Pembentukan kepribadian seseorang berlangsung dalam
suatu proses yang disebut dengan sosialisasi, yaitu suatu proses dengan mana
seseorang menghayati (mendarah-dagingkan-internalize) norma-norma kelompok di mana
ia hidup sehingga muncullah dirinya yang “unik”. (Horton, 1993). Faktor-faktor
yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian sebagai proses sosialisasi
mencakup:
1) warisan biologis,
2) lingkungan fisik,
3) kebudayaan,
4) pengalaman kelompok,
dan
5) pengalaman unik
(Horton, 1993).
a. Warisan Biologis
Semua manusia yang normal dan sehat mempunyai
persamaan biologis tertentu, seperti mempunyai dua tangan, panca indera, kelenjar
seks, dan otak yang rumit. Persamaan biologis ini membantu menjelaskan beberapa
persamaan dalam kepribadian dan perilaku semua orang. Setiap warisan biologis
seserang juga bersifat unik, yang berarti, bahwa tidak seorang pun (kecuali
anak kembar) yang mempunyai karakteristik fisik yang hampir sama.
Beberapa orang percaya bahwa kepribadian seseorang
tidak lebih dari sekedar penampilan warisan biologisnya. Karakteristik
kepribadian seperti ketekunan, ambisi, kejujuran, kriminalitas, kelainan
seksual, dan ciri yang lain dianggap timbul dari kecenderungan-kecenderungan
turunan Bahkan ada yang beranggapan, melalui tampilan fisik dapat diketahui
bagaimana kepribadian orang tersebut. Contoh dalam hal ini dapat dilihat dalam
buku-buku primbon Jawa, mulai dari fisik, rambut, kulit, bentuk muka, hingga
tahi lalat.
Dewasa ini tidak banyak lagi yang masih mempercayai
anggapan ini. Pandangan sekarang ini menyatakan bahwa kepribadian seseorang
dibentuk oleh pengalaman. Sebenarnya perbedaan individual dalam kemampuan,
prestasi, dan perilaku hampir semuanya berhubungan dengan lingkungan, dan bahwa
perbedaan individu dalam warisan biologis tidak begitu penting (Whimby, 1975).
Fenomena kontradiktif ini, antara "bawaan dan
asuhan", berlangsung cukup lama, dan masing-masing memiliki penganut yang
cukup besar. Suatu penelitian terhadap 2.500 anak kembar siswa SLTA merupakan
salah satu langkah untuk mencari derajat kebenaran dari masing-masing anggapan
dikemukakan oleh Nichols (1977), hasilnya menyimpulkan bahwa hampir setengah
variasi di antara orang-orang dalam spektrum ciri-ciri psikologis yang luas
adalah akibat dari perbedaan karakteristik genetis, sedangkan setengahnya lagi
adalah akibat lingkungan.
Penelitian lain dilaksanakan Medico-genetical
Institute di Moskow, yang memisahkan seribu pasangan anak kembar ketika masih
bayi dan menempatkan mereka dalam lingkungan yang terkendali untuk diamati
selama 2 tahun. Hasilnya mendukung dengan jelas suatu dasar keturunan dalam
beberapa ciri, termasuk perbedaan kecerdasan. (Hardin, 1959, dalam Horton,
1993).
Masalah warisan biologis/keturunan versus lingkungan
pada dasarnya bukan hanya masalah ilmiah, tetapi juga politis. Seperti gusarnya
golongan Marxis (penganut ajaran Marx) melihat bukti bahwa ada perbedaan dalam
kecakapan bawaan, kalangan konservatif (kolot, konven-sional, tradisional) yang
dengan senang hati menggunakan bukti kecakapan warisan yang berbeda untuk
memperoleh hak yang berbeda.
Perbedaan individual dalam warisan biologis adalah
nyata, terlepas dari apakah kenyataannya demikian menyebabkan seseorang bahagia
atau tidak. Untuk beberapa ciri, warisan biologis lebih penting daripada yang
lain. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa IQ anak angkat lebih
mirip dengan IQ orang tua kandungnya dari pada dengan orang tua angkatnya
(Horton, 1993).
