Sekolah-sekolah tersebut baru didirikan pada tahun
1840-an dan diperuntukkan bagi warga pribumi dari golongan menengah atau anak
pegawai pemerintah. Untuk menyiapkan tenaga pengajar maka didirikan sekolah
guru (kweekschool) di Sala (1852) dan Bandung serta Probolinggo (1866).
Lulusan sekolah tersebut ditempatkan di sekolah-sekolah gubernemen.
Bahasa yang digunakan dalam persekolahan tersebut
adalah bahasa Sunda, Jawa, Madura atau Melayu, tergantung dari lokasi sekolah
tersebut. Demikian juga dengan buku pelajaran. Pada tahun 1851 telah
diterbitkan beberapa buku pelajaran mengenai pertanian, peternakan, kesehatan
dan bangunan. Buku-buku yang dikarang oleh Holle, Goedkoop, Winter, Wilken dan
lain-lain tersebut bersifat praktis dan dapat langsung diterapkan oleh pembaca.
Keberadaan sekolah tersebut mengakibatkan terjadinya
kemajuan yang cukup pesat dalam bidang pendidikan di Hindia Belanda yang
ditandai dengan meningkatnya jumlah siswa dan guru antara tahun 1873-1883.
Misalnya, pada tahun 1873 terdapat 5512 jumlah siswa di Jawa dan Madura dan
meningkat menjadi 16214 tahun 1883. Sedangkan untuk daerah lainnya terdapat
11276 jumlah siswa pada tahun 1873, meningkat menjadi 18694 sepuluh tahun
kemudian. Sedangkan untuk guru seluruh Indonesia meningkat dari 411 tahun 1873
menjadi 1241 sepuluh tahun kemudian.
Menurut Sartono Kartodirjo (1988), perkembangan
pendidikan abad ke-19 dipengaruhi oleh kecenderungan politik dan budaya sebagai
berikut:
1. pengajaran bersifat
netral dan tidak didasarkan atas agama tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh faham
humanisme dan liberalisme di Negeri Belanda.
2. bahasa pengantar
diserahkan kepada sekolah masing-masing sesuai kebutuhan. Misalnya jika murid
pribumi menghendaki bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar maka sekolah harus
memenuhinya.
3. sekolah-sekolah
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis pekerjaan kejuruan.
4. sekoleh pribumi
diarahkan agar lebih berakar pada kebudayan setempat.
Faktor-faktor tersebutlah yang menjadi penyebab
bahasa daerah dijadikan sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi kebutuhan
tenaga pangreh praja (birokrasi pemerintahan) maka didirikanlah hoofdenschool
di Bandung, Magelang, Probolinggo dan Tondano pada tahun 1878. Di sekolah tersebut
digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Pada tahun 1899 hoofdenschool berubah nama menjadi
OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah tersebut
diajarkan mengenai hukum, administrasi, hukum negara untuk menyiapkan calon pangreh
praja. Di luar sekolah di atas, pemerintah kolonial juga mendirikan sekolah
kelas satu atau eerste klasse untuk anak-anak priyayi dengan menggunaan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sedangkan untuk rakyat kebanyakan
didirikan tweede klasse atau sekolah kelas dua dengan mengguankan bahasa
daerah sebagai bahasa pengantar.
Di tingkat perguruan tinggi didirkan sekolah
pertanian di Bogor, sekolah dokter hewan di Surabaya, sekolah bidan di
Weltevreden dan sekolah mantri cacar di Jakarta yang kemudian berubah menjadi
Sekolah Dokter Jawa. Sekolah-sekolah tersebut diikuti oleh siswa dari kalangan
priyayi atau para pamong praja dari lingkungan keraton atau pendopo kabupaten.
Memasuki abad ke 20, sejarah imperialisme di
Indonesia ditandai dengan semakin banyaknya orang terpelajar yang memperoleh
pendidikan Belanda. Mereka bekerja di sektor pemerintahan sebagai pangreh praja
serta pegawai swasta. Kelompok terpelajar tersebut telah mampu meningkatkan
status sosialnya dari yang berkedudukan rendah menjadi lebih baik.
