah untuk membuka diri. Pada kongres itu diputuskan untuk bekerja sama
dengan organisasi lain yang berdasarkan prinsip kooperasi.
Dalam
konferensi yang diselenggarakan pada Desember 1932 di Solo, diumumkan tentang
disahkannya badan persatuan yang terdiri dari organisasi-organisasi yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka, namanya Parindra. Kelompok organisasi ini
bersifat kooperasi tapi terhadap sesuatu hal yang lain bisa jadi non kooperasi.
Walaupun pada
awalnya organisasi Budi Utomo dikhususkan untuk masyarakat Jawa dan Madura,
namun Budi Utomo adalah organisasi modern pertama dalam pergerakan nasional
Indonesia yang bertujuan untuk memajukan masyarakat pribumi dan usianya paling
lama, Budi Utomo merupakan organisasi perintis jalan untuk pertumbuhan
organisasi-organisasi politik lainnya. Budi Utomo merupakan fase pertama dari
nasionalisme Indonesia, menjadi inspirasi bangkitnya fahamfaham kebangsaan
Indonesia.
2. Sarekat Islam (SI)
Sarekat Islam
(SI) pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI), yaitu perkumpulan bagi
pedagang Islam yang didirikan tahun 1911 di Solo, oleh H. Samanhudi. Organisasi
ini mempunyai tujuan memajukan perdagangan Indonesia di bawah panji Islam,
serta agar para pedagang Islam dapat bersaing dengan pedagang Barat maupun
Timur Asing. Sarekat Dagang Islam mengalami perkembangan cukup pesat, hal ini
terjadi karena:
1. Pedagang
keturunan Tionghoa melakukan monopoli bahan-bahan batik, ditambah pula dengan
tingkah laku mereka yang tidak mengenakkan pada pedagang pribumi;
2. Penyebaran
agama Kristen yang merupakan tantangan bagi para penganut Islam;
3. Adat lama yang
bertentangan dengan ajaran Islam yang terus dipertahankan di daerah Jawa, makin
lama makin dirasakan sebagai penghinaan terhadap umat Islam.
Faktor lain
yang mempengaruhi pesatnya pertumbuhan perkumpulan pedagang Islam tumbuh pesat terutama
setelah Tjokroaminoto masuk dan kemudian menjadi pemimpin Sarekat Dagang Islam.
SDI berganti namanya menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912. SI mempunyai
tujuan mengembangkan perekonomian guna mencapai kemajuan rakyat yang nyata
dengan jalan persaudaraan, persatuan, dan tolong menolong di antara kaum
muslimin. Keanggotaannya terbuka untuk setiap lapisan masyarakat yang beragama
Islam.
Pada Juni 1916,
mengembangkan sebuah cita-cita terbentuknya satu bangsa bagi penduduk
Indonesia. Pada kongres 1917, SI mulai dimanfaatkan oleh kekuatan lain untuk
kepentingan politik tertentu dan disusupi aliran revolusioner sosialis dengan
tokohnya Semaun yang menduduki ketua SI cabang Semarang. Dengan masuknya
Semaun, tujuan SI kemudian berubah menjadi membentuk pemerintah sendiri dan
perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat.
Dalam kongres
diputuskan tentang keikutsertaan SI dalam Volksraad. Masuknya kaum
sosialis-komunis di dalam tubuh SI, hingga memberikan pengaruh terhadap tujuan
SI dan ditambah dengan pernyataan bahwa menjadi penjajahan dalam lapangan
kebangsaan dan perekonomian itu adalah buah dari kapitalisme dan kapitalisme
hanya bisa dikalahkan oleh per satuan kaum buruh dan petani. Pada tahun 1921,
SI menetapkan bahwa seseorang harus memilih antara SI atau organisasi lain.
Pilihan ini
sebenarnya bertujuan untuk membersihkan barisan SI dari unsur-unsur komunis.
Dengan keputusan tersebut, seseorang tidak mungkin menjadi anggota SI sekaligus
menjadi anggota PKI. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya perpecahan di
tubuh SI, dan berganti nama SI Merah dan SI Putih. SI Merah yang dipimpin oleh
Semaun berpusat di Semarang dan berazaskan komunis. Adapun SI Putih dipimpin
oleh HOS Tjokroaminoto yang berlandaskan Islam. Perkembangan selanjutnya SI
berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), sedangkan SI Merah menjadi Sarekat
Rakyat yang kemudian menjadi organisasi yang berada di bawah naungan PKI.
PSI mempunyai
tujuan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan nasional. Karena tujuannya yang
jelas itulah maka PSI menggabungkan diri dengan Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Kongres PSI 1927
menyatakan bahwa Karena keragaman cara pandang di antara elite partai, PSII
pecah menjadi beberapa partai politik, seperti Partai Islam Indonesia yang
dipimpinan oleh Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII sendiri.
Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya.
3. Indische Partiij
Indische
Partiij merupakan organisasi yang didirikan oleh orang Indo dan anggotanya juga
kebanyakan orang Indo, yaitu campuran orang Indo dengan Pribumi. Didirikan oleh
Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker pada 25 Desember 1912. Dr. Ernest
Francois Eugene Douwes Dekker adalah seorang keluarga jauh Edward Douwes Dekker
(Multatuli). Dia kemudian bekerja sama dengan dua orang, Tjipto Mangunkusumo
dan Suwardi Suryaningrat. Ketiga tokoh ini dikenal dengan sebutan Tiga
Serangkai.
Indische
Partiij menyatakan bahwa nasionalisme merupakan hal paling penting dan oleh
karena itu harus diperjuangkan. Partai ini juga dengan tegas menyatakan harus
dicapainya kemerdekaan Indonesia dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam
perjuangannya, partai ini bersikap radikal terutama dalam menghadapi sistem
kolonial Belanda. Indische Partiij menuntut dihapusnya eksploitasi rakyat dan
oleh karena itu mereka beranggapan bahwa penghapusan eksploitasi dapat dicapai
apabila Hindia Belanda memperoleh kemerdekaan sistem politik dan pemerintahan
yang demokratis.
Anggaran dasar
Indische Partiij menetapkan tujuan membangun lapangan hidup, menganjurkan kerja
sama atas dasar persamaan ketatanegaraan, memajukan tanah air Hindia Belanda,
dan mempersiapkan kehidupan rakyat merdeka. Indische Partiij berdiri atas dasar
nasionalisme yang menampung semua suku bangsa di Hindia Belanda dengan tujuan
akhir mencapai kemerdekaan. Paham kebangsaan ini kemudian diolah dan
dikembangkan oleh partai-partai lain, seperti Perhimpunan Indonesia (PI) dan
Partai Nasional Indonesia (PNI).
