Penjajahan Jepang di Indonesia

Masa pendudukan Jepang merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah pergerakan di Indonesia, walaupun waktunya hanya selama tiga setengah tahun. Imperialisme Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan pergerakan nasional Indonesia, terutama di Jawa dan di Sumatera. Jepang mengindoktrinasi, melatih, dan mempersenjatai generasi muda serta memberi kesempatan kepada para pemimpin yang lebih tua untuk menjalin hubungan dengan rakyat.

Di seluruh wilayah Indonesia mereka mempolitisasikan bangsa Indonesia sampai pada tingkat desa dengan sengaja dan dengan menghadapkan Indonesia pada rezim kolonial yang bersifat sangat menindas dan merusak dalam sejarahnya. Pada masa ini Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah oleh Jepang. Sumatera ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16; kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.

Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh angkatan laut. Kebijakan di antara wilayah-wilayah tersebut sangat berbeda. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju namun secara ekonomi kurang penting, sumberdaya utama adalah manusia. Kebijakan-kebijakan Jepang di Jawa dalam melaksanakan imperialsmenya membangkitkan rasa kesadaran nasional yang jauh lebih mantap daripada di kedua wilayah lainnya, dengan demikian semakin memperbesar perbedaan tingkat kecanggihan politik antara Jawa dan daerah lainnya.

Dikarenakan pentingnya arti perkembangan-perkembangan itu bagi masa yang akan datang, maka Jawa juga mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya. Sumatera mempunyai arti yang penting untuk pihak Jepang karena sumber-sumber strategisnya dan baru ketika Jepang berada di ambang kekalahan ide-ide nasionalisme diperbolehkan berkembang di sana.  

Bagi Jepang, wilayah yang berada di bawah kekuasaan angkatan laut dianggap terbelakang secara politik dan penting secara ekonomi; pemerintahan atas wilayah tersebut bersifat sangat menindas. Untuk menyapu bersih pasukan-pasukan Belanda dan Sekutu serta pengambilalihan pemerintahan memerlukan waktu berbulan-bulan. Salah satu tugas pertama pihak Jepang adalah menghentikan revolusi-revolusi yang mengancam upaya penaklukan mereka.

Serangan terhadap orang-orang Eropa, perampokan terhadap rumah-rumah mereka di Banten, Cirebon, Surakarta, dan daerah-daerah lainnya menjurus ke suatu gelombang revolusi. Di Aceh dan di Sumatera Barat dan Timur ketegangan-ketegangan di antara penduduk asli yang timbul dari jaman penjajahan Belanda mulai meletus. Para pemimpin agama (ulama) Aceh membentuk PUSA (Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 di bawah pimpinan Mohammad Daud Beureu'eh (1899-1987) untuk mempertahankan Islam dan mendorong pemodernisasian sekolah-sekolah Islam.

Organisasi tersebut segera menjadi pusat perlawanan terhadap pejabat-pejabat keturunan uleebalang, yang mendapat dukungan Belanda. PUSA telah menghubungi pihak Jepang dan merencanakan akan membantu serangan mereka. Pada tanggal 19 Februari 1942, tiga minggu sebelum mendaratnya Jepang di daerah itu, para ulama Aceh memulai suatu kampanye sabotase terhadap Belanda dan pada awal bulan Maret Aceh memberontak.

Kebanyakan para uleebalang memutuskan untuk tidak melawan arus, dan Belanda tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengungsi ke selatan. Para pemimpin PUSA berharap pihak Jepang menghadiahi mereka atas usaha-usaha mereka menggeser kekuasaan para uleebalang. Di Sumatera Timur orang-orang Batak Karo bersama pimpinan Gerindo yang beraliran nasionalis membantu pihak Jepang dengan harapan menyaksikan terdepaknya kaum bangsawan dukungan Belanda dari kekuasaan mereka.