Namun, meskipun perbedaan individual dalam IQ
tampaknya lebih banyak ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan,
banyak perbedaan yang lainnya ditentukan oleh lingkungan. Suatu studi baru-baru
ini menemukan bukti bahwa faktor keturunan berpengaruh kuat terhadap
keramah-tamahan, perilaku kompulsif (memaksa) dan kemudahan dalam pergaulan
sosial, tetapi faktor keturunan tidak begitu penting dalam kepemimpinan,
pengendalian dorongan impulsif (cepat bertindak), sikap, dan minat (Horn, 1976,
dalam Horton, 1993).
Kesimpulannya, bahwa warisan biologis penting dalam
beberapa ciri kepribadian dan kurang penting dalam hal-hal lain. Tidak ada
kasus yang dapat mengukur pengaruh keturunan dan lingkungan dengan tepat, tetapi
banyak ilmuwan sependapat bahwa apakah potensi warisan seseorang berkembang
sepenuhnya, sangat dipengaruhl oleh pengalaman sosial orang yang bersangkutan.
Beberapa orang berpandangan bahwa orang gemuk adalah
periang, bahwa orang dengan kening yang lebar cerdas, bahwa orang berambut
merah berwatak mudah meledak/marah, bahwa orang dengan rahang lebar mempunyai
kepribadian yang kuat. Banyak keyakinan umum seperti itu telah terbukti tidak
benar ketika diuji secara empiris, meskipun kadang-kadang ditemukan beberapa
hubungan yang absah.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Bar
(1977) dengan membandingkan kelompok sampel berambut merah dengan suatu
kelompok kendali yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai warna rambut dan
melaporkan bahwa watak si rambut merah umumnya memang lebih sering
meledak-ledak dan agresif. la mengemukakan adanya hubungan genetis antara
karakteristik fisik (rambut merah) dengan karakteristik kepribadian (mudah
meledak, agresif).
Penjelasan lain menyatakan bahwa setiap karakteristik
fisik didefinisikan secara sosial dan kultural dalam setiap masyarakat (Horton,
1993). Misalkan, gadis gemuk dikagumi di Dahomey. Suatu karakteristik fisik
dapat menjadikan seseorang cantik dalam suatu masyarakat dan menjadi "anak
bebek buruk rupa" dalam masyarakat lain. Oleh karena itu, karakteristik
fisik tertentu menjadi suatu faktor dalam perkembangan kepribadian sesuai
dengan bagaimana ia didefinisikan dan diperlakukan dalam masyarakat dan oleh
kelompok acuan seseorang.
Kalau orang berambut merah diharapkan mudah meledak
dan dibenarkan kalau marah, tidak mengherankan bila mereka menjadi pemarah.
Sebagaimana dinyatakan diatas, orang menanggapi harapan perilaku dari orang
lain dan cenderung menjadi berperilaku seperti yang diharapkan oleh orang lain
tersebut. Sebagai kesimpulan, karakteristik fisik jarang menghasilkan sifat-sifat
perilaku tertentu, harapan sosial dan kulturallah yang menyebabkannya demikian.
b. Lingkungan Fisik
Sorokin (1928) menyimpulkan teori beratus-ratus
penulis dari Conficius, Aristoteles, dan Hipocrates sampai kepada ahli geografi
Ellsworth Huntington, yang menekankan bahwa perbedaan perilaku kelompok
terutama disebabkan oleh perbedaan iklim, topografi, dan sumber alam. Teori
tersebut sesuai benar dengan kerangka etnosentris (pandangan yang menyatakan
anggota badan kita lebih baik dibandingkan dengan lainnya, karena geografi
memberikan keterangan yang cukup baik dan jelas objektif terhadap kebajikan
nasional dan sifatsifat buruk orang lain.
Pada umumnya diakui bahwa lingkungan fisik
mempengaruhi kepribadian. Bangsa Athabascans memiliki kepribadian yang dominan
yang menyebabkan mereka dapat bertahan hidup dalam iklim yang lebih dingin
daripada daerah Arctic (Boyer, 1974). Orang pedalaman Australia harus berjuang
dengan gigih untuk tetap hidup, padahal bangsa Samoa hanya memerlukan sedikit
waktu setiap harinya untuk mendapatkan lebih banyak makanan daripada yang bisa
mereka makan. Malah sekarang beberapa daerah hanya dapat menolong sebagian
kecil penduduk yang tersebar sangat jarang, dan kepadatan penduduk mempengaruhi
kepribadian.