Dengan demikian, pendidikan mengakibatkan mereka
mengalami mobilitas sosial secara vertikal yang ditandai dengan status baru
serta kedudukan baru dalam berbagai profesi. Kelompok tersebut dinamakan
sebagai homines novi atau orang-orang baru yang lahir karena pendidikan. Mereka
merupakan kelompok pertama dalam masyarakat Indonesia yang pada awal abad ke-20
memiliki kesadaran nasional dan kemudian menjadi pelopor pergerakan nasional.
Kedudukan kaum perempuan pada abad ke-19 masih
rendah dibandingkan dengan kedudukan pria. Kondisi ini diperkuat oleh struktur
sosial masyarakat feodal di Jawa yang menempatkan perempuan berada di bawah
posisi laki-laki. Hukum adat yang menempatkan perempuan dalam posisi itu
dibiarkan oleh pemeriantah kolonial karena kondisi itu
tidak merugikan pemerintah kolonial. Salah satu adat
yang berkembang pada saat itu adalah poligami. Tradisi tersebut tidak hanya
berkembang pada masyarakat kelas bawah tetapi juga di kalangan golongan
bangsawan.
Fenomena ini dijelaskan Siti Soemandari (1986:16):
Banyak dari kalangan bangsawan Jawa yang awalnya menikah dengan perempuan
kebanyakan, pada saat akan mendapatkan kenaikan pangkat akan menikah dengan
perempuan dari derajat yang sama untuk mendapatkan anak dari golongan itu. Hal
ini berarti bahwa prestise mendapatkan tempat yang tinggi pada masa itu.
Gelar-gelar kebangsawanan yang didapatkan
menunjukkan beruratakarnya feodalisme dalam komunitas rakyat Jawa. Ini
membuktikan bahwa banyaknya permaduan dalam masyarakat bangsawan sudah menjadi
“tradisi feodal”, maka tidak dapat diharapkan dalam jangka waktu yang pendek
memperbaiki struktur itu.
Pada abad ke-19 tradisi pembelengguan perempuan
masih cukup kuat. Tradisi ini tidak beranjak dari tradisi lama dalam masyarakat
feodal. Karena tradisi tersebut, perempuan tidak memiliki kebebasan ke luar
rumah. Pingitan ini tentu saja akan memutuskan komunikasi antara kaum perempuan
dengan dunia di sekelilingnya. Gerak langkah perempuan untuk mengembangkan
dirinya menjadi sangat terbatas.
Mengenai pingitan, Kartini menjelaskan bahwa
penjaraku adalah rumah besar, dengan dikelilingi halaman yang luas tetapi
sekitar halaman itu terdapat pagar tembok yang tinggi. Menyangkut hubungan
dengan orang tua, menutur adat, gadis-gadis yang menjelang dewasa, tidak
diperbolehkan bergaul rapat dengan ayah ibunya. Mereka juga harus menghormati,
tunduk dan patuh kepada ayah-ibunya dan saudara-saudaranya yang lebih tua
(Tashadi, 1985).
Tradisi pingitan tersebut lebih menonjol pada anak
gadis dari golongan bangsawan atau priyayi. Sedangkan bagi anak-anak gadis
kebanyakan, mereka sedikit masih memiliki kebebasan. Namun demikian, keadaan
buruk tetap menimpa perempuan dari semua golongan seperti kawin paksa, kawin
anak-anak, poligami dan sebagainya. Perkawinan anak-anak, poligami sistem
perseliran dan perceraian merupakan kesengsaraan bagi kaum perempuan, karena
dampaknya adalah mengkondisikan mereka terjerumus ke arah prostitusi
(Wiriaatmadja, 1985).