Karena
keradikalan partai ini, pemerintah kolonial bersikap keras dan oleh karena itu
tidak memberi badan hukum. Sikap pemerintah kolonial semakin keras terutama
setelah setelah munculnya artikel Suwardi Suryaningrat pada peringatan 100
tahun bebasnya negeri Belanda dari jajahan Prancis. Artikel ini berjudul
"Als ik een Nederlander was" (Andaikata aku seorang Belanda). Artikel
ini membuat pemerintah kolonial Belanda marah dan disusul dengan ditangkapnya
ketiga tokoh Indische Partiij yang kemudian diasingkan ke Belanda.
Pada 4 Mei
1913, Indische Partiij dinyatakan sebagai partai terlarang. Walaupun sudah
dibubarkan, ketiga tokoh ini tetap berjuang. Douwes Dekker tetap di jalur
politik. Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal sebagai Ki Hajar
Dewantara terjun dalam bidang pendidikan. Adapun Tjipto Mangunkusumo meneruskan
perjuangannya yang radikal walaupun dalam beberapa waktu harus berjuang di
dalam penjara. Meskipun organisasi ini berumur pendek, Indische Partiij telah
memberikan perlawanan gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Partai
ini merupakan partai pertama yang menanamkan paham kebangsaaan.
4. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Partai Komunis
Indonesia adalah organisasi pergerakan sosialis yang mengadopsi nilai-nilai
perjuangan komunisme dari Rusia. Pada awalnya organisasi ini bernama Indische
Social Demokratische Vereeniging (ISDV), yang kemudian berubah menjadi Partai
Komunis Indonesia pada tahun 1924. Gerakan ini dipelopori oleh seorang Marxis
Belanda Sneevliet yang ingin menyebarkan ajaran-ajaran Marxis di Indonesia,
khususnya tentang manifesto-komunisnya.
Konsep
perjuangannya adalah mempertentangkan kelas antara kaum pribumi sebagai buruh
dan penjajah sebagai kapitalisme Barat. Sneevliet adalah pendiri organisai
Indische Social Demokratische Vereeniging (ISDV) (Dekker, 1993). ISDV didirikan
Sneevliet pada tahun 1914 di Semarang. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan
campuran antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Indonesia yang mempunyai
pandangan politik sama.
Sneevliet
berusaha mempengaruhi tokoh-tokoh terkemuka pada perkumpulan orang Indonesia
untuk menerima ajaran Marxis. Setelah itu tokoh-tokoh Marxis dalam ISDV
menyusup ke tubuh organisasi Sarekat Islam yang dianggap memiliki basis massa
yang banyak dan bersedia menerima pikiran-pikiran radikal perjuangan sosialis.
Selain itu, anggota Sarekat Islam yang radikal bisa masuk ISDV tanpa harus
meninggalkan Sarekat Islam.
Komunisme cepat
berkembang di kalangan rakyat Indonesia yang terjajah. Kondisi buruknya
kehidupan ekonomi pribumi dapat dimanfaatkan dengan baik oleh tokoh-tokoh
komunis Indonesia. Tokoh-tokoh komunis juga memanfaatkan kondisi buruknya
hubungan antara gerakan politik dan pemerintah Belanda. ISDV semakin kuat
setelah pecahnya Revolusi Rusia pada 1917, berdirinya Uni Soviet, dan Communis
International (Comintern) Maret 1919. Komunis Indonesia makin radikal dan
mendapat dukungan yang luas setelah pada 1922 melakukan pemogokkan-pemogokkan
untuk menuntut kenaikan upah dari kaum kapitalis.
Gerakan-gerakan
ISDV yang radikal dalam menentang kapitalisme Belanda mengakibatkan orang-orang
ISDV diusir Belanda. Pimpinan komunis di Indonesia diambil alih oleh orang
Indonesia sendiri dan kemudian mendirikan organisasi dengan nama Perserikatan
Komunis Hindia pada Mei 1920. Pada 1924 nama ini berubah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). PKI dengan cepat berkembang karena mendapat banyak dukungan
dari kalangan rakyat jelata yang terjajah.
PKI masuk
Komintern pada 1920. Tokoh-tokoh PKI di antaranya, Semaun, Alimin, Tan Malaka,
dan Darsono (Dekker, 1993). PKI dalam melaksanakan kegiatannya bersifat praktis
dan radikal, organisasi ini dengan tegas menyatakan ingin melakukan gerakan
revolusi untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Tokoh-tokohnya
dengan cerdik mampu memanfaatkan militansi Islam yang juga berkeinginan untuk
melawan pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, banyak tokoh Islam yang
direkrut untuk menyebarkan propaganda PKI yang anti kapitalisme Belanda.
Misalnya di
daerah berbasis Islam, Banten dan Minangkabau, terjadi pemberontakan melawan kapitalisme
Barat pada 1926 dan 1927. Akibat pemberontakan, pemerintah kolonial Belanda
melakukan penindasan terhadap pengikutnya. Pemimpinnya dibuang, sejumlah 13.000
anggotanya ditangkap, 4.000 orang dihukum, dan 1.300 orang dibuang ke Digul.
Oleh pemerintah kolonial, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, walaupun
aktivitas politiknya masih terus berjalan. Semaun, Darsono, dan Alimin
meneruskan propaganda untuk mendukung aksi revolusioner dan menuntut
kemerdekaan Indonesia.
5. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Partai Nasional
Indonesia didirikan oleh kaum terpelajar, yang dipelopori oleh Soekarno.
Berdiranya PNI, tidak terlepas dari pengaruh dilarangnya PKI oleh pemerintah
kolonial. Kaum terpelajar dan intelektual serta tokoh-tokoh perjuangan lainnya berusaha
memikirkan strategi yang harus dijalankan untuk mencegah agar
organisasi-organisasi baru tidak terperangkap pada kendala yang sama. Untuk itu
mereka berkesimpulan bahwa kekerasan dan radikalisme bukan jalan perjuangan
yang baik dalam menghadapi pemerintah kolonial.