Suku Ik dari Uganda sedang mengalami kelaparan
secara perlahan, karena hilangnya tanah tempat perburuan tradisional, dan
menurut Turnbull (1973) mereka menjadi sekelompok orang yang paling tamak,
paling rakus di dunia; sama sekali tidak memiliki keramahan, tidak suka
menolong atau tidak mempunyai rasa kasihan, malah merebut makanan dari mulut
anak mereka dalam perjuangan mempertahankan hidup.
Suku Quolla dari Peru digambarkan oleh Trotter (1973)
sebagai sekelompok orang yang paling keras di dunia, dan ia menghubungkan hal
ini dengan hipoglikemia (menurunnya kandungan glukosa darah) yang timbul karena
kekurangan makanan. Namun, dari lima faktor tersebut di atas, lingkungan fisik
merupakan faktor yang paling tidak penting, jauh kurang pentingnya dari faktor
kebudayaan, pengalaman kelompok, atau pengalaman unik.
c. Kebudayaan
Beberapa pengalaman umum bagi seluruh kebudayaan,
dimana bayi dipelihara atau diberi makan oleh orang yang lebih tua, hidup dalam
kelompok, belajar berkomunikasi melalui bahasa, mengalami hukuman dan menerima
imbalan/pujian dan semacamnya, serta mengalami pengalaman lain yang umum
dialami oleh jenis manusia. Setiap masyarakat sebenarnya memberikan pengalaman
tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya.
Dari pengalaman sosial yang sebenarnya yang umum
bagi seluruh anggota masyarakat tertentu, timbullah konfigurasi kepribadian
yang khas dari anggota masyarakat tersebut. DuBois (1944) menyebutnya sebagai
"modal personality" (diambil dari istilah statistis
"mode" yang mengacu pada suatu nilai yang paling sering timbul dalam
berbagai seri). Beberapa contoh dari pengaruh unsur kebudayaan terhadap
kepribadian, sebagaimana kasus suku Dobu di Melanisia (Horton, 1993).
Anak suku Dobu yang lahir ke dunia hanya pamannya
yang mungkin menyayanginya, terhadap siapa ia akan menjadi ahli warisnya,
Ayahnya yang lebih tertarik kepada anak-anak saudara perempuannya biasanya
membencinya, karena si ayah harus menunggu sampai anak tersebut disapih untuk
dapat melakukan hubungan seksual dengan ibunya. Sering juga ia tidak diharapkan
oleh ibunya dan tidak jarang terjadi pengguguran.
Hidup suku Dobu diatur oleh ilmu sihir, penyebab
kejadian bukan berasal dari alam; semua gejala dikendalikan oleh ilmu sihir
yang telah dikenakan terhadap seseorang dan menyebabkan balas dendam dari
keluarganya. Bahkan mimpipun diinterpretasikan sebagai sihir. Malah nafsu
seksual tidak akan muncul apabila tidak menanggapi penyihiran cinta orang lain,
yang membimbingnya menuju kepadanya, sementara daya sihir cinta seseorang
menunjukkan keberhasilannya.
Setiap orang Dobu selalu merasa takut akan diracun.
Makanan dijaga dengan waspada pada waktu dimasak dan hanya dengan beberapa
orang tertentulah orang Dobu bersedia makan bersama. Setiap saat setiap desa
melindungi diri dari semua pasangan yang berkunjung dari desa lain, dan semua
tamu ini tidak dapat dipercayai oleh yang punya rumah dan para tamu sendiri
tidak saling percaya. Sungguh tidak seorang pun dapat dipercaya penuh; para
suami cemas terhadap sihir isterinya dan takut terhadap mertua.
Sepintas lalu, hubungan sosial di Dobu adalah cerah
dan sopan meskipun keras dan tanpa humor. Pertentangan hanyalah sedikit, karena
menghina atau bermusuhan berbahaya. Namun, teman-teman juga berbahaya.
Persahabatan mungkin merupakan awal pengracunan atau pengumpulan bahan (rambut,
kuku tangan) yang berguna untuk menyihir.
Kepribadian yang berkembang dalam kebudayaan semacam
itu? setiap orang Dobu bersifat bermusuhan, curiga, tidak dapat dipercaya,
cemburu, penuh rahasia, dan tidak jujur.