Hal ini diperburuk lagi dengan terpuruknya ekonomi
pada saat itu yang memaksa kaum perempuan mengambil jalan pintas untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya khususnya mereka yang tinggal di dekat
perkebunan-perkebunan. Setelah dibukanya daerah perkebunan berdasar sistem
ekonomi kapitalis, kegiatan prostitusi di tempat itu makin marak. Prostitusi
sengaja diciptakan oleh pemilik perkebunan untuk menanggulangi keresahan sosial
di kalangan pekerja perkebunan.
Seperti kasus di Sumatera, pekerja-pekerja perempuan
yang didatangkan dari Jawa yang seharusnya bekerja di kebun, ternyata
dipekerjakan sebagai pemenuh nafsu biologis para rekan prianya, kuli perkebunan
(Slamet Suseno, 1991). Penderitaan yang berat yang dialami kaum perempuan di
perkebunan semakin diperkuat oleh diberlakukannya peraturan yang dijalankan
oleh pemerintah kolonial Belanda.
Peraturan tersebut adalah Poenale Sanctie,
yaitu suatu peraturan yang memberlakukan sanksi yang ketat terhadap kuli-kuli
pekerja perkebunan baik itu kaum pria maupun perempuan yang dianggap melanggar
jam kerja. Kedatangan para pria Eropa sebagai pemilik modal di daerah
perkebunan yang tidak diikuti istri-istri mereka berpengaruh terhadap kehidupan
perempuan pribumi di lingkungan perkebunan.
Di daerah tersebut muncul istilah nyai atau pekerja
perempuan yang menjadi gundik pria Eropa. Istilah nyai, atau muncik
sesungguhnya muncul beriringan dengan kedatangan Belanda. Pedagang Asia dan
Portugis sudah terbiasa memelihara nyai (Linda Crystanty, 1994). Perempuan yang
dijadikan Nyai ini terjadi pada keluarga petani miskin dan priyayi yang ingin mempertahankan
kedudukan mereka. Tak jarang dari priyayi tersebut menggundikkan anaknya demi
kedudukan mereka.
Melalui nyai, orang Eropa dapat lebih mudah
mempelajari kebudayaan pribumi. Mereka pun tidak jarang ikut serta dalam
kebiasaaan orang pribumi seperti cara makan, tidur, bergaul dan lain-lain.
Perkawinan campuran ini menghasilkan pula perpaduan antara budaya pribumi dan
Eropa. Istri mengikuti gaya hidup suami juga sebaliknya. Istri-istri mereka
dibiasakan dalam “budaya modern”, budaya modern Eropa seperti cara berdansa,
melayani rekan kerja, dan lain-lain.
Mereka dididik dengan keras oleh suaminya dan
merekapun menjadi perempuan modern pada zamannya. Namun demikian posisi mereka
tetap rawan, mereka harus siap dicampakkan apabila sudah tidak terpakai lagi
ketika suaminya harus kembali ke Eropa. Hal ini memicu mereka untuk berpikir
menanggulangi hidupnya, maka mulailah mereka ikut serta dalam perniagan yang
diselenggarakan oleh tuan tanahnya.
Dari sudut pandang rakyat, kehidupan nyai yang lebih
dominan di lingkungan tuannnya, menyebabkan mereka disejajarkan dengan bangsa
tuannya, kebencian rakyat terhadap bangsa kulit putih menyebabkan perempuan
pribumi yang menjadi nyai turut pula menanggung kebencian itu, karena dianggap
pengkhianat (Linda Cristianty, 1994). Sepeninggal tuannya, para nyai dihadapkan
pada pilihan sulit, apakah harus tinggal di lingkungan bekas suaminya atau
kembali kepada kampungnya yang sudah mencap jelek.
Ketika agama Nasrani berkembang, posisi para nyai
pun mulai mengikuti zaman. Hal ini disebabkan karena lembaga-lembaga agama
kolonial mengeluarkan aturan mengenai hak-hak nyai serta anak-anak yang mereka
lahirkan. Pada awal abad ke-20 hubungan nyai dan tuan hanya sebagai suka sama
suka dan menjadi bisnis tersendiri. Maka para nyai memberontak karena kedudukan
mereka menjadi tidak sejajar lagi.
