Perusahaan dagang
ini diberikan hak-hak istimewa oleh Pemerintah Belanda. Hak-hak yang diberikan
kepada VOC itu disebut hak octrooi, yang isinya memberikan hak kepada VOC dalam
hal:
1)
memperoleh hak
monopoli perdagangan;
2)
memperoleh hak
untuk mencetak dan mengeluarkan uang sendiri;
3)
dianggap sebagai
wakil pemerintah Belanda di Asia;
4)
berhak mengadakan
perjanjian;
5)
berhak memaklumkan
perang dengan negara lain;
6)
berhak menjalankan
kekuasaan kehakiman;
7)
berhak mengadakan
pemungutan pajak;
8)
berhak memiliki
angkatan perang sendiri; dan
9)
berhak mengadakan
pemerintahan sendiri.
Praktek VOC dalam
melakukan monopoli perdagangan serta memaksakan kekuasaannya terhadap
kerajaan-kerajaan di nusantara sangat menyakitkan. Cara-cara kekerasan,
peperangan, adu domba, penindasan, dan tindakan kasar lainnya telah menyebabkan
penderitaan yang tidak terkirakan bagi bangsa Indonesia. Pada 1799, organisasi
yang sudah banyak memberikan keuntungan besar bagi negeri Belanda serta
menimbulkan banyak korban di pihak bangsa Indonesia ini akhirnya dibubarkan.
Bubarnya VOC tidak
berarti bebasnya Hindia Belanda dari kekuasan negara-negara Eropa dan menjadi
daerah merdeka. Hal ini karena wilayah-wilayah Hindia Belanda yang semula
dibawa kekuasaan VOC, diserahkan kepada pemerintah Belanda secara langsung. Hal
ini dibuktikan dengan diangkatnya seorang gubernur jenderal untuk menjadi
pemimpin atau penguasa, wakil dari pemerintah Belanda di Hindia Belanda.
GubernurJenderal
yang menjabat di Hindia Belanda antara 1801-1808, dalam menjalankan
kekuasaannya tidak jauh berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh VOC sebelum
dibubarkan. Sejak 1811 wilayah Hindia Belanda menjadi daerah jajahan Inggris,
Belanda akhirnya menyerahkan Jawa kepada Inggris melalui perjanjian yang biasa
dikenal dengan istilah Rekapitulasi Tuntang. Pada tahun 1816, Inggris harus
meninggalkan kekuasaannya di Hindia Belanda, sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan Konvensi London (1814).
Hindia Belanda
kembali diserahkan kepada Belanda. Pola penjajahan Belanda pada tahap ini
hingga berakhirnya kekuasaannya di Indonesia tahun 1942, pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pada masa VOC, yaitu: monopoli,
penyerapan, penyiksaan, perampasan, adu domba, cenderung kejam,
sewenang-wenang, dan tanpa kompromi tetap mewarnai perjalanan pemerintahan
penjajah Belanda di Hindia Belanda, siapapun yang menjadi gubernur jenderal.
Kedatangan bangsa
barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) yang diikuti dengan penguasaan wilayah
Indonesia oleh bangsa-bangsa tersebut termasuk pada bangsa Inggris dan Perancis
dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari bangsa Indonesia.
Reaksi umum yang ditampilkan bangsa Indonesia atas kedatangan bangsa barat
adalah kerjasama dan perlawanan.
Reaksi melawan atau
kerjasama yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap kaum imperialis barat
dilatarbelakangi oleh adanya perebutan kepentingan, terutama ekonomi dan
kekuasaan. Rakyat Indonesia yang kerjasama dengan kaum imperialis memanfaatkan
mereka untuk membantu merebut kekuasaan ekonomi dan tahta dari rakyat
Indonesia. Kondisi inilah yang turut menjadi faktor pendukung praktek adu domba
oleh kaum imperialis.
Reaksi dalam bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap bangsa barat
disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara
ingin memperluas kekuasaannya di wilayah Indonesia sambil merampas hak-hak
tradisional kerajaan-kerajaan (Islam), merampas hak dan kehidupan rakyat hindia
belanda, serta menyebarkan agama secara paksaan.
Perlawanan bangsa
Indonesia terhadap kekuasaan Barat ditandai dengan perang atau perlawanan
langsung terhadap kekuasaan bangsa Barat. Perlawanan tersebut juga ditandai
dengan persaingan di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dalam rangka
memperebutkan hegemoni kekuasaan di wilayah tersebut. Dalam persaingan tersebut
sering kali kerajaan-kerajaan Nusantara melibatkan kekuatan bangsa Barat atau
meminta bantuan VOC/Belanda untuk membantu mengalahkan pesaing-pesaingnya dalam
memperebutkan kekuasaan.
Konsekuensinya VOC/Belanda
mendapatkan daerah kekuasaan karena upayanya membantu mengalahkan pesaingnya.
Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya kegagalan bangsa Indonesia dalam
mengusir bangsa-bangsa barat dari wilayah Indonesia. Praktek imperialisme dan
kolonialisme bangsa barat di wilayah Indonesia mempunyai dampak yang sangat
besar bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya mengakibatkan terjadinya penderitaan
dan kesengsaraan fisik saja, tetapi juga psikhis, bahkan akibatnya terasa
hingga saat ini.
Dampak tersebut
diantaranya adalah komersialisasi telah menggantikan sistem ekonomi
tradisional. Nilai uang telah menggantikan satuan ekonomi tradisional yang
selama ini dijalankan oleh masyarakat pedesaan. Adanya jaringan jalan raya
serta jalan kereta api dan hubungan laut telah membantu mempercepat pertumbuhan
kota. Terjadilan urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Pembangunan pendidikan telah mempercepat mobilitas penduduk.
Masa pendudukan
Jepang merupakan periode yang paling menentukan dalam sejarah pergerakan di
Indonesia, walaupun waktunya hanya selama tiga setengah tahun. Imperialisme
Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan pergerakan nasional
Indonesia, terutama di Jawa dan di Sumatera. Jepang mengindoktrinasi, melatih,
dan mempersenjatai generasi muda serta memberi kesempatan kepada para pemimpin
yang lebih tua untuk menjalin hubungan dengan rakyat.
Di seluruh
Nusantara mereka mempolitisasikan bangsa Indonesia sampai pada tingkat desa
dengan sengaja dan menghadapkan Indonesia pada rezim kolonial yang bersifat
sangat menindas dan merusak dalam sejarahnya. Penjajahan Jepang juga melahirkan
penderitaan rakyat yang tiada taranya, tetapi di masa penjajahan Jepang inilah
nasionalisme Indonesia, sendi-sendi negara Republik Indonesia terbentuk hingga
diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.