Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Jawa

Perlawanan terhadap kaum imperialis oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Jawa diawali dengan perlawanan rakyat Demak yang dipimpin oleh Dipati Unus terhadap kekuatan Portugis di Malaka. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penguasaan Malaka oleh Portugis, padahal Malaka adalah tempat bertemunya para pedagang Jawa yang kebanyak pada waktu itu berasal dari Demak.

Perlawanan Dipati Unus kepada Portugis di Malaka diwujudkan dalam bentuk serangan pasukan Dipati Unus terhadap kota pelabuhan Malaka yang dilakukan dua kali (1512 dan 1513), dan mengalami kegagalan. Kegagalan ini disebabkan oleh lemahnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan Dipati Unus, serta dan tidak mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan di kawasan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.

Sebaliknya, pada saat yang sama, penguasa kerajaan Pajajaran melakukan kerja sama dengan bangsa Portugis setelah mereka mendapat ancaman dari kekuatan Islam di pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Cirebon dan Banten. Hal inilah yang juga memperkuat kekuasaan Portugis di nusantara, dan melemahkan upaya perlawanan kerajaan-kerajaan nusantara terhadap kekuatan Barat.

Kerajaan Mataram di Jawa juga melakukan perlawanan terhadap VOC. Ambisi untuk menggusur VOC dari Jawa mengalami kegagalan, karena hanya dilakukan sendiri dan tidak mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Jawa. Sultan Agung yang mempunyai cita-cita untuk mempersatukan wilayah Pulau Jawa dalam kekuasaannya berusaha mengalahkan VOC di Batavia (Jakarta).

Namun, penyerangan ke Batavia yang dilakukan pada 1628 dan 1629 tersebut mengalami kegagalan karena selain pasukan dan persiapan pasukannya yang belum matang, juga tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan-kerajaan lainnya, misalnya dengan kesultanan Banten di Jawa Barat. Konflik dalam urusan kerajaan serta persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan perlawanan terhadap kekuasaan Barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC.

Setelah Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai sultan Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji. Sultan Ageng yang sangat anti VOC segera menarik kembali tahta untuk anaknya. Tentu saja tindakan tersebut tidak disukai oleh sang putra mahkota sehingga dia minta bantuan ke VOC di Batavia untuk membantu mengembalikan tahtanya.

Akhirnya, melalui kerja sama dengan VOC, Sultan Haji memperoleh tahta kembali dengan imbalan diserahkannya sebagian wilayah Banten kepada VOC. Dengan demikian, konflik internal dalam memperebutkan kekuasaan serta perbedaan sikap dan pandangan di antara sultan-sultan di kerajaan Banten menyebabkan sulitnya mengusir kekuasaan Barat dari kawasan tersebut, bahkan sebaliknya kesultanan tersebut menjadi mudah dikuasai oleh kekuatan asing.

Tokoh lain yang melakukan perlawanan terhadap VOC adalah Untung Surapati. Untung Surapati melawan VOC dikarenakan sering memimpin perampokan terhadap pasukan VOC. Versi lain menyebutkan perlawanan Untung Surapati terhadap VOV dilatarbelakangi oleh wanita, yaitu ada anak perempuan perwira VOC yang jatuh cinta kepada Untung, perwira tersebut tidak berkenan dan berusaha membunuh Untung Surapati.

Pemberontakan Untung Surapati terhadap VOC berlangsung pada 1686 sampai dengan 1706. Adapun dalam menjalankan aksinya, Untung Surapati bersekutu dengan Sunan Amangkurat II yang merasa berat atas perjanjiannya dengan VOC. Untuk memadamkan pemberontakan Untung Surapati, VOC mengutus Kapten Tack ke kerajaan Mataram. Namun, Kapten Tack beserta seluruh anak buahnya terbunuh.

Tentu saja Sunan Amangkurat II sangat berterima kasih kepada Untung Surapati. Untuk membalas jasa-jasa Untung Surapati, Sunan Amangkurat II memberikan daerah Pasuruan kepada Untung Surapati dan menetapkannya menjadi bupati di sana dengan gelar Adipati Wiranegara.

Pada 1703, Sunan Amangkurat II meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat III. Seperti ayahnya, Sunan Amangkurat III pun memusuhi VOC dan bersekutu dengan Untung Surapati.  Paman Sunan Amangkurat III yang bernama Pangeran Puger menginginkan tahta untuk menjadi raja di Mataram. Ia kemudian bersekutu dengan VOC untuk menjatuhkan Sunan Amangkurat III.

Melihat gelagat yang demikian, tentu saja VOC sangat bergembira dan berusaha membantu Pangeran Puger. Untuk mencapai maksudnya, Pangeran Puger bersedia membuat perjanjian dengan VOC dengan ketentuan menyerahkan sebagian wilayah kekuasaan Mataram. Adapun isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

·      Seluruh daerah Priangan, Cirebon, dan Madura bagian Timur diserahkan kepada VOC;
·   Sunan (Pangeran Puger) dibebaskan dari segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8.000 koyan beras kepada VOC;
·       Di daerah Kartasura VOC bersedia menempatkan pasukannya untuk melindungi Sunan.