Mereka mulai mendiami tanah yang mereka nyatakan sebagai milik mereka sendiri dan menyerang lawan-lawan mereka, terutama di daerah Deli pada bulan Juni-Juli 1942. Seperti halnya Belanda, Jepang harus memerintah Indonesia dan tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyandarkan diri pada orang-orang setempat yang berpengalaman, diantaranya adalah: para raja di Sumatera Timur, para penghulu di Minangkabau, para uleehalcing di Aceh, para penguasa priyayi di Jawa, dan kelompok-kelompok serupa di daerah-daerah lainnya.

Walaupun sudah sejak lama propaganda mereka ditujukan untuk mendapatkan simpati para pemimpin Islam, tetapi pihak Jepang menyadari bahwa suatu kelompok yang pada dasarnya telah menolak bekerja sama dengan Belanda mungkin pula akan menyusahkan mereka. Mereka memberi para pemimpin Islam kesempatan yang tidak pernah diberikan oleh Belanda, yaitu kebebasan untuk mengembangkan agama islam.

Akan tetapi, kesempatan itu baru diberikan ketika kekalahan Jepang sudah tak terelakkan lagi. Pihak Jepang memutuskan untuk membiarkan gelombang revolusi berjalan dengan harapan menghalangi penaklukan kembali oleh Sekutu. Tujuan utama Jepang adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana mendominasi ekonomi jangka panjang Asia Timur dan Tenggara.

Peraturan-peraturan baru yang mengendalikan dan mengatur kembali hasil-hasil utama Indonesia serta putusnya hubungan dengan pasar ekspor tradisional menimbulkan kekacauan dan penderitaan. Jepang tidak dapat menampung semua hasil ekspor Indonesia, dan kapal-kapal selam pihak Sekutu banyak menimbulkan kerugian terhadap pelayaran Jepang sehingga komoditi-komoditi yang diperlukan Jepangpun tidak dapat dikapalkan dalam jumlah yang memadai.

Pada tahun 1943 produksi karet sekitar seperlima tingkat produksi tahun 1941 (di Jawa dan Kalimantan Barat produksi karet hampir terhenti sama sekali), dan produksi teh sekitar sepertiganya. Jepang dan Formosa (Taiwan) akan menjadi pemasok utama gula untuk kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, sehingga komoditi yang merupakan sumber pokok pendapatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini (terutama bagi para buruh upahan yang tidak memiliki tanah) akan menurun.

Pihak Jepang mulai mengambil alih perkebunan-perkebunan tebu pada bulan Agustus 1943, dan pengelola-pengelolanya yang berkebangsaan Eropa ditawan. Demikian pula perkebunan tembakau yang luas di Sumatera Timur diubah untuk produksi pangan. Sementara itu, pemerintahan militer membanjiri Indonesia dengan mata uang pendudukan, yang mendorong meningkatnya inflasi terutama sejak tahun 1943 seterusnya. Pada pertengahan tahun 1945 mata uang ini bernilai sekitar 2,5 persen dari nilai nominalnya.

Pengerahan pangan, tenaga kerja secara paksa, dan kekacauan umum mengakibatkan timbulnya kelaparan, terutama pada tahun 1944 dan 1945. Angka kematian meningkat dan kesuburan menurun; sepanjang yang diketahui, pendudukan Jepang adalah satu-satunya periode selama dua abad yang tidak berhasil meningkatkan jumlah penduduk secara berarti.

Seperti wilayah pendudukan lainnya, Indonesia menjadi suatu negeri yang tingkat penderitaan, inflasi, pencatutan, korupsi, pasar gelap, dan kematian penduduknya yang paling ekstrem. Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas; menghapuskan pengaruh-pengaruh barat di kalangan mereka dan memobilisasi mereka demi kemenangan Jepang. Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri.