Sifat-sifat ini merupakan tanggapan yang rasional,
karena orang Dobu hidup dalam dunia yang penuh kejahatan, dikelilingi musuh dan
tukang sihir. Pada akhirnya mereka yakin akan dihancurkan. Walaupun mereka
melindungi diri dengan sihir mereka, tetapi mereka tidak pemah merasakan
perlindungan yang nyaman. Mimpi buruk mungkin menyebabkan mereka terkapar di
tempat tidur berhari-hari. dan ini adalah suatu hal yang nyata, benar bukan
hayalan/irasional.
Contoh kasus lain adalah yang terjadi pada suku Zuni
di Meksiko, yang diidentifikasikan sebagai bangsa yang tenang dalam lingkungan
yang sehat secara emosional. Kelahiran anak disambut dengan hangat,
diperlakukan dengan kemesraan yang lembut dan banyak mendapat kasih sayang.
Tanggung jawab dalam mendidik anak sungguh besar dan menyebar; seorang anak
akan ditolong atau diperhatikan oleh setiap orang dewasa yang ada. Menghadapi
benteng orang dewasa yang terpadu, anak-anak jarang berperilaku salah; dan
sekalipun mungkin dikata-katai, tetapi jarang dihukum.
Rasa malu adalah alat kendali yang paling utama yang
sangat sering ditimbulkan di depan orang lain. Berkelahi dan perilaku agresif
sangat tidak disetujui dan orang Zuni dididik untuk mengendalikan nafsu mereka
pada usia muda. Pertengkaran terbuka hampir tidak tampak. Nilai-nilai orang
Zuni menekankan hormat, kerja sama dan ketiadaan persaingan, agresivitas atau
keserakahan. Ketidak wajaran dalam segala bentuk ditolak, dan alkohol umumnya
ditolak karena mendorong perilaku yang tidak wajar.
Harta dinilai untuk penggunaan langsung, bukan untuk
prestise atau simbol kekuasaan. Walaupun orang Zuni tidak ambisius, mereka
memperoleh kekuasaan melalui pengalaman dalam upacara, nyanyian, dan fetis
agama. Seorang yang "miskin" bukanlah orang yang tidak memiliki
harta, tetapi orang yang tidak memiliki sumber dan hubungan yang bersifat
upacara (seremonial). Kehidupan upacara memenuhi setiap segi kehidupan
orang Zuni.
Kerja sama, perilaku yang wajar dan minimnya
individualisme meresap dalam perilaku orang Zuni. Milik pribadi tidaklah
penting dan siap untuk dipinjamkan pada orang lain. Anggota rumah tangga yang
bersifat matrilineal bekerja bersama sebagai suatu kelompok dan hasil tanaman
disimpan dalam gudang umum. Setiap orang bekerja untuk kepentingan kelompok,
bukan untuk kepentingan pribadi.
Peran pemimpin jarang dicari tetapi harus dipaksakan
pada seseorang. Isyu dan perselisihan diselesaikan secara wajar bukan dengan
permohonan pada penguasa atau dengan mempertunjukkan kekuasaan atau dengan
perdebatan yang berkepanjangan, tetapi dengan diskusi yang lama dan sabar.
Keputusan mayoritas sederhana tidak menyelesaikan persoalan secara
menyenangkan, kesepakatan (konsensus) perlu dan kesepakatan bulat diharapkan.
Bagaimana perkembangan kepribadian orang Zuni?
sangat bertentangan dengan kepribadian normal di antara orang Dobu. Bila bangsa
Dobu bersifat curiga dan tidak dapat dipercaya, bangsa Zuni mempunyai
kepercayaan diri dan dapat dipercaya; bila bangsa Dobu cemas dan merasa tidak
aman, bangsa Zuni merasa aman dan tentram. Bangsa Zuni umumnya memiliki watak
yang suka mengalah dan pemurah, sopan dan suka bekerja sama.
Bangsa Zuni adalah orang-orang konformis yang tanpa
pikir, karena menjadi seseorang yang nyata-nyata berbeda dari orang lain dapat
menyebabkan seseorang atau kelompok itu sangat cemas. Hal ini membantu
mengendalikan perilaku tanpa perasaan berdosa dan bersalah yang banyak
ditemukan dalam banyak masyarakat. Bertolak dari contoh di atas, dapat
diketahui ada beberapa segi dari kebudayaan yang mempengaruhi proses
perkembangan kepribadian, yaitu norma-norma kebudayaan masyarakat dan proses
sosialisasi diri (Horton, 1993).