Golongan
terpelajar yang berada dalam Algemene Studie Club Bandung pada 4 Juli 1927
mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Organisasi yang dipimpin
oleh Ir. Soekarno. PNI didirikan dengan tujuan untuk menampung orang-orang yang
merasa aspirasinya tidak terwakili dalam organisasi-organisasi politik yang ada
saat itu. Tujuan PNI adalah untuk mencapai Indonesia merdeka dengan asas
perjuangan berdiri di atas kaki sendiri, nonkooperasi, dan marhaenisme.
Sebagai sebuah
organisasi yang baru, PNI cepat berkembang dan menarik perhatian banyak pihak.
Hal ini disebabkan karena adanya propaganda-propaganda yang dilakukan Ir.
Soekarno dengan mengusung tema antara lain: karakter yang buruk dari penjajah,
konflik antara pengusaha dan petani, "front sawo matang melawan front
kulit putih," menghilangkan ketergantungan dan menegakkan kemandirian,
serta perlunya pembentukan negara dalam negara. Propaganda-propaganda Ir.
Soekarno yang menarik dukungan masyarakat telah mengkhawatirkan pemerintah
kolonial Belanda.
Gubernur
Jenderal Belanda dalam pembukaan sidang Volksraad pada 15 Mei 1928 memberi
peringatan kepada pemimpin PNI untuk menahan diri dalam ucapan dan
propagandanya. Karena tidak dihiraukan, pemerintah kolonial Belanda segera
mengadakan penangkapan terhadap para pemimpin PNI, seperti Ir. Soekarno,
Maskun, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata. Penangkapan itu terjadi pada 24
Desember 1929. Mereka kemudian diajukan ke depan pengadilan Landraad di
Bandung.
Pengadilan Ir.
Soekarno dan rekannya dihadiri oleh banyak kalangan, baik dari tokoh-tokoh
pergerakan di luar maupun di dalam kota Bandung. Pidato pembelaan Soekarno
dikenal dengan Indonesia Menggugat yang di dalamnya berisi antara lain
pandangan Soekarno mengenai pergerakan nasional, pentingnya kemerdekaan bagi
bangsa Indoensia, dan dihapuskannya pemeritah kolonial. Pengadilan tersebut
menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara untuk Soekarno, 2 tahun untuk Gatot
Mangkuraja, 1 tahun 8 bulan untuk Maskun dan 1 tahun 3 bulan untuk Supriadinata
dengan tuduhan melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban umum dan
menentang kekuasaan pemerintah.
Dipenjarakannya
tokoh-tokoh penting PNI menimbulkan pemikiran untuk membubarkan PNI, demi
keselamatan para anggota, 1933. Sementara itu, Mr. Sartono, melalui kongres
luar biasa mendirikan partai baru bernama Partai Indonesia (Partindo) dengan
Sartono sebagai ketuanya. Sedangkan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan
partai baru yaitu PNI Pendidikan (PNI Baru). Partai Indonesia (Partindo)
Partindo berasaskan non kooperatif, konsep sosio-demokrasi dan
sosio-nasionalisme dari Ir. Soekarno diterima sebagai citacita yang dituju
Partindo.
Partindo adalah
partai politik yang menghendaki kemerdekaan Indonesia yang didasarkan prinsip
menentukan nasib sendiri, kebangsaan, menolong diri sendiri, dan demokrasi.
Partindo menekankan perjuangan radikal dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan
penuh. Kongres Partindo pada 15-17 Mei 1932 di Jakarta dihadiri oleh Ir.
Soekarno yang saat itu belum menjadi anggota. Dalam pidato tersebut, Soekarno
memunculkan slogan "Indonesia merdeka sekarang," "kerakyatan dan
kebangsaan," dan "Persatuan Indonesia."
Pada kongres
Juli 1933, Soekarno menjelaskan konsep Marhaenisme. Pada dasarnya Marhaenisme
menyukai perjuangan membela rakyat kecil serta menekankan kebahagiaan,
kesejahteraan, dan keadilan sosial untuk marhaen atau rakyat kecil. Sikap
pemerintah kolonial Belanda terhadap Partindo semakin keras. Pada 1933
dikeluarkan larangan bagi pegawai negeri untuk menjadi anggota Partindo.
Puncaknya
adalah penangkapan Soekarno pada 1 Agustus 1933 oleh Gubernur Jenderal De
Jonge. Soekarno kemudian dibuang ke Ende, Flores. Setelah penangkapan tersebut,
ruang gerak partai menjadi sempit. Kongres yang rencananya akan diselenggarakan
pada 30-31 Desember 1934 dilarang oleh pemerintah. Meskipun begitu, Partindo
berjalan terus sampai membubarkan diri pada 18 November 1936.
6. Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan
Indonesia adalah salah satu organisasi pergerakan nasional yang berdiri di
negeri Belanda. Perhimpunan Indonesia didirikan oleh mahasiswa Indonesia serta
orang-orang Belanda yang menaruh perhatian pada nasib Hindia Belanda yang
tinggal di Negeri Belanda. Perhimpunan Hindia atau Indische Vereeniging (IV)
berdiri pada tahun 1908, yang dibentuk sebagai sebuah perhimpunan yang bersifat
sosial. Organisasi ini merupakan ajang pertemuan dan komunikasi antar mahasiswa
Indonesia yang belajar di negeri Belanda.
Namun, setelah
kedatangan pemimpin Indische Partiij di Belanda, IV berkembang pesat dan memusatkan
kegiatannya pada bidang politik. Tokoh-tokoh organisasi yang berpandangan maju
tersebut mencetuskan untuk pertama kali konsep Hindia Bebas dari Belanda dan
terbentuknya negara Hindia yang diperintah oleh rakyatnya sendiri. Program
kegiatannya antara lain bekerja di Indonesia dan membentuk Indonesische Verbond
van Studeerenden (Persatuan Mahasiswa Indonesia).
Hal terpenting
dari penggabungan ini adalah dengan digantinya "Indische"
dengan "Indonesische." Hal ini merupakan pertama kalinya dalam
sejarah pergerakan nasional Indonesia dikenalkan istilah "Indonesische"
atau "Indonesia" dalam kegiatan akademik dan politik. Pada tahun
1923, Iwa Kusumasumatri sebagai ketua, sejak saat itu sifat perjuangan politik
organisasi semakin kuat. Dalam rapat umum 1923 organisasi ini menyepakati tiga
asas pokok organisasi yaitu:
a) Indonesia
menentukan nasib sendiri;
b) untuk itu
Indonesia harus mengandalkan kekuatan dan kemauan sendiri;
c) untuk melawan
pemerintah kolonial Belanda, bangsa Indonesia harus bersatu.
