Faktor-faktor Penyebab Hancurnya VOC di Hindia Belanda

Beberapa faktor yang menjadi penyebab hancurnya VOC dalam menjalankan tugasnya di Hindia Belanda adalah sebagai berikut:

1.   merajalelanya korupsi pada para pegawai VOC;
2.   kuatnya persaingan di antara kongsi-kongsi perdagangan lain;
3.   terlalu banyak biaya untuk menumpas berbagai pemberontakan rakyat;
4.   meningkatnya kebutuhan untuk gaji pegawai VOC.
5.   kebijakan pengelolaan keuangan yang ceroboh dilakukan oleh pemerintah Hindai Belanda, diantaranya dalam membayar para pemegang saham rata-rata 18% setahun.

Menurut Ricklefs (1991), kemunduran VOC disebabkan oleh ketidakberdayagunaan, ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme yang tersebar luas di kalangan anggota VOC. Walaupun VOC merupakan organisasi milik Belanda, namun sebagian besar anggotanya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang yang bernasib jelek dari seluruh Eropalah yang mengucapkan sumpah setia pada VOC, dan menjadi anggota VOC.

Ketidak berdayagunaan, ketidakjujuran, nepotisme, dan alkoholisme tersebar luas di kalangan anggota VOC. Hal itu pula yang melatarbelakangi sikap operasional VOC terhadap bangsa Indonesia yang cenderung kejam, sewenang-wenang, dan tanpa kompromi. Pada 1799, organisasi yang sudah banyak memberikan keuntungan besar bagi Negeri Belanda serta menimbulkan banyak korban di pihak bangsa Indonesia ini akhirnya dibubarkan.  

Bubarnya VOC tidak berarti bebasnya Hindia Belanda dari kekuasan negara-negara Eropa dan menjadi daerah merdeka. Hal ini karena wilayah-wilayah Hindia Belanda yang semula dibawa kekuasaan VOC, diserahkan kepada pemerintah Belanda secara langsung. Jadi sejak saat itu Hindia Belanda (Indonesia) menjadi daerah jajahan pemerintah Belanda secara langsung, tidak lagi secara tidak langsung melalui lembaga ekonomi yang bernama VOC.

Dalam menjalankan kekuasaannya di daerah jajahan pemerintah Belanda menempatkan seorang Gubernur Jenderal sebagai pemegang kekuasaan penuh atas suatu wilayah jajahan, termasuk Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Johannes Siberg adalah penguasa wilayah Hindia Belanda pertama setelah bubarnya VOC, yang menjabat mulai tahun 1801-1804. Siberg kemudian digantikan oleh Wiesel (1804-1808).

Kedua gubernur jenderal ini tidak bisa melaksanakan pemerintahannya sebagaimana mestinya karena pada saat itu di negeri Belanda terjadi pergolakan akibat dari revolusi Perancis dan perluasaan daerah kekuasaan dibawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte. Pada saat itu negeri Belanda dikuasai oleh Perancis.

Gubernur Jenderal yang menjabat di Hindia Belanda antara 1801-1808, dalam menjalankan kekuasaannya tidak jauh berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh VOC sebelum dibubarkan, tetap menggunakan cara-cara yang sewenang-wenang, penghisapan, adu-domba, feodalisme, kerjapaksa, dan sebagainya sehingga tetap saja menyengsarakan dan memberi penderitaan rakyat hindia belanda.

Jatuhnya Kerajaan Belanda ke tangan Perancis yang disusul dengan diangkatnya Raja Louis Napoleon Bonaparte (adik kaisar Napoleon) pada 1806 sebagai raja Belanda maka dengan sendirinya Hindia Belanda secara tidak langsung juga berada di bawah Imperium Perancis. Pemerintah Kerajaan Belanda yang sudah menjadi bagian dari imperium Perancis harus berhadapan dengan Inggris, musuh Napoleon Bonaparte yang belum dapat ditaklukkan.

Persaingan antara Perancis dengan Inggris bukan hanya terjadi di daratan Eropa melainkan juga di daerah koloni di Asia, Afrika dan Amerika, termasuk di Hindia Belanda. Pada tahun 1808 Belanda mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk mempertahankan Pulau Jawa dari musuh Perancis di Eropa yaitu Inggris.

Selain itu juga, Daendels mendapatkan misi untuk tetap menjadikan Hindia Belanda sebagai sumber pendapatan negeri Belanda, yang pada saat itu sedang mengalami krisis keuangan karena perang melawan Perancis. Herman Willem Daendels (1808-1811) diangkat menjadi gubernur Jenderal di Hindia Belanda untuk mempertahankan Pulau Jawa dari musuh Perancis yaitu Inggris.

Dalam menghadapi Inggris, Daendels membangun jaringan jalan raya di Pulau Jawa bagian utara, mulai dari Anyer sampai Panarukan. Dibawah tindakan keras Daendels, Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan berhasil dibangun dengan cara memaksa penguasa-penguasa di Jawa untuk mengerahkan rakyat bekerja pada proyek raksasa tersebut.

Bangsa Indonesia harus menghadapi penderitaaan yang sangat parah dibawah pemerintahan Daendels. Kerja paksa yang sudah dijalankan oleh VOC diteruskan oleh Daendels. Untuk membiayai proyek tersebut, rakyat dibebani dengan pajak-pajak tertentu yang cukup besar. Dengan demikian, sistem wajib penyerahan model VOC diteruskan oleh Daendels. Tanah-tanah rakyat yang produktif dijual kepada orang-orang Belanda, Cina, dan Arab.

Dari cara itu Daendels memperoleh uang untuk mempertahankan politiknya di Jawa serta membangun pasukan yang jumlahnya mencapai 18.000 orang (sebagian besar pribumi), membangun benteng pertahanan serta jaringan logistik lainnya. Kehidupan keraton di Jawa juga terancam akibat ulah Daendels. Tindakannya yang keras terhadap kehidupan keraton serta membatasi kekuasaan para sultan dan bupati di Jawa telah menimbulkan keresahan di kalangan mereka.

Sultan Banten yang mengadakan perlawanan karena tidak sanggup menyelesaikan pembangunan pelabuhan, akhirnya dibuang ke Ambon. Sementara Kesultanan Banten sendiri akhirnya dihapuskan oleh Daendels. Demikian halnya dengan intervensinya terhadap kehidupan di Yogyakarta yang menimbulkan keresahan di kalangan keraton. Aturan tata krama keraton dilanggar.

Perlawanan Sultan Yogyakarta dilawan Daendels dengan cara merampas harta keraton dan menghancurkannya. Kekuasaan Sultan dipersempit, adapun Sultan Hamengkubuwono I yang dengan gigih menentang Daendels dipecat dari kedudukannya.

Dengan melakukan intervensi yang dalam, beberapa perubahan yang mendasar juga dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan penjaja han, ditambah lagi dengan kekejamannya, Daendels mengharapkan semua kekuatan sosial politik di Jawa tunduk pada kebijaksanaannya dan Jawa tetap dapat dipertahankan dari kemungkinan serangan Inggris, serta tetap memberi sumbangan pendapatan kepada negeri Belanda.

Walaupun demikian, ternyata pasukan Inggris yang sudah memiliki pangkalan dagang dan militer di wilayah Hindia Belanda dan India dengan mudah mampu mengalahkan pasukan Perancis dan Belanda di wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 8 Agustus 1811, 60 buah kapal Inggris melakukan serangan ke Batavia. Pada tanggal 26 Agustus 1811, akhirnya Batavia  dan daerah-daerah sekitarnya jatuh ke tangan Inggris, dan dalam waktu singkat seluruh Jawa dapat direbut.