Sejarah Perang Diponegoro (1825–1839)

Pecahnya perang Diponegoro dilatarbekangi banyak persoalan. Sebab umum pecahnya perang Diponegoro yakni:

a.   Rakyat sangat menderita, kecewa, dan putus asa, karena dibebani berbagai macam pajak. Antara lain pajak kepala, pajak pasar, pajak perdagangan, pajak ternak, dan pajak menuai padi. Sementara rakyat masih disuruh kerja paksa (rodi) untuk kepentingan Belanda.
b.   Wilayah Mataram semakin sempit, sehingga menimbulkan kekecewaan raja dan kalangan istana.
c.   Belanda ikut campur tangan urusan pemerintah Mataram, seperti pemerintah Hindia Belanda melarang para bangsawan menyewakan tanahnya kepada para pengusaha perkebunan swasta asing lainnya.
d.   Para bangsawan dan para ulama kecewa karena peradaban Barat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai masuk ke istana.

Sejarah Indonesia mulai menancapkan tonggak-tonggak untuk membuat jalan dan Dunia Yogyakarta-Magelang. Jalan yang akan dibuat itu melalui makam leluhur keluarga Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pembuatannya pun tanpa izin terlebih dahulu kepada keluarga Pangeran Diponegoro. Kemudian Residen Smissaert, meminta Pangeran Mangkubumi
untuk memanggil Pangeran Diponegoro. Tentu saja Pangeran Diponegoro menolak panggilan tersebut. Bahkan Pangeran Mangkubumi sendiri kemudian memihak kepada Pangeran Diponegoro. Penolakan Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi tersebut, membuat Belanda marah. Tanggal 20 Juli 1825, pasukan Belanda menyerbu tempat tinggal Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Inilah awal pecahnya Perang Diponegoro. Kronologi perang Diponegoro, dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.   Pusat kedudukan pasukan Diponegoro berawal di Selarong. Secara serentak pasukannya menyerang kedudukan Belanda di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan cara bergerilya.
b.   Untuk menghadapi perlawanan pasukan Diponegoro, Gubernur Jenderal Van der Capellen menugaskan Letjen. HM de Kock dengan siasat Benteng Stelsel.
c.   Pasukan Diponegoro berangsur-angsur terdesak setelah Kyai Maja menyerah pada tahun 1827, disusul Sentot Ali Basyah setahun kemudian.
d.   Pada tanggal 23 Maret 1828, Diponegoro bersedia berunding di kediaman residen Kedu di Magelang. Setelah perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, Pangeran Diponegoro ditangkap, dan dibawa ke Semarang. Dengan menggunakan kapal “Pollux” Pangeran Diponegoro diasingkan dari Batavia ke Manado. Pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar. Wafat di Makassar pada tanggal 8 Januari 1855, dan dimakamkan di kampung Melayu-Makassar. Peristiwa itu menandai berakhirnya Perang Diponegoro.