Pergerakan nasional Indonesia tidak hanya di bidang
politik melainkan juga sosial dan wanita. Salah seorang tokoh wanita yang
menyuarakan pentingnya emansipasi antara pria dan wanita adalah RA. Kartini.
Dia kemudian dinggap sebagai pelopor gerakan emansipasi yang dalam
tulisan-tulisannya menuntut agar wanita Indonesia diberi pendidikan karena
mereka memikul tugas sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab atas pendidikan
anaka-naknya.
Buku Kartini yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah
Terang adalah buku yang berisi kumpulan surat-surat Kartini tentang berbagai
buah pikirannya. Buku ini ditulis oleh Abendanon pada 1899. Isinya antara lain
tentang posisi wanita dalam keluarga, adat istiadat, dan keterbelakangan
wanita. Karena senang membaca dan bergaul dengan berbagai kalangan, Kartini
memiliki padangan yang positif tentang betapa pentingnya memajukan kaum wanita.
Dengan belajar sungguh-sungguh, dia berpendapat bahwa memajukan kaumnya dan
menolak konservatisme adalah sangat penting.
Demikian juga adat yang mengharuskan wanita hanya
tinggal di dalam rumah harus dirombak. Kartini meminta agar rakyat Indonesia
diberi pendidikan karena pendidikan merupakan masalah pokok bagi masyarakat
Indonesia. Pendidikan tersebut bukan hanya untuk laki-laki, tapi juga kaum
wanita. Pendidikan yang diperoleh itu selain untuk mengasah intelegensi, juga
untuk membangun sopan santun dan kesusilaan. Kunci kemajuan wanita menurut
Kartini adalah kombinasi antara kebudayaan Barat dan Timur.
Perkumpulan atau organisasi wanita yang muncul di
masa pergerakan diantaranya adalah Putri Mardika (1912) yang bertujuan
memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan dengan memberikan penerangan
dan bantuan dana. Demikian pula dengan sekolah Kaoetamaan Istri yang didirikan
oleh Raden Dewi Sartika di Bandung pada 1904. Sekolah Kartini juga didirikan di
Jakarta pada 1913, di Madiun, Malang dan Cirebon, Pekalongan, Indramayu,
Surabaya, dan Rembang.
Selanjutnya, pada 1920 mulai muncul perkumpulan
wanita yang bergerak di bidang sosial dan kemasyarakatan. Di Minahasa, berdiri
De Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwen Vereeniging. Di Yogyakarta lahir
perkumpulan Wanita Utomo yang mulai memasukan perempuan ke dalam kegiatan dasar
pekerjaan. Corak kebangsaan sudah mulai mempengaruhi pergerakan wanita sejak
1920, hal ini ditandai dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta
pada 1928.
Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil
organisasi wanita, di antaranya Ny. Sukamto (Wanito Utomo), Nyi Hajar Dewantara
(Taman Siswa bagian wanita), dan Nona Suyatin (Pemuda Indonesia bagian
keputrian). Tujuan kongres Perempuan Indonesia adalah untuk mempersatukan
cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia serta mengadakan gabungan
di antara per kumpulan wanita ter sebut. Dalam rapat itu dibicarakan soal nasib
wanita dalam perkawinan dan poligami.
Dalam kongres itu pada umumnya disepakati untuk
memajukan wanita Indonesia serta mengadakan gabungan yang berhaluan kooperatif.
Hasil kongres yang terpenting adalah dibentuknya federasi perkumpulan wanita,
bernama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Kongres Perempuan Indonesia II
diadakan membicarakan tentang masalah perburuhan perempuan, pemberantasan buta
huruf, dan perkawinan. Dalam konggres tersebut, pergerakan wanita Indonesia
mendapat perhatian dari Komite Perempuan Sedunia yang berkedudukan di Paris.