Untuk
menunjukkan sikap nasionalismenya, para pengurus organisasi ini kemudian
mengubah nama majalah Hindia Putera dengan Indonesia Merdeka. Pada edisi
pertama majalah Indonesia Merdeka diungkapkan bahwa penjajahan Indonesia oleh
Belanda dan penjajahan Belanda oleh Spanyol memiliki banyak persamaan. Selain
itu diungkapkan pula alasan tidak disebutnya negara Hindia Belanda karena
hampir sama dengan orang Belanda yang tidak mau menyebut negaranya dengan
Nederland-Spanyol. Para mahasiswa mengetahui hal ini setelah mempelajari
mengenai perjuangan Belanda melawan Spanyol.
Organisasi ini
juga berpendapat bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa yang ada di dunia,
termasuk hak bangsa Indonesia yang masih terjajah. Semangat perjuangan
politiknya yang jelas menuju Indonesia merdeka menjadikan organisasi ini
disegani oleh oranisasi-organisasi sejenis di kalangan negara-negara terjajah
di Asia. Propaganda tentang tujuan dan ideologi baru bangsa Indonesia
disosialisasikan secara lebih gencar oleh organisasi ini dengan menerbitkan
buklet dalam rangka memperingati hari jadi yang ke-15 pada 1924.
Indische
Vereeniging (IV) pada 3 Februari 1925 berubah namanya menjadi Perhimpunan
Indonesia. Dalam majalah Indonesia Merdeka, ditulis bahwa perubahan nama ini
diharapkan dapat memurnikan organisasi dan mempertegas prinsip perjuangan
organisasi. Sementara, dalam artikel yang muncul pada bulan yang sama dengan
judul Strijd in Twee Front (Perjuangan di Dua Front), menyatakan bahwa
perjuangan selanjutnya akan lebih berat dan pemuda Indonesia tidak akan ada
yang dapat menghindarinya.
Mereka harus
berusaha mengerahkan semua kemampuannya jika ingin mencapai kemerdekaan. Para
pemimpin Perhimpunan Indonesia menyatakan bahwa organisasi mereka merupakan
organisasi pergerakan nasional. Sebagai kelompok elite serta golongan menengah
baru, mereka harus memainkan peran pentingnya sebagai agen pengubah masyarakat
dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka, dari masyarakat
terbelenggu menjadi masyarakat bebas, dan dari masyarakat yang bodoh menjadi
masyarakat yang pintar.
Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan wadah negara kesatuan yang merdeka dan
berdaulat. Salah seorang pemimpin Perhimpunan Indonesia, Moh. Hatta, dengan
penuh semangat menyerukan bersatunya semua unsur nasionalis Indonesia. Di
antara empat pikiran pokok ideologi Perhimpunan Indonesia, pokok pikiran
"merdeka" merupakan kuncinya. Keempat pokok pikiran itu adalah
kesatuan nasional, kemerdekaan, nonkooperatif, dan kemandirian.
Ideologi
Perhimpunan Indonesia yang terdiri dari empat gagasan telah disetujui pada
Januari 1925. Keempat gagasan tersebut adalah sebagai berikut:
1) membentuk suatu
negara Indonesia yang merdeka;
2) partisipasi
seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan terpadu untuk mencapai
kemerdekaan;
3) konflik
kepentingan antara penjajah dan yang dijajah harus dilawan dengan mempertajam
dan mempertegas konflik. Konflik ditujukan untuk melawan penjajah; dan
4) pengaruh buruk
penjajahan Belanda terhadap kesehatan fisik dan psikis bangsa Indonesia harus
segera dipulihkan dan dinormalkan dengan cara terus berjuang mencapai
kemerdekaan.
Berkembangnya
paham marxisme, leninisme, dan sosialisme di Eropa mengenai perjuangan kelas
dan konflik antara kaum kapitalis dan kaum proletar telah mempengaruhi cara pandang
tokoh-tokoh pergerakan nasional yang tinggal di Belanda, Eropa. Oleh
tokoh-tokoh pergerakan nasional, paham-paham tersebut diaplikasikan dalam
ideologi pergerakan nasional. Mereka memandang bahwa rakyat negeri jajahan
adalah sebagai kaum proletar yang tertindas akibat imperialisme yang identik
dengan kapitalisme.
Tokoh
pergerakan, seperti Semaun, dibuang ke Amsterdam, Mohammad Hatta, Ali
Sastroamidojo, Gatot Mangkupraja, dan Subarjo adalah penganut paham-paham baru
dari Eropa tersebut. Paham marxis, leninis, dan sosialis telah memberikan
dorongan kepada mahasiswa dalam menumbuhkan semangat perjuangan bangsa kulit
sawo matang Indonesia dengan bangsa kulit putih Belanda. Dalam melakukan
kegiatan politiknya, para mahasiswa Indonesia di Belanda sering mengadakan
pertemuan, diskusi ilmiah dan politik diantara mereka sendiri serta dengan
berbagai mahasiswa lainnya di negeri Belanda.
Tujuannya
adalah untuk mengembangkan persamaan pandangan serta menggalang simpati baik
dari Indonesia, dunia internasional, maupun dari orang Belanda sendiri tentang
Indonesia merdeka. Oleh karena itu, PI menganjurkan agar semua organisasi
pergerakan nasional menjadikan konsep Indonesia merdeka sebagai program
utamanya. Seruan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda terhadap organisasi
pergerakan di Indonesia untuk meningkatkan aktifitas politik mendapat sambutan
di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah PKI.
Pada November
1926, komite revolusioner PKI mengadakan pemberontakan di Jawa Barat. Januari
1927, PKI juga mengulangi aksinya di pantai barat Sumatra. Namun kedua aksi ini
mengalami kegagalan. Pemberontakan PKI yang gagal di Banten dianggap tanggung
jawab PI di Negeri Belanda. Setelah terjadi pemberontakan tersebut pemerintahan
kolonial Belanda berusaha menangkap para pemimpin PI di Belanda. Tokoh-tokoh
PI, seperti Ali Sastroamidjojo, Abdul Karim, M Jusuf, dan Moh.
Hatta dianggap
memiliki hubungan dekat dengan Moskow, sebagai markas gerakan comintern. Akibat
tuduhan itu mereka ditangkap, kemudian diadili atas tuduhan makar terhadap
pemerintah. Karena pembelaan mereka, akhirnya mereka dibebaskan setelah tidak
terbukti terlibat dalam pemberontakan tersebut. Dalam pidato pembelaannya,
mereka menjelaskan bahwa PI hanya sekedar membicarakan kemungkinan tindak
kekerasan, kecuali pemerintah Belanda memikirkan tentang kemerdekaan Indonesia.
