Tahapan Perkembangan Budaya Politik di Indonesia

Sebelum era kemerdekaan hingga reformasi sekarang ini, kecenderunganbudaya politik yang terdapat di Indonesia adalah patrimonialisme. Dalam budayapolitik semacam ini, pola kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antarapenguasa sebagai pengayom, pelindung atau penjamin kesejahteraan, serta keamanan dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya.

Oleh karena itu, bertolak dari budaya politik di Indonesia yang lebih mengarahpada nilai-nilai patrimonial, maka jenis sistem politik dan demokrasi yangberkembang pun adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem politikjenis ini mengandaikan kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploitasiposisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukan kepentingan universal.

Contoh konkretnya adalah, pada era sebelum kemerdekaan, kerajaan-kerajaanJawa tradisional menggunakan legitimasi kekuasaannya atas dasar patrimonialisme. Dalam hal ini, para penguasa Jawa memperoleh kesetiaan daripara pegawainya dengan memberi mereka hak atas penghasilan dari tanah yang bisa dieksploitasi secara komersial, tetapi tidak untuk dijual atau dimiliki.

Pola patrimonial ini mulai menyurut seiringberkurangnya kekuasaan raja-raja Jawa akibat masuknya Belanda dan Jepang ke Indonesia. Padamasa itu legitimasi kekuasaan hampir mutlak ditangan Belanda dan Jepang, di mana legitimasitersebut diperoleh dengan cara-cara kekerasan (penjajahan). Oleh karenanya, budaya politikmasyarakat Indonesia pada waktu itu dapatdikatakan mengiyakan apa pun yang dikehendakituannya (Belanda dan Jepang). Melalui segala cara,para penjajah, khususnya Belanda, menerapkan birokrasi rasional-legal terhadap masyarakatIndonesia.

Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang,pola budaya patrimonial muncul kembali diIndonesia. Hal ini lebih disebabkan karena polatersebut merupakan pola yang khas dan turun-menurun sejak zaman dulu,sehinggga sulit dihilangkan. Faktor yang lain adalah, dalam kekacauan ekonomitahun 1950-an (Orde Lama), birokrasi rasional-legal yang diwariskan oleh Belandaterbukti tidak mampu bertahan secara ekonomi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pola pemerintahan patrimonialismemewujud dalam bentuk pemerintahan yang sentralistik dengan sejumlah sayapkelembagaan yang berfungsi sebagai “pengayom” bagi kepentingan masyarakat,namun dengan imbalan kekuasaan atau sumber daya material bagi para pemangku kekuasaan. Istilah “pamong praja” dalam sistem pemerintahan Orde Baru menggambarkan betapa pejabat diasumsikan memiliki fungsi kepengayoman kepada masyarakat luas, namun fungsi tersebut tidak gratis.

Di samping menyerahkan loyalitas, masyarakat yang diayomi harus memberikan sejumlahimbalan tertentu sebagai balas budi mereka atas kenyamanan hidup yang sudahdinikmati mereka. Dari sinilah praktik pungutan (liar), pemerasan, percaloanpolitik, dan semacamnya menemukan akarnya, karena berbagai kenyamanan dankemudahan yang dinikmati oleh rakyat dikonstruksikan sebagai “tetesan rejeki”(trickle-down effect) dari atas, bukan karena hak yang melekat pada tiap-tiap individu.

Pola patrimonialisme pada masa Orde Baru membentuk semacam piramidakekuasaan yang puncaknya dihuni oleh Soeharto sebagai patron tertinggi darirezim ini, yang di bawahnya ditopang oleh seluruh elemen politik di kantor birokrasi,sayap militer, organisasi sosial-kemasyarakatan dan partai politik. Pembangkangan terhadap sistem politik patrimonial Orde Baru merupakan bentuk resistensi yangakan dilawan oleh rezim penguasa dengan tekanan politik, pemangkasan hak serta peminggiran peran-peran sosial-politik yang seharusnya dinikmati olehsegenap warga negara.

Pada kenyataannya, sistem oposisi tidak diperkenankanpada masa ini, karena yang demikian ini bisa mengancam “zona kenyamanan”(comfort-zone) para penguasa beserta pihak-pihak yang turut menopangkeberlangsungan rezim Orde Baru. Sinergi elemen-elemen penopang tersebutmenjadi mesin politik yang bekerja secara efektif dan masif atas dasar praktikKKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), yang keberadaannya menjalar dari tingkatatas (pemerintah pusat) hingga ke dasar piradima kekuasaan (pemerintah provinsi,kabupaten, kecamatan dan desa), dengan bantuan perangkat birokrasi, militer, hingga tokoh masyarakat dan agama.

Pada masa setelah Orde Baru, yaitu era Reformasi, watak dasar politikpatrimonial tetap berlangsung, namun dengan format dan baju yang berbeda.Patrimonialisme mengalami metamorfosis menjadi “neo-patrimonialisme,” yangditandai dengan menyebarnya simpul-simpul kekuasaan ke sejumlah titik yanglebih merata seiring dengan perubahan kebijakan desentralisasi politik. Seolahingin menikmati kenyamanan ala penguasa Orde Baru, para penguasa lokalmemerankan diri sebagai patron bagi komunitas yang dipimpinnya dengan imbalanloyalitas politik dan atau sumber daya ekonomi. Pemeran politik patrimonial bukanlagi terpusat pada individu, tetapi lembaga sosial politik, terutama partai politik(parpol). Slogan-slogan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dibuat untukmengagregasi dukungan politik untuk memenangi proses kontestasi dalam Pemilu,tetapi individu atau parpol seringkali mengingkarinya setelah yang pertama naikke tampuk kekuasaan.

Menurut Rusadi (1988: 37 - 39), budaya politik Indonesia hingga dewasa inibelum banyak mengalami perubahan/pergeseran dan perpindahan yang berarti.Walaupun sistem politiknya sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjaudari pelembagaan formal. Misalnya, sistem politik demokrasi liberal ke sistempolitik demokrasi terpimpin dan ke sistem politik demokrasi Pancasila. Budayapolitik yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan. Hal inidikarenakan upaya ke arah stabilitas politik tidak perlu tergesa-gesa agar diperolehkeseimbangan dan mengurangi konflik seminimal mungkin.