Jean Piaget, seorang ahli biologi yang memperoleh
nama sebagai psikolog anak, karena mempelajari perkembangan inteligensi. la
menghabiskan ribuan jam mengamati anak-anak yang sedang bermain dan menanyakan
mereka tentang perilaku dan perasaannya. la tidak mengembangkan teori
sosialisasi yang komprehensif, tetapi memusatkan perhatian pada bagaimana
anak-anak belajar berbicara, berfikir, bernalar dan akhirnya membentuk
pertimbangani moral.
Piaget yakin bahwa anak-anak berfikir dengan cara
yang berbeda dari orang dewasa dan bahwa manusia direncanakan secara biologis
untuk bergerak maju menuju pemikiran yang rasional dan logis melalui
serangkaian tahap-tahap perkembangan yang dapat diduga. Tahap
"perkembangan" adalah bahwa belajar dari suatu tahap adalah perlu
untuk melangkah ke tahap berikutnya.
Sama seperti anak kecil harus belajar berjalan
sebelum dapat belajar berlari, ia harus belajar patuh pada peraturan-peraturan
eksternal sebelum ia dapat mengembangkan pengendalian diri herdasarkan
nilai-nilai moral. Anak kecil itu dapat mempelajari aturan-aturan yang nyata
(“cuci tangan sebelum makan", "makan dengan tangan kanan")
tetapi tidak dapat menangkap makna di belakangnya.
Perkembangan belajar yang dikembangkan oleh Piaget
adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama
perkembangan moral disebut dengan heteronomous morality, moral realism, atau morality
of constraint. Tahap ini merupakan moralitas yang belum matang secara
intelektual, yang dipengaruhi oleh salah satu sisi kasih-sayang orang dewasa
yang ada di sekitar anak. Heteronomous morality seorang anak merupakan ungkapan
struktur yang secara umum belum matang, masih bersifat egosentris dan statis.
2. Pada tahap kedua
perkembangan moral, yang biasa disebut dengan autonomous morality atau morality
in cooperation, anak memperoleh kemandirian dalam pembuatan keputusan
moral, atau anak memperoleh kemampuan untuk memainkan peran sesuai dengan
perkembangan intelektualnya, selain itu juga ketergantungan pada orang dewasa
mulai diubah menjadi kesederajatan dalam kerjasama sosial.
Moralitas tidak lagi didasarkan pada kaidah-kaidah
yang ditentukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan yang tidak bisa
diubah, tetapi kaidah-kaidah itu dipandang sebagai suatu sistem yang
menunjukkan hak-hak dan kewajiban yang sama, suatu sistem yang memiliki tujuan
membuat fungsi kelompok sosial sebagaimana adanya. Sumbangan besar Jean Piaget
dalam teori kepribadian, khususnya dalam perkembangan moral adalah meletakkan
dasar untuk memahami fase-fase perkembangan pemikiran moral anak. Ruang lingkup
kajiannya meliputi:
(1) bagaimana anak melihat peraturan dan hukum,
(2) bagaimana anak memutuskan perilaku yang jelek
dan dusta, dan
(3) bagaimana anak melihat hukuman dan keadilan.
Piaget berpendapat bahwa moral manusia berkembang
melalui dua fase perkembangan yang berlangsung secara bertahap (Hurlock: 1993).
Tahap pertama perkembangan moral disebut dengan
heteronomous morality, moral realism, atau morality of constraint. Tahap
ini merupakan moralitas yang belum matang secara intelektual, yang dipengaruhi
oleh salah satu sisi kasih-sayang orang dewasa yang ada di sekitar anak.
Benar-salah perilaku anak didasarkan pada konsekuensi yang diperolehnya, bukan
atas dasar motivasi yang ada pada dirinya.
Heteronomous morality seorang anak merupakan
uangkapan struktur yang secara umum belum matang, masih bersifat egosentris dan
statis. Egosentris dalam pengertian bahwa anak masih belum atau kurang memiliki
kemampuan untuk membedakan aspek-aspek yang berasal dari dirinya sendiri dan
aspek-aspek yang berasal dari situasi sosial, yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk menerima pendapat orang lain dalam situasi sosial. Akibat sifat egosentris
ini anak bisa membaurkan aspek subyektif dan obyektif suatu pengalaman.
Hal ini menunjukkan bahwa pandangan anak terhadap
kaidah-kaidah moral lebih merupakan suatu keberadaan nyata dan tidak bisa
diubah daripada sebagai alat yang fleksibel yang dapat dipergunakan untuk
mencapai tujuan dan nilai-nilai manusia. Perilaku anak ditentukan oleh ketaatan
otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap
bahwa orang tua dan orang dewasa yang ada di sekitarnya berwenang sebagai maha kuasa
dan mengikuti peraturan yang diberikan padanya tanpa mempertanyakan
kebenarannya.
Pada tahap kedua perkembangan moral, yang biasa
disebut dengan autonomous morality atau morality in cooperation, anak
memperoleh kemandirian dalam pembuatan keputusan moral, atau anak memperoleh
kemampuan untuk memainkan peran sesuai dengan perkembangan intelektualnya,
selain itu juga ketergantungan pada orang dewasa mulai diubah menjadi kesederajatan
dalam kerjasama sosial.
Moralitas tidak lagi didasarkan pada kaidah-kaidah
yang ditentukan oleh orangorang yang memiliki kewenangan yang tidak bisa
diubah, tetapi kaidahkaidah itu dipandang sebagai suatu sistem yang menunjukkan
hak-hak dan kewajiban yang sama, suatu sistem yang memiliki tujuan membuat
fngsi kelompok sosial sebagaimana adanya.