Pembebasan mereka
dari tuduhan tersebut dirayakan oleh anggota-anggota PI dan partai-partai
nasionalis Indonesia, karena dianggap sebagai suatu kemenangan gerakan
nasionalis atas negeri kolonial Belanda. Karena kemenangan tersebut, maka kaum
nasionalis Indonesia di Belanda semakin mendapat simpati massa di Belanda.
Perhimpunan Indonesia mempunyai peran penting dalam pergerakan nasionalis
Indonesia, walaupun organisasi ini berdiri di Belanda dan banyak bergerak di
negeri tersebut. Peran tersebut antara lain:
1) sebagai pembuka
keterkungkungan psikologis bangsa Indonesia dan kekuasaan sistem kolonial;
2) pengembang
ideologi sekuler sehingga bisa mendorong semangat revolusioner dan nasionalis;
3) mempersatukan
unsur golongan ke dalam organisasi secara keseluruhan;
4) memperkenalkan
istilah Indonesia untuk mengembangkan jati diri nasional dan tidak bersifat
kedaerahan; dan
5) sebagai
organisasi kebangsaan yang paling orsinil dalam mempropagandakan ideologi Indonesia
Merdeka.
7. Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
PPKI merupakan
organisasi yang didirikan sebagai upaya untuk mengumpulkan berbagai macam
organisasi sosial politik menjadi satu, agar bisa menjadi kekuatan yang sangat
besar dalam melawan penjajah Belanda. Terbentuknya gagasan tentang persatuan
Indonesia dilatarbelakangi adanya kesadaran dikalangan tokoh-tokoh pergerakan
nasional bahwa berjuang hanya melalui masing-masing organisasi pergerakan
nasional tidak akan membawa hasil. Dengan perjuangan sendiri-sendiri akan mudah
ditumpas oleh pemerintah kolonial.
Terbukti, PKI
yang melakukan pemberontakan sendiri juga telah gagal dan berakhir dengan
dilarangnya partai politik tersebut. Ir. Soekarno merupakan salah satu tokoh
yang merasa yakin benar bahwa front bersama sangatlah penting bagi
mempersatukan perjuangan politik pergerakan nasional Indonesia. Dalam
merealisasikan ide ini, Soekarno dibantu oleh Sukiman, mengajak PSI untuk turut
bergabung. Namun ide ini ditolak oleh PSI dengan alasan bahwa sebagian tokoh
PNI dan Soekarno sendiri dianggap sebagai didikan Belanda, karena itu diragukan
kenasionalisannya.
Sebagian
kalangan pergerakan nasional Indonesia yang masih berpandangan kolot masih
menganggap bahwa mereka yang bukan dididik dan dibesarkan di Indonesia tidak
memiliki pandangan positif tentang kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17-18
Desember 1927 diputuskan untuk dibentuk Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Perhimpunan ini menampung beberapa
organisasi pergerakan nasional, seperti PSI, BU, PNI, Pasundan, Sumatranen
Bond, Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia.
PPPKI dianggap
telah mampu mengimbangi kekuatan pemerintah Belanda. PPPKI juga diharapkan
mampu mempersatukan dan menjadikan gerakan-gerakan politik nasional berada
dalam satu koordinasi yang baik. PPPKI terus berkembang dan memiliki daya tarik
tersendiri bagi parpol-parpol yang ada di Indonesia. PSI dan BU merupakan salah
satu yang memberikan perhatian khusus terhadap ideologi nasionalis sekuler.
Kongres PPPKI I diselenggarakan pada 2 September 1928 di Surabaya.
Para wakil
parpol berharap bahwa kongres ini merupakan kongres yang dapat membawa
Indonesia ke era baru gerakan kebangsaan. Kongres menunjuk Soetomo sebagai
ketua Majelis Pertimbangan PPPKI. Sebagai ketua, Soetomo berhasil mempersatukan
kaum moderat dan kaum radikal di tubuh PPPKI. Kongres juga menganjurkan agar
dibentuknya seksi PPPKI daerah agar memudahkan sekaligus memantapkan PPPKI
dalam kesadaran nasionalisnya. PPPKI ternyata tidak mampu mewujudkan cita-cita
idealnya, karena terjadi pertentangan antara tokoh-tokoh partai, seperti
pertentangan antara PNI Baru dan Partindo.
Perhimpunan ini
akhirnya tidak memiliki peran apapun di panggung politik, meskipun segala upaya
sudah dilakukan Soekarno dalam rangka mempersatukan partai-partai yang ada.
Intervensi pemerintah kolonial Belanda terhadap perhimpunan ini juga menjadi
salah satu penyebab semakin menurunnya peran perhimpunan ini dalam pergerakan
nasional. Hal ini sangat disayangkan karena bergabungnya beberapa parpol dalam
sebuah himpunan dianggap sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah
pergerakan nasional Indonesia.
8. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Parindra adalah
salah satu organisasi yang didirikan sebagai upaya untuk mempersatukan persepsi
di antara organisasi pergerakan nasional. Mereka menyadari bahwa hanya dengan
persatuan, cita-cita kemerdekaan Indonesia dapat diwujudkan. Upaya tersebut
terus dilakukan dalam rapat-rapat, diskusi, dan surat kabar. Salah satu surat
kabar yang menampung gagasan persatuan adalah "Soeloeh Rayat
Indonesia." Surat kabar ini antara lain dimanfaatkan oleh Kelompok Studi
Indonesia di Surabaya untuk menyerukan konsepsinya bahwa perbedaan golongan
pendukung nonkooperasi dan pendukung kooperasi tidaklah harus dibesar-besarkan.
Menurut mereka,
tujuan pergerakan saat ini adalah mengangkat rakyat Indonesia dari penderitaan
berkepanjangan, baik itu melalui kegiatan ekonomi, sosial, maupun politik. Pada
November 1930 kelompok studi ini mengubah namanya menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI). Meskipun berusaha mengutamakan agitasi politik, PBI lebih
terlihat sebagai partai lokal Surabaya yang berorientasi pada kerakyatan.
Perkumpulan Rukun Tani yang didirikannya menjadi sarana perbaikan dan
kesejahteraan petani.