Norma-norma kebudayaan yang ada dalam lingkungan
masyarakat mengikat manusia sejak saat kelahirannya. Seorang anak diperlakukan
dalam cara-cara yang membentuk kepribadian. Setiap kebudayaan menyediakan
seperangkat pengaruh umum, yang sangat berbeda dari masyarakat ke masyarakat.
Linton (1985) mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian
pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan masyarakat.
Pengaruh-pengaruh ini berbeda dari satu kebudayaan
ke kebudayaan lain, tetapi semuanya merupakan denominator pengalaman bagi
setiap orang yang termasuk ke dalam masyarakat tersebut. Penelitian dalam soal
perkembangan kepribadian dalam kebudayaan juga telah gagal dalam membuktikan teori
Freud tentang hasil cara mengasuh anak yang khusus (Eggan, 1943, Dai, 1957
dalam Horton, 1993).
Dimana hasilnya menunjukkan bahwa suasana lingkungan
keseluruhan merupakan hal penting dalam perkembangan kepribadian, bukan cara
tertentu yang spesifik. Apakah seorang anak diberi susu ASI atau susu botol,
tidaklah penting; yang penting adalah apakah cara pemberian susu itu dilakukan
dalam kondisi yang merupakan suasana mesra dan penuh kasih sayang dalarn dunia
yang hangat dan aman; atau kejadian biasa yang terburu-buru dalam situasi yang
tanpa perasaan, kurang tanggap dan tidak akrab.
Seorang bayi lahir ke dunia ini sebagai suatu
organisme kecil yang egois yang penuh dengan segala macam kebutuhan fisik. Kemudian
ia menjadi seorang manusia dengan seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan
ketidaksukaan, tujuan serta maksud, pola reaksi, dan konsep yang mendalam serta
konsisten tentang dirinya. Setiap orang memperoleh semua itu melalui suatu
proses yang disebut sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses dengan mana
seseorang menghayati (mendarah dagingkan-internalize) norma-nonna kelompok di
mana ia hidup sehingga timbullah "diri" yang unik.
d. Pengalaman Kelompok
Pada awal kehidupan manusia tidak ditemukan apa yang
disebut diri. Terdapat organisme fisik, tetapi tidak ada rasa pribadi. Kemudian
bayi mencoba merasakan batas-batas tubuhnya, mereka mulai mengenali orang.
Kemudian beranjak dari nama yang membedakan status menjadi nama yang
mengidentifikasi individu, termasuk dirinya. Kemudian mereka menggunakan kata
"saya" yang merupakan suatu tanda yang jelas atas kesadaran diri yang
pasti. Suatu tanda bahwa anak tersebut telah semakin sadar sebagai manusia yang
berbeda dari yang lainnya.
(Horton, 1993). Dengan kematangan fisik serta
akumulasi pengalaman-pengalaman sosialnya anak itu membentuk suatu gambaran
tentang dirinya. Pembentukan gambaran diri seseorang mungkin merupakan proses
tunggal yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian. Pengalaman sosial
merupakan suatu hal penting untuk pertumbuhan manusia. Perkembangan kepribadian
bukanlah hanya sekedar pembukaan otomatis potensi bawaan. Tanpa pengalaman
kelompok, kepribadian manusia tidak berkembang.
Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia membutuhkan
pengalaman kelompok yang intim bila mereka ingin berkembang sebagai makluk
dewasa yang normal. Keberadaan kelompok dalam masyarakat merupakan suatu hal
penting dalam perkembangan kepribadian seseorang, karena kelompok-kelompok ini
merupakan model untuk gagasan atau norma-norma perilaku seseorang. Kelompok
semacam itu disebut kelompok acuan (reference group).
Mula-mula kelompok keluarga adalah kelompok yang
terpenting, karena kelompok ini merupakan kelompok satu-satunya yang dimiliki
bayi selama masa-masa yang paling peka. Semua yang berwenang setuju bahwa
ciri-ciri kepribadian dasar dari individu dibentuk pada tahun-tahun pertama ini
dalam lingkungan keluarga. Kemudian, kelompok sebaya (peer group), yakni
kelompok lain yang sama usia dan statusnya, menjadi penting sebagai suatu
kelompok referens.