Berdasarkan perjanjian tersebut, VOC membantu Pangeran Puger untuk menjadi Sunan di Mataram. Pada 1705, Pangeran Puger kemudian dinobatkan oleh VOC menjadi Sunan di Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwono I. Setelah itu, dimulailah peperangan antara Sunan Pakubuwono I dan Untung Surapati yang dibantu oleh Sunan Amangkurat III. Pada 1706, VOC akhirnya berhasil melumpuhkan kekuasaan Untung Surapati di Kartasura. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan Untung Surapati.

Di Jawa Tengah perlawanan dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya. Perang ini dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830). Penyebab terjadinya perang ini adalah rasa tidak puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Di bidang politik, penguasa Belanda dengan seenaknya mencampuri urusan intern kesultanan. Akibatnya, di lingkungan keraton Mataram terbentuk dua kelompok yang pro dan anti Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V, Pangeran Diponegoro diangkat sebagai anggota Dewan Perwalian. Namun, ia jarang sekali diajak berbicara mengenai urusan pemerintahan karena sikap kritisnya terhadap kehidupan keraton yang dianggapnya sudah dipengaruhi oleh budaya Barat dan penuh intervensi Belanda.

Oleh karena itu, ia meninggalkan keraton dan menetap di Tegalrejo. Belanda yang ingin menguasai Mataram sepenuhnya berusaha mencari-cari alasan untuk memulai perang dan menangkap Diponegoro. Di mata Belanda, Diponegoro merupakan pemimpin lokal yang sangat membahayakan kedudukan Belanda. Sikapnya yang anti Belanda,  kharismatik, dan mampu membangkitkan simbol-simbol Islam dianggap sebagai sebuah ancaman bagi kepentingan Belanda di Mataram.

Suatu ketika pemerintah kolonial Belanda bermaksud membuat jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Jalan tersebut ternyata menembus makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Hal ini tentu saja membuat Diponegoro marah dan menganggapnya sebagai suatu penghinaan. Patok-patok yang menandai pembangunan jalan tersebut kemudian diganti oleh para pengikut Diponegoro dengan tombak-tombak. Tindakan para pengikut Diponegoro tersebut dijawab oleh Belanda dengan mengirimkan pasukannya ke Tegalrejo pada 25 Juni 1825.

Pangeran Diponegoro dan pasukannya membangun pusat pertahanan di Selarong. Dukungan pada Diponegoro datang dari mana-mana sehingga kekuatan pasukan Diponegoro semakin bertambah. Tokoh-tokoh yang bergabung antara lain Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasha Prawirodirjo, dan Kiai Maja. Oleh karena itu untuk menghadapi perlawanan ini Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan yang dipimpin Jenderal Marcus de Kock.

Pasukan Pangeran Diponegoro selalu berhasil memperoleh kemenangan. Untuk mematahkan perlawanan Diponegoro, Belanda melakukan taktik Benteng Stelsel. Dengan taktik tersebut, di daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Belanda didirikan benteng-benteng pertahanan yang antara satu dengan lainnya dihubungkan oleh jalan sehingga pasukan mudah bergerak. Akibatnya, pasukan Diponegoro sulit untuk bergerak.

Sejak 1829, kekuatan Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikut Diponegoro yang ditangkap ataupun gugur dalam pertempuran. Pada akhir November 1828, Kiai Maja ditangkap oleh Belanda. Sementara Sentot Alibasha Prawirodirdjo menyerah pada Oktober 1829. Jenderal de Kock memerintahkan Kolonel Cleerens untuk mencari kontak dengan Pangeran Diponegoro.

Pada 28 Maret 1830, dilangsungkan perundingan antara Jenderal de Kock dan Diponegoro di kantor keresidenan di Magelang. Namun, Belanda berkhianat. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya ditangkap. Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan Makassar. Dengan demikian, Perang Diponegoro berakhir. e. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Bali Pulau Bali sebelum abad ke-9 dikuasai oleh beberapa kerajaan kecil yang seluruhnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Klungkung.

Kerajaan ini mengadakan perjanjian dengan Belanda pada tahun 1841. Berdasarkan perjanjian tersebut, kerajaan Klungkung yang saat itu berada di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putera, merupakan kupernement atau suatu negara yang bebas dari pengaruh kekuasaan Belanda. Hal ini berarti Belanda tidak bisa menguasai kerajaan Klungkung. Meskipun begitu, Belanda tidak berhenti mencari strategi untuk menguasai Bali.

Pada tahun 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak wilayah kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang yang memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk menguasai kapal beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan alasan oleh Belanda untuk melakukan serangan ke kerajaan Buleleng pada tahun 1848. Namun, serangan ini mengalami kegagalan.

Pada serangan yang kedua (1849), pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini dikenal dengan nama Puputan Jagaraga. Setelah Buleleng ditaklukan, Belanda mulai menaklukan kerajaan-kerajaan di Bali lainnya.

Oleh karena itu, perlawanan rakyat Bali dalam menghadapi penjajahan Belanda diwarnai dengan berbagai perang puputan atau perang habis-habisan untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Selain Puputan Jagaraga, puputan lain yang pernah terjadi di Bali, di antaranya Puputan Badung pada tahun 1906, Puputan Kusamba pada tahun 1908, dan Puputan Klungkung pada tahun1908.