Sejarah / Kronologis Perang Aceh (1873–1904)

Perang Aceh berkobar dilatarbelakangi oleh berbagai hal:

a.   Dibukanya Terusan Suez menjadikan Aceh semakin ramai dalam perdagangan saat itu. Hal ini sangat dimungkinkan, karena Aceh berada di tepi Selat Malaka. Sehingga Belanda berambisi ingin menguasai Aceh.
b.   Tanggal 2 November 1871, Inggris dan Belanda mengadakan kesepakatan bersama dalam Traktat Sumatra. Isinya Belanda akan memperoleh kebebasan memperluas kekuasaannya di Aceh, sementara Inggris dapat berdagang di Siak.
c.   Menanggapi Traktat Sumatra itu, Aceh mempersiapkan diri untuk perang. Aceh minta bantuan Turki, Italia, dan Amerika Serikat, tetapi mengalami kegagalan. Hal ini selalu diawasi oleh Belanda.

Kegagalan ini berarti Aceh harus siap berperang sendirian dalam mengatasi intervensi Belanda. Rakyat berjuang di bawah para tokoh Aceh. Diantaranya Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim, Teuku Umar, dan Teuku Imam Leungbata.

Kronologis perang Aceh, adalah sebagai berikut:

Tanggal 14 April 1873, Belanda melancarkan serangan pertama yang dipimpin Mayor Jenderal Kohler. Dalam pertempuran di Masjid Raya Baiturahman (pusat pertahanan Aceh), Kohler tewas. Penggantinya Mayor Jenderal van Swieten, berhasil merebut Masjid Raya Baiturahman. Pasukan Aceh mundur dan memindahkan pusat kekuasaannya di istana Sultan Aceh di Kutaraja, bahkan dapat menahan serangan Belanda. Belanda dapat dipukul mundur, Masjid Raya Baiturahman dapat direbut kembali. Seorang ulama Aceh yang sangat gigih melawan Belanda adalah Teuku Cik Di Tiro. Mayor Jenderal van Swieten diganti Jenderal Pel. Dalam pertempuran di Tonga mereka berdua tewas.

Tewasnya dua perwira tinggi Belanda merupakan pukulan berat bagi Belanda. Siasatnya diganti dengan siasat “garis pemusatan” atau “konsentrasi stelsel”. Dengan siasat ini, Belanda tidak mengadakan serangan ke luar kota. Tetapi pasukan-pasukan Belanda dipusatkan di benteng-benteng sekitar kota, terutama Kotaraja. Tugas pasukan Belanda hanya mengadakan patroli dari benteng satu ke benteng lain di sekitar kota. Menghadapi siasat tersebut, para gerilyawan Aceh mengadakan penyerbuan ke benteng-benteng dan tangsi-tangsi tentara Belanda. Menyergap para patroli polisi, merusak jalan dan jembatan yang dapat digunakan Belanda. Para pemimpin pejuang Aceh dalam pertempuran ini di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien (isteri Teuku Umar), Panglima Polim.

Menghadapi serangan secara besar-besaran dari gerilyawan Aceh membuat Belanda kewalahan. Hal ini karena kekuatan kedua pihak seakan sama kuat. Perang berlangsung cukup lama, hampir 10 tahun. Dalam kurun waktu lama dan perang ini telah berjalan 10 tahun, Aceh belum dapat ditaklukkan. Untuk itulah para pembesar Belanda mulai memikirkan siasat baru. Siasat diganti dengan “adu domba” atas usul dari gubernur militer di Aceh, Deyckerhoff. Usul itu diterima oleh Pemerintah Belanda, karena tidak banyak memakan biaya. Pelaksanaannya ialah para pemimpin Belanda mulai membujuk orang-orang Aceh agar bersedia bekerja sama dengan Belanda. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Teuku Umar untuk bekerja sama dengan Belanda.

Pada tahun 1893, Teuku Umar dan pasukannya menyerah kepada Belanda. Teuku Umar diberi gelar oleh Pemerintah Belanda Teuku Johan Pahlawan, serta diberi persenjataan lengkap untuk memimpin pasukannya. Pada tahun 1896, Teuku Umar beserta pasukannya berbalik membela pejuang Aceh. Ia kemudian menyerang pusat-pusat pertahanan Aceh.