Kegagalan seorang anak untuk mendapatkan pengakuan
sosial dalam kelompok sebaya sering diikuti oleh pola penolakan sosial dan
kegagalan sosial seumur hidup. Apabila seorang belum memiliki ukuran yang wajar
tentang penerimaan kelompok sebaya adalah sulit, kalau tidak dapat dikatakan
mustahil, bagi seorang untuk mengembangkan gambaran diri yang dewasa sebagai
seorang yang berharga dan kompeten.
Kelompok acuan ini dalam perkembangannya mengalami
pergantian seiring dengan usia dan aktifitas individu yang bersangkutan. Hanya
perlunya disadari bahwa dari ratusan kemungkinan kelompok referens yang menjadi
penting bagi setiap orang dan dari evaluasi kelompok ini gambaran diri
seseorang secara terus-menerus dibentuk dan diperbaharui. Oleh karena itu,
tidaklah salah kalau dikatakan bahwa setiap individu bisa menjadi acuan atau
referens bagi individu lainnya dalam pembentukan kepribadian yang bersangkutan,
demikian juga sebaliknya.
Masyarakat yang kompleks/majemuk memiliki banyak
kelompok dan kebudayaan khusus dengan standar yang berbeda dan kadangkala
bertentangan. Seseorang dihadapkan pada model-model perilaku yang pada suatu
saat dipuji sedang pada saat lain dicela atau disetujui oleh beberapa kelompok
dan dikutuk oleh kelompok lainnya. Dengan demikian seorang anak akan belajar
bahwa ia harus "tangguh" dan mampu untuk "menegakkan
haknya", namun pada saat yang sama ia pun harus dapat berlaku tertib,
penuh pertimbangan dan rasa hormat. Dalam suatu masyarakat di mana setiap orang
bergerak dalam sejumlah kelompok dengan standar dan nilai yang berbeda, setiap
orang harus mampu menentukan cara untuk mengatasi tantangan-tantangan yang
serba bertentangan.
e. Pengalaman yang Unik
Mengapa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang sama sedemikian berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun
mereka pernah mendapatkan pengalaman yang sama? Masalahnya adalah karena mereka
tidak mendapatkan pengalaman yang sama; mereka pernah mendapatkan pengalaman
yang serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam beberapa hal lainnya. Setiap
anak memasuki suatu unit/kesatuan keluarga yang berbeda.
Anak yang dilahirkan pertama, yang merupakan anak
satu-satunya sampai kelahiran anak yang kedua, kemudian akan mempunyai adik lak-ilaki
atau perempuan dengan siapa ia dapat bertengkar. Orang tua berubah dan tidak
memperlakukan sama semua anak-nya. Anak-anak memasuki kelompok sebaya yang
bebeda, mungkin mempunyai guru yang berbeda dan berhasil melampaui peristiwa
yang berbeda pula.
Sepasang anak kembar mempunyai warisan (heredity)
yang identik dan (kecuali bila dipisahkan) lebih cenderung memperoleh
pengalaman yang sama. Mereka berada dalam suatu keluarga bersama-sama,
seringkali mempunyai kelompok sebaya yang sama, dan diperlakukan kurang lebih
sama oleh orang lain; akan tetapi bahkan anak kembar pun tidak mengalami
bersama seluruh peristiwa dan pengalaman.
Karena pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak
ada persamaannya. Pengalaman sendiripun tidak ada yang secara sempurna dapat
menyamainya. Suatu inventarisasi dari pengalaman sehari-hari berbagai anak-anak
dalam suatu keluarga yang sama akan mengungkapkan banyaknya perbedaan. Maka
setiap anak (terkecuali anak kembar yang identik) mempunyai warisan biologis
yang unik, yang benar-benar tidak seorang pun dapat menyamainya, dan demikian
pula halnya suatu rangkaian pengalaman hidup yang unik tidak dapat benar-benar
disamai oleh pengalaman siapa pun.
Pengalaman tidak lah sekedar bertambah, akan tetapi
menyatu. Kepribadian tidak lah dibangun dengan menyusun suatu peristiwa di atas
peristiwa lainnya sebagaimana membangun tembok bata. meniru satu sama lainnya,
akan tetapi mereka juga berusaha untuk memiliki identitas sendiri. Anak-anak
yang lebih muda seringkali menolak kegiatan yang telah dikerjakan dengan baik
oleh kakak-kakaknya, dan mencari pengakuan melalui kegiatan-kegiatan lainnya.