Mereka menghadapi banyak masalah yang sama dengan yang dihadapi Belanda dan menggunakan banyak cara pemecahan yang sama (malah hukum kolonial Belanda tetap berlaku terkecuali yang bertentangan dengan hukum militer Jepang). Akan tetapi, di tengah-tengah suatu perang besar yang memerlukan pemanfaatan maksimum atas sumber-sumber, pihak Jepang memutuskan untuk berkuasa melalui mobilisasi (khususnya di Jawa dan Sumatera) daripada dengan memaksakan suatu ketenangan yang tertib.

Berkembangnya peperangan, mengakibatkan usaha Jepang semakin menggelora untuk memobilisasikan rakyat Indonesia dalam meletakkan dasar bagi Revolusi. Pada bulan Mei 1942 suatu serangan terhadap Australia terhenti dalam pertempuran Laut Koral. Suatu serangan serupa terhadap Hawai terhenti di Midway pada bulan Juni. Pada bulan Agustus 1942 pasukan Amerika mendarat di Guadalkanal (Kepulauan Solomon) dan pada bulan Februari 1943 pihak Jepang telah dipukul mundur dari sana dengan menderita banyak kerugian.

Mulai tahun 1943 Amerika Serikat menjadi pihak ofensif di Samudera Pasifik. Oleh karena itu, maka kebijaksanaan Jepang di Indonesia berkembang dalam konteks militer yang terus-menerus memburuk. Barulah ketika perang mendekati akhir, Jepang benar-benar menyadari bahwa kekalahan sudah tidak terelakkan lagi. Namun demikian sudah sejak tahap pertama pendudukan mereka atas Indonesia mereka merenungkan kemungkinan akan serbuan pihak Sekutu.

Untuk memusnahkan pengaruh Barat di Indonesia, pihak Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris dan memajukan pemakaian bahasa Jepang. Pelarangan terhadap buku-buku yang berbahasa Belanda dan Inggris, membuat pendidikan yang lebih tinggi benar-benar mustahil selama masa perang. Kalender Jepang diperkenalkan untuk tujuan-tujuan resmi, patung-patung Eropa diruntuhkan, jalanjalan diberi nama baru, dan Batavia dinamakan Jakarta lagi.

Kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia. Para petani pun diberi pesan ini melalui pengeras suara radio yang dipasang pada tiang di desa mereka. Upaya propaganda ini mengalami kegagalan karena kesombongan dan kekejaman orang-orang Jepang pada umumnya, kekacauan ekonomi, teror polisi militer (kenpeitai), kerja paksa dan penyerahan wajib beras, pemukulan dan pemerkosaan, serta kewajiban memberi hormat kepada setiap orang Jepang.

Bagaimanapun juga, kampanye anti barat ini mempertajam sentimen anti Belanda di kalangan masyarakat Indonesia dan mendorong penyebaran konsepsi Indonesia di kalangan rakyat. Karena bahasa Jepang hanya sedikit diketahui, maka bahasa Indonesia menjadi sarana bahasa yang utama untuk propaganda dan memperkokoh statusnya sebagai bahasa nasional.

Sampai bulan Agustus 1942 Jawa tetap berada di bawah struktur pemerintahan sementara, tetapi kemudian dilantik suatu pemerintahan yang dikepalai oleh seorang gubernur militer (Gunseikan). Banyak orang Indonesia diangkat untuk mengisi tempat pejabat-pejabat Belanda yang ditawan, tetapi banyak pula pejabat-pejabat berkebangsaan Jepang yang diangkat. Kebanyakan pejabat-pejabat baru yang berkebangsaan Indonesia itu adalah para mantan guru, dan kepindahan mereka dari sistem pendidikan mengakibatkan mundurnya standar pendidikan secara tajam.

Untuk membantu orang Jepang mengatur negeri ini maka di samping para pejabat baru tersebut pihak Jepang di Jawa juga mencari pemimpin politik guna membantu memobilisasikan rakyat. Pertama-tama mereka menghapuskan semua organisasi-organisasi politik dari jaman sebelum Jepang. Pada bulan Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang dan kemudian semua perkumpulan yang ada secara resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru. Sejak mula pertama Islam tampak menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir bulan Maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama (Shumubu).