Dengan basis
tersebut, PBI mendapat dukungan luas di pedesaan sehingga pada 1932 organisasi
ini sudah memiliki anggota 2500 orang dengan 30 cabang. Pada tahun yang sama
diadakan kongres yang menetapkan penggalakan koperasi, serikat sekerja dan
pengajaran. Pada 1934, diadakan kongres di Malang, yang menetapkan bahwa PBI
akan lebih memajukan pendidikan rakyat. PBI menggandeng BU untuk bekerja sama
dalam upaya untuk menggalang persatuan.
Dari kerja sama
yang telah disepakati tersebut disepakati untuk membentuk Partai Indonesia Raya
atau Parindra pada 1935 dengan menggabungkan organisasi lainnya, seperti
Sarikat Celebes, Sarikat Sumatra, Sarikat Ambon, Perkumpulan Kaum Betawi, dan
Tirtayasa. Parindra memiliki tujuan mencapai Indonesia mulia dan sempurna.
Keunikan Parindra dibanding partai yang lainnya adalah bahwa partai ini
bersifat kooperasi dan dalam beberapa kegiatannya juga nonkooperasi.
Kongres I
Parindra yang diselenggarakan pada Mei 1937 di Jakarta diputuskan bahwa
Parindra bersikap kooperatif dan anggota yang ada dalam dewan harus loyal pada
partainya. KRMH Wuryaningrat yang menggantikan Sutomo sebagai ketua berusaha
dengan keras untuk mencapai perbaikan ekonomi rakyat, pengangguran, peradilan,
dan kemiskinan. Dalam memajukan kesejahteraan ekonomi rakyat, Parindra telah
berjasa mendirikan Perkumpulan Rukun Tani, Rukun Pelayaran Indonesia dan Bank
Nasional Indonesia.
9. Gabungan Politik Indonesia (Gapi)
Sebelum Gapi
dibentuk, tokoh-tokoh pergerakan nasional masih mencari jalan lain agar
perjuangan mereka mencapai kemerdekaan segera dapat diraih. Ternyata jalan
perjuangan kooperatif dan nonkooperatif masih menghadapi jalan buntu. Tindakan
Belanda yang menutup jalan gerakan non kooperatif dan mengharuskan gerakan yang
kooperatif untuk selalu meminta izin terhadap Belanda, telah membuat kesal
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, melalui Volksraad, partai-partai
mengeluarkan petisi pada 15 Juli 1936.
Petisi yang
dikenal sebagai Petisi Sutarjo tersebut berisi usulan kepada pemerintah Belanda
untuk mengadakan konferensi membahas tentang status politik Hindia Belanda di
Indonesia. Ia menuntut kejelasan status politik Belanda pada 10 tahun
mendatang. Selain itu, petisi ini juga bertujuan untuk mendorong rakyat memajukan
negerinya dengan rencana yang mantap dan matang di bidang politik, ekonomi, dan
sosial. Petisi tersebut ditandatangani oleh Sutardjo, I.J. Kasimo, Sam
Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong.
Petisi Sutardjo
ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini tentu saja membuat para tokoh
pergerakan dan pendukungnya merasa sangat kecewa. Apalagi setelah petisi
tersebut tidak jelas kedudukannya selama dua tahun, apakah ditolak atau
diterima. Meskipun begitu, kejadian tersebut telah mendorong semangat baru
bangsa Indonesia untuk mencari jalan lain dalam pergerakan nasional. Perbedaan
pendapat dan krisis baru di antara tokoh-tokoh pergerakan nasional masih terus
tampak.
Untuk mengatasi
krisis kekuatan nasional, tampillah seorang tokoh yang berusaha untuk
mengurangi konflik dan menyamakan persepsi kembali tentang betapa pentingnya
kesatuan di antara partai-partai politik nasional. Tokoh tersebut adalah
M.Husni Thamrin yang memelopori berdirinya sebuah organisasi baru, yaitu
Gabungan Politik Indonesia (Gapi), pada 21 Mei 1939. Gapi merupakan gabungan
dari Parindra, Gerindo, Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Partai
Katolik Indonesia, Pasundan, dan PSII.
Langkah
selanjutnya yang ditempuh Gapi adalah pada 24 Desember 1939, dengan membentuk Kongres
Rakyat Indonesia (KRI). Tujuan utama dari kongres ini adalah "Indonesia
Berparlemen." Resolusi Gapi ditanggapi dingin oleh pemerintah kolonial.
Untuk meredam gerakan nasionalis, pemerintah kolonial segera membentuk Komisi
Visman, sebuah komisi yang ditujukan untuk menyelidiki keinginan bangsa
Indonesia. Komisi ini bekerja tidak jujur dan lebih memihak kepada penguasa
Belanda, sehingga pemerintah Belanda hanya berjanji memberikan status dominion
kepada Indonesia di kemudian hari.
Di mata
sebagian kaum nasionalis, komisi ini dianggap sebagai cara pemerintah kolonial
untuk mengulur-ngulur waktu tentang tuntutan bangsa Indonesia. Gapi yang tetap
teguh pada pendiriannya, segera merubah KRI menjadi Majelis Rakyat Indonesia
(MRI) padal 14 September 1941. Mr. Sartono diangkat sebagai ketua. Organisasi
ini beranggotakan Gapi sebagai wakil federasi organisasi politik, Majelis Islam
A'la Indonesia (MIAI) sebagai wakil organisasi Islam, dan PVPN sebagai federasi
serikat sekerja dan pegawai negeri.
Pada September
1942, MRI berhasil menyelenggarakan Kongres II di Yogyakarta. Kongres ini
dihadiri ole h MIAI, PVPN, Kongres Perempuan Indonesia, Isteri Indonesia,
Perti, Parindra, Gerindo, Pasundan, PII, PPKI, PAI, NU, PPBB, Muhammadiyah,
PMM, Taman Siswa, dan PSII. Pada saat itu, MRI merupakan organisasi yang paling
maju karena telah berhasil menggabungkan organisasi politik, sosial, dan
keagamaan dalan satu wadah.
Nasionalisme
adalah suatu gerakan yang bersifat politik dan sosial dari kelompok-kelompok
bangsa yang bersifat politik dan sosial dari kelompok-kelompok bangsa yang
memiliki persamaan budaya, bahasa, wilayah, serta persamaan cita-cita dan
tujuan. Paham baru di Eropa tersebut berdampak luas ke wilayah Asia-Afrika. Hal
itu terlihat dari banyaknya gerakan yang menentang penjajahan dan gerakan yang
memperjuangkan kemerdekaan setiap bangsa Asia dan Afrika.
