Motif-motif Inovasi di Negara Berkembang

Pada negara-negara sedang berkembang keadaan masyarakatnya berbeda-beda baik sistem ekonomi maupun politiknya. 

Jadi dari sini kita lihat bahwa motif-motif itu berbeda-beda, demikian pula mengenai efektif tidaknya pelaksanaan inovasi itu adalah berbeda-beda pula, tergantung keadaan sosial dan kebudayaan di masing-masing negara.

Motif-motif inovasi di negara yang sedang berkembang dalam pengembangan inovasi pada dasarnya sangat tergantung kepada seberapa dekat hubungan negara tersebut dengan negara maju. Hubungan inilah yang mempengaruhi motif masyarakatnya untuk melakukan inovasi.

Pada umumnya motif-motif yang ada dalam masyarakat di berbagai negara tidak akan menghasilkan inovasi kecuali apabila orang-orang/golongan orang tidak yakin bahwa keuntungan yang akan diperoleh lebih besar atau cukup untuk menutupi kerugian.

Misalnya di India petani-petani menolak menggunakan bajak dari besi, karena besi itu seolah-olah merobek-robek secara kejam terhadap tanah, sedangkan bajak yang dari kayu adalah lebih halus.

Demikian pula banyak negara sedang berkembang yang menolak penggunaan traktor karena tidak cocok di negara tersebut, meskipun telah didemontrasikan kalau dengan traktor itu lebih baik, lebih cepat dan sebagainya. 

Di samping itu, juga karena mengingat akan sulitnya suku cadang (spare-parts) dari traktor tersebut. Contoh lain ialah orang asing di Indonesia pernah juga segan untuk mengadakan sesuatu, takut kalau nanti diambil alih oleh negara misalnya (demonstrasi, nasionalisasi).

Jadi meskipun ada inovator-inovator yang mampu untuk mengadakan inovasi dengan motif-motif yang kuat, tetapi kalau  halangan-halangan yang dihadapi itu lebih kuat sudah tentu akan terhambat juga. 

Berdasarkan motif-motif yang muncul dalam melakukan inovasi di bidang produksi guna meningkatkan produktifitas ekonomi, terdapat beberapa halangan, yang dapat digolongkan dalam 3 yaitu:

1.   faktor-faktor ekonomis;
2.   faktor sosial budaya; dan
3.   adanya tekanan dari beberapa orang yang

Ternyata, inovasi tidak dapat dilepaskan/dipisahkan dari keadaan masyarakat sekitarnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa cara-cara untuk mengurangi halangan-halangan tersebut termasuk suatu perbutan inovasi. 

Halangan yang lain misalnya ialah bahwa pada suatu waktu telah diperkenalkan adanya suatu bibit padi yang lebih baik, yang lebih banyak memberikan hasil. Tetapi petani segan untuk menggunakan bibit tersebut, meskipun hasilnya jelas lebih banyak. Ini disebabkan karena rasa beras baru ini tidak seenak beras yang biasanya.

Contoh lain, di suatu desa di India orang menolak kotoran kandang untuk dipakai sebagai pupuk dan lebih baik untuk plester rumah. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan inovasi yang dapat menaikkan hasil akan menghadapi halangan-halangan sebab memperkenalkannya dibutuhkan pelepasan beberapa kebiasaan, tradisi dan bentuk-bentuk sikap masyarakat.

Seperti telah kita ketahui bahwa ekonomi adalah hanya sebagian dari keadaan dalam suatu negara, dan perkembangan ekonomi membutuhkan perbaikan-perbaikan/perubahan-perubahan dari faktor-faktor produksi yang saling berhubungan. 

Jadi mengenalkan suatu teknik produksi baru atau barang baru akan sia-sia apabila tidak disertai dengan perubahan faktor lain yang erat hubungannya. 

Mengusulkan penggunaan bibit baru atau pupuk-pupuk untuk menaikkan hasil, membutuhkan proyek-proyek untuk mendemontrasikan, dan juga untuk mendidik petani-petani dalam menggunakan bibit baru dan pupuk tersebut.

Di Indonesia misalnya, survey tanah telah dijalankan dengan baik dan meluas bahwa produksi tanaman padi dapat dinaikkan melalui penggunaan pupuk nitrogen dan phosphate.

Penerapannya tidak hanya menggunakan pekerja lapangan (field worker) untuk mendemonstrasikan pentingnya rabuk-rabuk itu, melainkan juga organisasi, sistem distribusi yang akan membagi rabuk dengan harga pemerintah pada waktu tanam di desa-desa, dan juga memberi kredit petani untuk pembelian rabuk-rabuk.