Sistem
irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat saling bergantung secara
erat dalam suatu keadaan ketersediaan air yang dinamis baik secara spasial
maupun temporal.
Sebagai
sistem sosio -kultural masyarakat, menyatakan bahwa keberhasilan manajemen
sistem irigasi tergantung pada:
· . azas legal dan
tujuan manajemen yang jelas
· . modal (aset) dasar
yang kuat; dan
· . sistem manajemen
yang handal untuk dapat mewujudkan tujuan manajemen yang telah disusun lengkap
dengan kriteria keberhasilannya.
Keberadaan
dan keberhasilan manajemen sistem irigasi saat ini masih didominasi dan
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sebagai regulator dan pengelolaan di
level Daerah Irigasi. Sebagai contoh, semua kebijakan harus mengacu kepada UU
no 7/2004 dan PP no 20/2006 dengan pokok-pokok isi:
· . azas good
governance sebagai bingkai azas pembangunan keberlanjutan, kerakyatan dan
manajemen provisi
· . azas partisipatif
Pengembalian
kewenangan pemerintah pusat/daerah sebagai pengelola irigasi jaringan utama
sama dengan PP 23/1982. Beberapa perubahannya adalah:
· tujuan irigasi bukan
untuk swa sembada pangan (beras), tetapi juga untuk pencapaian ketahanan pangan
dan peningkatan kesejahteraan petani. Perubahan dimulai sejak PKPI (1999) dan
didukung oleh UU no 12/1992 tentang budidaya tanam;
· dasar manajemen
irigasi berubah dari produksi menjadi provisi (manajemen pelayanan),
pemanfaatannya melalui penetapan dan kesepakatan bersama.