Dalam perkembangan selanjutnya para nyai menjadi
semakin berani, harta dan kemewahan merupakan dambaan mereka yang utama dan
bahkan banyak dari mereka yang berani berhubungan dengan lelaki lain. Setelah
dibukanya sekolah oleh pemerintah Belanda dan adanya kesempatan bagi warga
pribumi untuk sekolah, timbulnya aspirasi-aspirasi untuk mengadakan inovasi dan
modernisasi menurut model Barat.
Akibatnya, terjadi perubahan cara pandang golongan terpelajar
ini terhadap tradisi mereka. Mereka melihat bahwa banyak tradisi setempat yang
menghambat kemajuan, sehingga timbullah kesadaran bahwa untuk mencapai kemajuan
itu diperlukan suatu liberalisasi dari belenggu adat istiadat. Kesadaran itu
diwujudkan dalam bentuk berbagai gerakan sosial dan budaya. Salah satu gerakan
tersebut adalah gerakan emansipasi oleh R.A Kartini.
Kartini yakni dengan pendidikan seorang perempuan
dapat meningkatkan kedudukannya dan dapat memberikan jalan keluar dari semua
penderitaan. Dalam bukunya A.K Pringgodigdo (1994) Kartini memiliki pandangan
bahwa keburukan-keburukan yang menimpa perempuan adalah akibat dari kekurangan
pengajaran. Pengajaran untuk perempuan sangat sedikit sekali, karena orang tua
tidak mengizinkan anak-anak gadis pergi ke sekolah berhubung dengan adat
istiadat.
Pandangan inilah yang memberikan inspirasi pada kaum
perempuan terpelajar untuk memperjuangkan hak-hak mereka serta meningkatkan
posisinya dalam kehidupan. Menurut Cahyo Budi Utomo (1995), secara biologis ada
dua jenis gerakan perempuan pada masa-masa awal abad XX, yakni organisasi lokal
kedaerahan dan organisasi keagamaan. Putri Mardiko merupakan organisasi
keputrian tertua yang merupakan bagian dari Budi Utomo.
Organisasi ini di bentuk pada tahun 1912. Tujuannya
adalah memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan pada gadis pribumi dalam
menuntut pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Untuk
memperbaiki hidup perempuan, Putri Merdiko memberikan beasiswa dan menerbitkan
majalah bulanan. Tokoh-tokohnya adalah R.A Sabarudin, R.A Sutinah Joyopranoto,
R.R Rukmini dan Sadikin Tondokusumo.
Setelah putri Merdiko lahirlah organisasi-organisasi
perempuan baik yang dibentuk sendiri oleh kaum perempuan maupun organisasi yang
beranggotakan kaum pria. Beberapa di antaranya adalah Pawiyatan Perempuan di
Magelang (1915), Pencintaan Ibu Kepada Anak Temurun (PIKAT), Purborini di Tegal
(1917), Aisyiyah di Yogyakarta (1918), dan Perempuan Susilo di Pemalang (1918).
Salah satu organisasi keagamaan yang memperhatikan masalah kedudukan perempuan
adalah organisasi Aisiyah.
Organisasi ini dibentuk atas prakarsa dari KH.Ahmad
Dahlan dan berdiri pada tahun 1917 setelah Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah. Tokoh perempuan dari pendiri Aisiyah ini adalah Ny. Ahmad Dahlan.
Pada awalnya Ny. Ahmad Dahlan memberikan pendidikan kepada buruh-buruh batik.
Hal ini dimaksudkan agar para buruh-buruh perempuan memperoleh wawasan dalam
rangka memperbaiki kehidupannya. Walaupun pendidikan yang diberikan adalah
menyangkut materi keagamaan serta kemampuan baca dan tulis.