Peristiwa-peristiwa
penting antara Perang Dunia I dan II, antara lain Perang Dunia I, Perjanjian
Versailes, pembentukan Liga Bangsa-Bangsa, Perang Dunia II, dan pembentukan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pergerakan nasional Indonesia yang terjadi pada
awal abad ke-20 dapat diartikan sebagai pergerakan di seluruh bangsa Indonesia
yang berasal dari berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya yang terhimpun
dalam organisasi-organisasi pergerakan dan yang bertujuan untuk memajukan
bangsa Indonesia di bidang pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, dan politik
serta untuk memperoleh kemerdekaan yang meliputi seluruh bangsa dari penjajah
Belanda.
Organisasi
pergerakan nasional yang pernah lahir di Indonesia antara lain, Budi Utomo,
Sarekat Islam, Indische Partiij, PNI, Partindo, PKI, Taman Siswa, Perhimpunan
Indonesia, Parindra, Muhammadiyah, PPPKI, dan PPPI. Sedangkan organisasi pemuda
di antaranya Trikoro Dharmo, Jong Celebes, Jong Sumatra Bond, PPPI, Jong
Indonesia, dan Indonesia Muda. Demikian pula pada pergerakan kaum wanita
Indonesia yang dipelopori oleh R.A. Kartini dan Dewi Sartika.
Pada 15 Juli
1936, bangsa Indonesia mengeluarkan Petisi Sutarjo yang berisi tentang usulan
untuk mengadakan konferensi membahas status politik Hindia Belanda di
Indonesia. Adapun Gapi yang merupakan organisasi gabungan dari beberapa
partai-partai politik dan pergerakan nasional di Indonesia menuntut kepada
pemerintah kolonial Belanda agar "Indonesia Berparlemen."
10. Gerakan dan Organisasi Pemuda
Organisasi
pemuda yang didirikan pada awal abad ke-20 meliputi organisasi-organisasi yang
didukung oleh para pemuda di daerah. Salah satu di antaranya adalah Perkumpulan
Pasundan. Perkumpulan ini didirikan pada 1914 dengan tujuan mempertinggi
derajat kesopanan, kecerdasan, memperluas kesempatan kerja, dan penghidupan
kegiatan masyarakat. Pemimpinnya adalah R. Kosasih Surakusumah, R.Otto Kusuma,
dan R.A.A. Jatiningrat. Organisasi Pasundan merupakan organisasi semacam Budi
Utomo bagi orang Sunda.
Pada masa
sesudah sekitar 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan
organisasi-organisasi baru di kalangan elite terpelajar yang sebagian besar
didasarkan atas identitas-identitas kesukuan. Misalnya Sarekat Ambon (1920),
bertujuan untuk melindungi kepentingan orangorang Ambon. Organisasi ini
bersifat radikal, ingin berparlemen dan meminta pemerintahan sendiri.
Perkumpulan yang lain adalah Jong Java (1918) yang keanggotaannya khusus untuk
orang-orang Jawa.
Organisasi
lainnya yang berusaha menampung para pemuda dan mahasiswa adalah Sarekat
Sumatera (Sumatranen Bond, 1918) yang merupakan kelompok mahasiswa Sumatra,
Jong Minahasa (Pemuda Minahasa, 1918), yaitu organisasi untuk orang-orang
Minahasa, dan Timorsch Verbond atau Persekutuan orang-orang Timor (1921) yang
didirikan oleh orang-orang Timor dari Pulau Roti dan Sawu untuk melindungi
kepentingan-kepentingan rakyat Timor.
Pada 1923
dibentuk pula Kaum Betawi di bawah pimpinan M.Husni Thamrin yang berusaha
memajukan hak-hak warga Betawi. Organisasi ini bertujuan memajukan perdagangan,
pertukaran pengajar. MH. Thamrin kemudian menjadi anggota Volksraad dan Ketua
Fraksi Nasional. Pendirian organisasi kepemudaan di atas tidak hanya
mencerminkan adanya kegairahan baru untuk berorganisasi pada zaman pergerakan
nasional, namun juga mencerminkan kuatnya identitas-identitas kesukuan dan
kemasyarakatan yang terus berlangsung.
Unsur-unsur
etnosentrismenya juga masih ada dengan mengisolasi diri, tetapi regionalisme
itu juga perlahan dapat menciptakan nasionalisme. Regionalisme itu selalu
dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memecah belah dengan melakukan
infiltrasi. Perkumpulan pemuda didirikan untuk mencapai kemerdekaan bangsa
Indonesia. Perkumpulan pemuda pertama adalah Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan
Mulia) yang berdiri pada 7 Maret 1915 di gedung perkumpulan Budi Utomo.
Tri Koro Dharmo
bertujuan untuk mengadakan suatu tempat latihan untuk calon-calon pemuda
nasional. Cinta tanah air menjadi dorongan bagi berdirinya organisasi ini.
Organisasi ini kemudian diganti namanya menjadi Jong Java yang orientasinya
lebih luas dari sekedar organisasi daerah, serta berorientasi pada pergerakan
rakyat. Setelah berkembangnya rasa nasionalisme pada akhir Perang Dunia I, kegiatan
Jong Java beralih ke politik.
Dalam
kongresnya pada 1926 di Solo, organisasi ini memiliki anggaran dasar yang
menyebutkan ingin menghidupkan rasa persatuan dengan seluruh bangsa Indonesia
dan bekerja sama dengan semua organisasi pemuda yang ada guna membentuk
kesatuan Indonesia. Organisasi Jong Java dan yang lainnya dibubarkan dan
diganti dengan Indonesia Muda yang bertujuan Indonesia merdeka.
Di Sumatra,
lahir Jong Sumatra Bond pada 9 Desember 1927 dengan tujuan memperkokoh ikatan
sesama murid Sumatera dan mengembangkan kebudayaan Sumatra. Organisasi ini
dipimpin oleh M. Yamin. Kehadiran organisasi ini segera diikuti dengan
berdirinya Jong Minahasa dan Jong Celebes. Pada Kongres Pemuda I, Mei 1926,
untuk pertama kalinya beberapa organisasi pemuda berhasil dikumpulkan dalam
sebuah kongres. Kongres yang dipimpin oleh M. Tabrani ini dihadiri Jong Java,
Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan
Perkumpulan Pemuda Theosofi.
Walaupun tidak
berhasil membuat fusi, mereka telah sepakat tentang paham persatuan. Baru pada
28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda II di gedung Indonesische Club Kramat No.
106 Jakarta, dapat dipadukan semua organisasi pemuda menjadi satu kekuatan
nasional. Kesepakatan tersebut diikuti dengan ikrar satu nusa, satu bangsa, dan
satu bahasa yang terkenal dengan Sumpah Pemuda, yang isinya:
1. Kami Putra dan
Putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia.
2. Kami Putra dan
Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia.
3. Kami Putra dan
Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Kongres
berhasil menetapkan Sumpah Pemuda yang nantinya dijadikan landasan perjuangan
Indonesia merdeka. Pada malam penutupan, untuk pertama kali diperdengarkan lagu
Indonesia Raya oleh WR. Supratman. Selanjutnya, PNI, PPPI, Indonesia Muda, dan
seluruh perkumpulan pemuda mengaku Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
11. Organisasi Kepanduan
Selain
organisaasi pemuda yang sifatnya politis, lahir pula organiasi kepanduan.
Kepanduan mulai ada pada permulaan Perang Dunia I. Kegiatannya difokuskan pada
olah raga dengan anggotanya sebagian besar dari kalangan murid-murid sekolah,
baik sekolah pribumi maupun Belanda. Salah satu organisasi kepanduan adalah Ned
Indische Badvinders Vereeniging (NIPV). Organisasi ini merupakan kepanduan
campuran pertama yang didirikan pada 1917. Organisasi kepanduan Indonesia yang
pertama adalah Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) didirikan di Solo (1916)
oleh Mangkunegoro VII.
Setelah 1920,
organisasi kepanduan berkembang sejalan dengan berkembangnya semangat
nasionalisme dan patriotisme. Dalam organisasi politikpun terdapat organisasi
kepanduan, seperti Sarekat Islam Afdeling Pandu, Hizbul Wathon, dan Nationale
Islamitische Padvinderij. Pada 1938, didirikan Badan Pusat Persaudaraan
Kepanduaan untuk menampung organisasi-organisasi kepanduan yang sudah ada.
Organisasi tersebut pada Februari 1941 mengadakan perkemahan bersama.
12. Gerakan Wanita
Pergerakan
nasional Indonesia tidak hanya di bidang politik melainkan juga sosial dan
wanita. Salah seorang tokoh wanita yang menyuarakan pentingnya emansipasi
antara pria dan wanita adalah RA. Kartini. Dia kemudian dinggap sebagai pelopor
gerakan emansipasi yang dalam tulisan-tulisannya menuntut agar wanita Indonesia
diberi pendidikan karena mereka memikul tugas sebagai seorang ibu yang
bertanggung jawab atas pendidikan anaka-naknya.
Buku Kartini
yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku yang berisi kumpulan
surat-surat Kartini tentang berbagai buah pikirannya. Buku ini ditulis oleh
Abendanon pada 1899. Isinya antara lain tentang posisi wanita dalam keluarga,
adat istiadat, dan keterbelakangan wanita. Karena senang membaca dan bergaul
dengan berbagai kalangan, Kartini memiliki padangan yang positif tentang betapa
pentingnya memajukan kaum wanita. Dengan belajar sungguh-sungguh, dia
berpendapat bahwa memajukan kaumnya dan menolak konservatisme adalah sangat
penting.
Demikian juga
adat yang mengharuskan wanita hanya tinggal di dalam rumah harus dirombak.
Kartini meminta agar rakyat Indonesia diberi pendidikan karena pendidikan
merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan tersebut bukan
hanya untuk laki-laki, tapi juga kaum wanita. Pendidikan yang diperoleh itu
selain untuk mengasah intelegensi, juga untuk membangun sopan santun dan
kesusilaan. Kunci kemajuan wanita menurut Kartini adalah kombinasi antara
kebudayaan Barat dan Timur.
Perkumpulan
atau organisasi wanita yang muncul di masa pergerakan diantaranya adalah Putri
Mardika (1912) yang bertujuan memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan
dengan memberikan penerangan dan bantuan dana. Demikian pula dengan sekolah
Kaoetamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika di Bandung pada 1904.
Sekolah Kartini juga didirikan di Jakarta pada 1913, di Madiun, Malang dan
Cirebon, Pekalongan, Indramayu, Surabaya, dan Rembang.
Selanjutnya,
pada 1920 mulai muncul perkumpulan wanita yang bergerak di bidang sosial dan
kemasyarakatan. Di Minahasa, berdiri De Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwen
Vereeniging. Di Yogyakarta lahir perkumpulan Wanita Utomo yang mulai memasukan
perempuan ke dalam kegiatan dasar pekerjaan. Corak kebangsaan sudah mulai
mempengaruhi pergerakan wanita sejak 1920, hal ini ditandai dengan adanya
Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 1928.
Kongres
tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi wanita, di antaranya Ny.
Sukamto (Wanito Utomo), Nyi Hajar Dewantara (Taman Siswa bagian wanita), dan
Nona Suyatin (Pemuda Indonesia bagian keputrian). Tujuan kongres Perempuan
Indonesia adalah untuk mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita
Indonesia serta mengadakan gabungan di antara per kumpulan wanita ter sebut.
Dalam rapat itu dibicarakan soal nasib wanita dalam perkawinan dan poligami.
Dalam kongres
itu pada umumnya disepakati untuk memajukan wanita Indonesia serta mengadakan
gabungan yang berhaluan kooperatif. Hasil kongres yang terpenting adalah
dibentuknya federasi perkumpulan wanita, bernama Perikatan Perempuan Indonesia
(PPI). Kongres Perempuan Indonesia II diadakan membicarakan tentang masalah
perburuhan perempuan, pemberantasan buta huruf, dan perkawinan. Dalam konggres
tersebut, pergerakan wanita Indonesia mendapat perhatian dari Komite Perempuan
Sedunia yang berkedudukan di Paris.
Kongres
Perempuan III berlangsung 1938, menyetujui suatu rencana undang-undang
perkawinan modern, membicarakan masalah politik, antara lain hak pilih dan
dipilih bagi kaum wanita untuk Badan Perwakilan. Selain itu, kongres memutuskan
pada 22 Desember menjadi Hari Ibu, dengan menyatakan bahwa peringatan Hari Ibu
tiap tahun diharapkan akan menambah kesadaran kaum wanita Indonesia akan
kewajibannya sebagai Ibu Bangsa.